Kebebasan pers adalah tiang penyangga demokrasi. Tanpa pers yang bebas, demokrasi akan rapuh dan hanya menjadi seremonial belaka. Pers hadir sebagai pilar keempat demokrasi—penyeimbang kekuasaan, pengawas jalannya pemerintahan, sekaligus penghubung antara negara dan masyarakat.
Namun, kasus terbaru yang menimpa wartawan CNN Indonesia menunjukkan adanya langkah mundur yang patut kita kritisi bersama. Seorang wartawan bertanya kepada Presiden RI mengenai program makanan bergizi—program utama pemerintah yang sedang hangat dibicarakan karena muncul kasus keracunan di sejumlah sekolah. Pertanyaan itu sangat relevan, wajar, dan fundamental.
Sayangnya, respons dari Biro Pers Istana justru bukan menjawab substansi, melainkan mencabut ID card wartawan tersebut. (meski kini sdh pulih lagi, dan membalikan kembali ID Card)
Keputusan itu langsung mengingatkan kita pada praktik-praktik lama, di mana kekuasaan merasa risih terhadap pertanyaan media, lalu memilih membungkam ketimbang membuka ruang diskusi. Sejumlah pihak ikut protes mulai organisasi wartawan LBH Pers, dean Pers wartawan senior 3 zaman. Saat kemarin hampir semua kompak nampaknya Biro Pers Istana luluh.
Ini era reformasi bro, yang lahir justru dari kritik keras terhadap model kekuasaan yang mengekang kebebasan pers pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Demokrasi Tidak Bisa Tanpa Pers
Pertanyaan yang dilontarkan wartawan CNN Indonesia adalah bagian dari kerja jurnalistik yang paling dasar: bertanya atas nama publik. Publik tentu ingin tahu apa yang terjadi dengan program pemerintah yang digadang-gadang untuk perbaikan gizi anak bangsa, tetapi justru memunculkan masalah kesehatan di lapangan.
Di sinilah pers memainkan peran penting. Wartawan bukan sekadar pencatat, tetapi penanya kritis. Mereka tidak bertanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk masyarakat yang berhak tahu. Jika pertanyaan dasar semacam ini justru direspons dengan pencabutan akses liputan, maka pesan yang sampai ke publik sangat jelas: bertanya bisa berakibat hukuman. Dan ini berbahaya. Jika wartawan menjadi takut bertanya, maka publik akan kehilangan haknya atas informasi yang benar. Demokrasi akan kehilangan salah satu instrumen pengawasnya.
Sejarah yang Jangan Terulang
Kita tahu, dalam sejarah bangsa ini, kebebasan pers sering kali pasang surut. Di masa Orde Lama, media sering dibatasi dengan alasan stabilitas politik. Di masa Orde Baru, kebebasan pers bahkan lebih ditekan dengan kontrol ketat: surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) bisa dicabut kapan saja, media bisa diberangus dalam sekejap hanya karena memuat kritik. Era reformasi 1998 menjadi titik balik.
Pers mendapatkan kebebasannya, sensor dihapuskan, dan masyarakat menikmati arus informasi yang lebih terbuka. Itu adalah pencapaian besar yang harus kita jaga. Namun, kini, tanda-tanda kecil kemunduran itu tampak kembali—bukan dengan cara membredel media, tetapi dengan cara yang lebih halus: membatasi akses, mencabut izin liputan, atau memberi stigma negatif kepada wartawan yang kritis. Padahal, bentuk pembatasan apa pun pada kerja jurnalistik tetaplah langkah mundur.
Presiden dan Stafnya
Saya percaya Presiden Prabowo Subianto memahami nilai demokrasi. Ia tentu tidak ingin dicatat sejarah sebagai pemimpin yang mengekang pers. Karena itu, pertanyaan besar muncul: apakah Presiden mengetahui keputusan Biro Pers Istana ini? Jika Presiden tidak tahu, maka jelas staf biro tersebut harus segera ditegur.
ika Presiden tahu, maka persoalan menjadi lebih serius karena artinya ada restu politik terhadap pembatasan pers. Namun, saya masih berprasangka baik bahwa Presiden tidak pernah berniat menghalangi wartawan. Justru, sebagai pemimpin yang menjadikan program makanan bergizi sebagai prioritas nasional, beliau mestinya menyambut pertanyaan itu sebagai kesempatan menjelaskan visi dan solusinya kepada rakyat.
Pers Harus Tetap Kuat
Kebebasan pers tidak bisa digantungkan hanya pada niat baik pemerintah. Pers harus tetap kuat, berani, dan independen. Wartawan tidak boleh takut bertanya. Mereka harus sadar bahwa pekerjaan ini memang penuh risiko, tetapi risiko itu dijalankan demi kepentingan publik. Wartawan yang baik bukan hanya mencatat apa yang ingin didengar penguasa, melainkan juga menyuarakan pertanyaan yang mungkin tidak nyaman, tetapi penting bagi masyarakat. Di sinilah letak integritas seorang jurnalis.
Kasus wartawan CNN Indonesia ini harus menjadi alarm. Jika dibiarkan, bisa jadi praktik semacam ini akan terulang lagi, bukan hanya terhadap satu media, tetapi terhadap siapa saja yang kritis. Hari ini ID card seorang wartawan dicabut, besok bisa jadi akses media lain yang dipangkas, lusa mungkin suara publik yang ditutup.
Ajakan untuk Mengingatkan
Oleh karena itu, saya mengajak semua pihak, terutama kalangan pers dan masyarakat sipil, untuk mengingatkan pemerintah bahwa demokrasi tidak bisa berjalan tanpa kebebasan pers. Kritik harus dipandang sebagai vitamin, bukan racun. Pertanyaan wartawan harus dianggap sebagai bagian dari kontrol sosial, bukan ancaman politik.
Kepada Presiden Prabowo, saya percaya Anda memahami sejarah bangsa ini. Jangan biarkan staf-staf birokrasi membuat catatan buruk dalam perjalanan demokrasi kita. Tunjukkan bahwa pemerintahan ini berdiri di atas keterbukaan, bukan ketertutupan. Dikembalikan ID card wartawan CNN Indonesia ada satu keseriusannya menuju demokrasi.
Biarkan wartawan itu kembali bertugas seperti sediakala, sebagaimana amanat reformasi yang telah kita perjuangkan.
Akhirnya bahwa kebebasan pers bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang. Banyak wartawan di negeri ini yang pernah dipenjara, dikejar, bahkan kehilangan nyawanya demi mempertahankan kebenaran. Apakah kita rela mengorbankan semua sejarah itu hanya karena rasa tidak nyaman terhadap sebuah pertanyaan? Pers harus tetap menjadi pengawal kebenaran. Wartawan jangan pernah takut bertanya. Karena di balik setiap pertanyaan wartawan, ada hak publik yang harus dipenuhi.
Itulah sebabnya saya menulis catatan ini—sebagai pengingat, sebagai kritik, sekaligus sebagai seruan bahwa kita tidak boleh lengah. Demokrasi hanya bisa berjalan jika pers tetap bebas, independen, dan berani.
Aendra Medita
Jurnalis Senior, dan aktif menajdi anslis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) dan JALA BHUMI KULTURA (JBK)
ULTIMATUM BANDUNG
by M Rizal Fadillah*)
Gerakan Aksi Ummat Melawan (GAUM) Bandung mengadakan acara diskusi tanggal 27 September 2025 di Bandung. Bahasannya adalah menakar korupsi Jokowi...