JABARSATU.COM — Bandung tidak hanya diam. Di balik riuh rendah media sosial dan gelombang informasi yang membanjiri layar kaca, ada sebuah ruang diskusi yang justru memeluk kesunyian. Di sana, di sebuah ruang hotel di Jalan Pasteur, puluhan orang berkumpul. Mereka bukan sekadar penonton, melainkan para penggerak yang merajut narasi, mencari makna di balik hingar-bingar konten.
Hari itu, 11 September 2025, dalam gelaran Jabar Media Summit 2025, mereka membicarakan sesuatu yang sering kali terlupakan dalam pusaran klik dan views dampak.
Andres Fatubun, Pemimpin Redaksi Ayobandung.id, membuka percakapan dengan sebuah pengakuan jujur. Konten, katanya, bukan sekadar tulisan yang dibaca lalu terlupakan. Ia bisa hidup, berkembang, bahkan menjelma menjadi aset.

Ia menunjuk Ayo Biz, sebuah kanal yang awalnya hanya memuat profil UMKM. Kini, ia telah bertransformasi menjadi pintu masuk bagi pelatihan keuangan, akses perbankan, hingga strategi pemasaran. Jurnalisme semacam ini, tutur Andres, tidak hanya memberitakan, tetapi juga membangun jembatan menuju solusi.
“Kami menggandeng Rumah BUMN. Konten tidak berhenti jadi berita, tapi ikut mendorong ekosistem berkembang,” ujarnya.
Keberlanjutan adalah kunci. Konten bisa menjadi modal, bahkan diakui di tingkat internasional. Liputan Ayobandung tentang lahan kritis di Bandung Utara, misalnya, terpilih dalam program Earth Journalism Network (EJN). Mereka diundang sebagai perwakilan media lokal dari empat negara. Sebuah langkah awal menuju grant.
Tapi dampak sesungguhnya, menurut Andres, justru lahir ketika warga dilibatkan. Melalui Ayo Netizen, masyarakat Bandung menulis pengalaman sehari-hari naik angkot, mencicipi cuanki, atau berkunjung ke perpustakaan. Laporan warga, katanya, justru lebih menarik, lebih dekat, lebih intim.
Di sisi lain, Subagja Hamara, General Manager Harapan Rakyat, mengingatkan bahwa konten berdampak harus memenuhi kriteria dasar topik yang menyentuh kepentingan banyak orang dan mampu menjawab rasa penasaran publik. Namun, ia menegaskan, akurasi, relevansi, dan narasi yang mudah dicerna tetap harus dijaga dalam koridor etik jurnalistik.

Yang tak kalah penting, distribusi. Konten bagus tapi tidak tersalurkan, percuma. Sebaliknya, distribusi hebat tanpa kualitas, juga sia-sia. Dua kekuatan ini harus berjalan beriringan.
Subagja bercerita tentang masa kejayaan adsense beberapa tahun silam. Harapan Rakyat rela menggelontorkan puluhan juta rupiah per bulan untuk iklan, mendistribusikan konten hingga ke Pangandaran dan Tasikmalaya. Hasilnya, audiens lokal tumbuh, performa distribusi melejit.
Eksplorasi format juga menjadi catatan penting. Media tidak boleh berhenti pada tulisan. Video, live report, infografis, storytelling sinematik, bahkan ilustrasi berbasis AI, semua harus dicoba agar konten tetap menarik dan aman dari klaim hak cipta.

Dewi Laila Sari, Country Coordinator EJN, membawa perspektif baru. Menurutnya, lanskap media digital telah melahirkan logika yang berbeda dari media tradisional. Televisi dan radio cenderung pasif, sementara media digital menuntut keterlibatan aktif.
“Orang mencari informasi dengan kata kunci, memilih konten sesuai kebutuhan, bahkan membandingkan sumber,” ujarnya.
User-generated content telah mengubah wajah jurnalisme. Warga bukan lagi sekadar konsumen, melainkan produsen konten. Interaktivitas pun berubah. Like, komentar, dan share menjadi ukuran baru keterikatan audiens yang nyata dan terukur.
Di tengah persaingan yang semakin deras, Dewi menyarankan media lokal untuk fokus pada kekuatan sendiri. “Sekarang zamannya hiperlokal. Semakin lokal, semakin jelas target audiensnya, semakin niche market-nya.”
Yuda Sanjaya dari Radarcirebon.com mengamini. Media lokal, katanya, harus berani memimpin narasi, bukan sekadar mengikuti keinginan publik. “Kalau salah sedikit, kantornya yang didatangi. Hubungannya dekat, tapi resistensinya tinggi.”
Ia mengakui, tantangan terbesar adalah ketika traffic media sosial tidak lagi mengalir otomatis ke situs berita. Orang membuka Instagram, ya sudah di Instagram. Mereka enggan pindah platform.
Radar Cirebon pun beradaptasi. Alih-alih memaksa audiens masuk ke website, mereka memaksimalkan engagement di setiap platform. Model bisnis diarahkan untuk sesuai dengan karakteristik masing-masing platform.
