Home Bandung EDITORIAL JABARSATU: Polisi Diperlukan Publik, Presiden Harus Dihargai

EDITORIAL JABARSATU: Polisi Diperlukan Publik, Presiden Harus Dihargai

97
0
Presiden Prabowo Subianto/ist

EDITORIAL JABARSATU: Polisi Diperlukan Publik, Presiden Harus Dihargai

Di tengah hiruk pikuk politik dan derasnya perdebatan publik, kita kerap menyaksikan kecenderungan yang berbahaya: delegitimasi terhadap institusi negara. Dua pilar penting—kepolisian dan presiden—acap kali dijadikan sasaran serangan, baik terbuka maupun terselubung. Fenomena ini perlu kita sikapi dengan jernih.

Polisi dan presiden bukanlah entitas yang sempurna. Kritik kepada keduanya sah dan bahkan perlu dalam iklim demokrasi. Namun, ketika kritik berubah menjadi penghinaan, fitnah, atau bahkan intrik untuk melemahkan negara dari dalam, maka demokrasi itu sendiri yang terancam. Editorial ini menegaskan dua hal: publik tetap membutuhkan polisi dan presiden sebagai simbol kedaulatan rakyat harus dihargai.

Polisi: Pilar Ketertiban yang Tak Tergantikan

Polri lahir kembali dalam semangat reformasi dengan pemisahan dari militer. Tujuannya jelas: agar polisi bekerja sebagai alat sipil negara, bukan instrumen politik kekuasaan. Publik berharap polisi menjadi pengayom, pelindung, dan penegak hukum yang adil.

Memang, publik punya catatan kritis. Ada kasus penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan tindakan represif yang melukai rasa keadilan. Namun, kita tidak boleh buta terhadap kenyataan bahwa polisi tetaplah institusi vital. Tanpa polisi, lalu lintas akan kacau, tindak kriminal meningkat, dan masyarakat terjebak dalam hukum rimba.

Dalam setiap bencana, polisi hadir. Dalam setiap peristiwa kriminal, polisi bergerak pertama. Dalam pengaturan jalan raya, polisi menjadi penjaga keseharian. Kritik boleh diarahkan, tetapi menolak keberadaan polisi sama saja dengan menolak ketertiban. Publik tidak boleh terjebak pada sikap hitam-putih: membenci institusi hanya karena ulah segelintir oknum.

Kebutuhan publik akan polisi nyata dan tak tergantikan. Justru tugas kita bersama adalah memastikan reformasi Polri terus berjalan, transparansi ditegakkan, dan integritas aparat semakin kuat.

Presiden: Simbol Kedaulatan Rakyat

Presiden bukan hanya pejabat administratif. Ia adalah simbol negara dan representasi pilihan rakyat. Dalam sistem republik, presiden dipilih melalui proses demokrasi yang sah. Oleh karena itu, menghargai presiden bukan semata menghormati sosok individu yang menjabat, melainkan juga menghormati hasil kedaulatan rakyat.

Mengkritik presiden tentu boleh. Bahkan wajib, jika kebijakan dianggap keliru. Namun, kritik harus dilakukan dengan etika, bukan dengan caci maki, fitnah, atau intrik politik yang licik. Demokrasi membutuhkan oposisi yang sehat, bukan sabotase yang merongrong negara dari belakang.

Serangan kepada presiden dengan cara yang tidak bermartabat sejatinya adalah serangan terhadap demokrasi itu sendiri. Kita boleh berbeda pandangan, tetapi jangan melupakan bahwa presiden adalah simbol negara. Melecehkan simbol negara sama dengan melecehkan republik.

Bahaya “Mengunting dalam Lipatan”

Sejarah bangsa ini sarat dengan praktik mengunting dalam lipatan—tindakan menusuk dari dalam, menjatuhkan bukan secara terang-terangan, melainkan melalui cara-cara licik. Inilah bahaya besar yang kini kembali menghantui.

Melawan secara terbuka masih bisa diperdebatkan secara sehat. Namun, melawan dari belakang menimbulkan luka yang lebih dalam. Apalagi jika yang ditargetkan adalah presiden dan aparat negara. Itu bukan lagi kritik, melainkan perongrongan terhadap stabilitas nasional.

Demokrasi hanya bisa bertahan jika ada oposisi yang sehat: oposisi yang mengajukan alternatif, memberikan kritik yang konstruktif, dan tetap mengedepankan kepentingan bangsa. Sebaliknya, oposisi yang sibuk menebar intrik dan sabotase hanya akan menggerogoti fondasi negara.

Polisi Berintegritas, Presiden Bermartabat

Maka, ada dua tuntutan penting bagi bangsa ini. Pertama, polisi harus terus membuktikan integritasnya. Reformasi Polri tidak boleh berhenti. Oknum yang menyalahgunakan kekuasaan harus ditindak tegas. Transparansi dan kedekatan dengan masyarakat harus diperkuat.

Kedua, masyarakat harus mampu menempatkan presiden pada posisi yang tepat. Kritik boleh, bahkan harus, tetapi dengan cara yang beretika. Menghormati presiden bukan berarti menutup mata terhadap kesalahan, melainkan menjaga martabat republik.

Penutup

Kita sedang berada di persimpangan jalan. Jika publik terus dibiarkan terbawa arus provokasi dan intrik yang memecah belah, maka stabilitas bangsa terancam. Editorial ini menegaskan: polisi tetap diperlukan publik, presiden harus dihargai.

Demokrasi bukanlah anarki. Demokrasi membutuhkan hukum, ketertiban, dan simbol negara yang dihormati. Tanpa polisi, ketertiban hilang. Tanpa presiden, negara kehilangan arah.

Mari kita hentikan budaya mengunting dalam lipatan. Mari kita kritisi dengan beretika, mari kita bangun republik dengan cara yang bermartabat. Hanya dengan itu, Indonesia bisa tetap berdiri kokoh sebagai rumah bersama.(JBS)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.