Home Bandung Sketsa Pemilu Serentak: (11), “Masa Tenang” yang Tak Bikin Tenang

Sketsa Pemilu Serentak: (11), “Masa Tenang” yang Tak Bikin Tenang

310
0

Oleh Imam Wahyudi (iW)

TINGGAL sehari ini, masa kampanye Pemilu 2024 akan berakhir. Pas tengah malam nanti pk 00.00 WIB. Hari terakhir ditandai kampanye nasional tiga kandidat pilpres.

Paslon Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN) di Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara. Paslon Prabowo – Gibran di stadion GBK, Senayan, Jakarta Pusat. Paslon Ganjar Pranowo – Mahfud MD di lapangan Simpang Lima Semarang, Jateng.

Setelah masa kampanye 75 hari, Minggu esok memasuki “masa tenang” selama tiga hari. Menjelang pemungutan suara — Rabu, 14 Februari 2024.

“Masa tenang” yang justru tak membuat hati tenang. Para caleg masih ingin optimalkan. Dengan jurus yang tak sekadar publikasi dan sosialisasi. Meningkat peduli berbagi. Meski jelas aturan dan larangan, fakta berlaku di lapangan. Di satu sisi, dinilai mencederai demokrasi. Di sisi lain, bagian dari upaya mendulang suara.

Hal terakhir mengesankan ketidakjelasan aturan main yang tak setara. Mirip “petak umpet” alias “kucing-kucingan”. Sejatinya, tak sulit bagi pengawas pemilu untuk mengendus potensi pelanggaran. Bahkan menangkap pelakunya. Utamanya peran tugas panwaslu tingkat kecamatan.

Di lapangan, hal berbeda kerap termonitor terjadi. Ada pemilahan pelaku. Apakah si caleg atau timsesnya? Padahal satu kesatuan, berlaku dalam hal pemeriksaan dan penyelidikan. Alih-alih suatu peraturan yang utuh dengan pemberlakuan sanksinya. Cenderung mandul. Antara ada dan tiada yang ditengarai “tahu sama tahu” (TST). Bukan lagi “tahu sama tempe” yang tanpa “pandang bulu”, harus ditindak. Bukan pula “kongkalikong”, ketika peristiwa pelanggaran belum kadung mencuat ke ruang publik.

Bagi caleg dengan kesediaan logistik pas-pasan, cuma bisa mengelus dada. Koq, begini adanya di lapangan. Aspek kompetensi dan kapasitas tak selebar keutamaannya. Tak becus bicara di depan publik pun menjadi percaya diri. Padahal kejaran parlemen yang dituntut peran bicara. Bahkan tak perlu intens sosialisasi. Cukup perintah. Mereka beranggapan, calon pemilih cenderung melirik caleg yang bertabur logistik. Pertanyaannya logistik (baca: duit) itu dari mana? Mungkinkah ada relasi kekuasaan, bahkan dalam proses kontestasi yang tengah berlangsung?!

 

 

Betapa pun kerap dinilai sebagai kasuistis, tapi berpotensi menjadi sapuan buram berdemokrasi. Cedera awal bagi bangunan lembaga perwakilan rakyat yang menjanjikan kualitas. Kecenderungan lebih kepada panjat sosial alias pansos.

Karuan jor-joran saweran berlaku. Tanpa rikuh menyebar paket yang disebut sembako. Bongkar muat beras dan minyak goreng berlangsung. Bagai aksi eksploitasi kemiskinan warga.

Tentu saja, imbauan berlaku. Ambil paket sembakonya, tapi tak wajib memilihnya. Anggap saja hadiah tak terduga dan bersifat cuma-cuma. Sebaik-baik memilih, hendaknya sesuai hati nurani. Caleg yang punya kompetensi dan kapasitas. Demi ikut bertanggungjawab bagi lahirnya lembaga wakil rakyat yang berkualitas. Bukan semata formalitas.***

*) wartawan senior di bandung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.