Irawati Durban Dilahirkan tahun 1943, Irawati Jogasuria atau Irawati Durban Ardjo adalah penari yang sejak 1957 telah mengikuti delapan Misi Kesenian Indonesia ke luar negeri dari tiga belas Misi Kesenian Indonesia yang menyertakan tari Sunda ke luar negeri.
Dalam upayanya untuk memperkenalkan Indonesia yang muda ke dunia luar, Presiden Soekarno telah mengirimkan dua puluh misi kesenian dari tahun 1952 hingga 1965 ke berbagai negara. Di masa Presiden Soeharto, Ira adalah penari Sunda yang paling sering diminta menari untuk para Tamu Negara di Istana Jakarta 1971-1998. Sejak 1990 ia lebih banyak menampilkan murid Pusbitari-nya di Istana Negara, namun di masa Presiden Soesilo Bambang Yoedoyono, sebagai peringatan 50 tahun kiprahnya menari, Ira khusus turut menarikan Tari Merak bagi Presiden George Bush di Istana Bogor pada tahun 2006.
Pentas murid Pusbitari di Istana Bogor selanjutnya ialah pada kunjungan Raja dan Ratu dari Swedia, 22 Mei di masa Presiden Joko Widodo tahun 2017. Pada tahun 1967, ia diminta untuk menjadi staff pengajar tari di Konservatori Tari Indonesia, Bandung (KORI) yang 1970 menjadi Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI). Walaupun lulus sebagai sarjana Interior Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung 1975, lalu bekerja di Studio Interior Widagdo dan menjadi dosen di Jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan (Unpar), Irawati menyadari bahwa dia adalah satu-satunya pengajar tari puteri Sunda di ASTI, maka dia memilih untuk berhenti dari kedua pekerjaannya dan mengabdikan ilmu tarinya di ASTI/ Tinggi Seni Indonesia (STSI, 1998) dan tahun 2008 ia menerima pensiun. Pengalamannya mengajar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat yakni: di Center for World Music, Berkeley (1974) dan di Universitas California of Santa Cruz (1988, 2000, 2005, 2014), Mexico City 2005 dan di Belanda (1989).
Untuk meluaskan kiprahnya dalam dunia tari, Irawati membentuk perkumpulan Pusat Bina Tari Irawati Durban (Pusbitari ID) tahun 1986. dengan aktifitas: membuka kursus tari, membuat karya tari, dan mengisi acara maupun menyelenggarakan pergelaran besar. Pusbitari ID berkembang menjadi Yayasan Pusat Bina Tari pada tahun 2009, dengan tiga bidang kegiatan yaitu: Pusbitari ID (Studio Tari untuk kursus tari dan pementasan), Pusbitari Press (menerbitkan buku tari), dan Pusbitari Pro (menyediakan sarana pentas dan latihan).
Di luar studio, bekerjasama dengan sekolah, Disbudpar Propinsi dan Kota, Dinas Pendidikan Propinsi dan Kota, sejak 2003 dia pun meraih guru-guru tari dari sanggar dan sekolah SD, SMP di beberapa kota di Jawa Barat dengan memberikan bimbingan belajar-mengajar Tari Sunda dengan Sistem Mudah dan Cepat. Masa pensiun lebih memberinya waktu dan ruang untuk menulis. Beberapa buku yang diterbitkan Pusbitari Press yaitu buku: Tari Kawit, Tari Sunda 1880-1990, Tari Sunda 1940-1965, 200 Tahun Seni di Bandung, Teknik Tari Sunda Klasik Puteri, dan Tari Merak Sunda. Bersama penulis lain ia menulis “New Sundanese Dances for New Stages”, dalam Heirs to the world Culture, Being Indonesian 1950-1965, KITLV Leiden, 2012.
Irawati Durban Ardjo . Maestro Tari Badaya Rancaekek (Jawa Barat). Photo courtesy of Purnati Indonesia. /ist
Adapun buku yang masih ditulisnya adalah “Semarak Tari Di Tatar Sunda”, buku bilingual Indonesia-Inggris yang ingin disebarkannya ke seluruh perwakilan Indonesia, komunitas seni tradisional dan universitas di luar negeri. Dalam era Presiden Jokowi beberapa acara penting dilaksanakannya, antara lain: Peringatan 50 Tahun Tari Merak dengan puncak acara Parade Akbar “Sarewu Merak Tandang”di Jalan Asia Afrika Bandung, yang diikuti oleh 1560 penari dari sanggar tari se Jawa Barat dan mendapat penghargaan dari ORI (Original Rekor Indonesia). Dalam program Tim ekspedisi Kapsul Waktu sebagai simbol “Gerakan Ayo Kerja”, pada 70 Tahun Indonesia Merdeka pada 1 November 2015, di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Pusbitari ID menampilkan 34 penari Merak.
Pada acara penandatangan Kepres 1 Juni 2016 tentang Hari Lahir Pancasila di Gedung Merdeka, Bandung, Pusbitari ID menampilkan lima penari Kukupu sebagai lambang dari kelahiran Pancasila. Pada “14th Globelics International Conference”, Oktober 2016 di Gedung Merdeka yang diikuti oleh 40 negara peserta, Pusbitari menampilkan Tari Merak. demikian yang kami kutip di laman irawatidurban.com
Catatan tentang sang maestro ini juga bahwa Irawati Durban Ardjo Maestro Tari Badaya Rancaekek dan pernah dipentaskna di gedung Kesenian Jakarta Dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 22 Mei 1943, Irawati Jogasuria atau yang kemudian dikenal dengan nama Irawati Durban Ardjo adalah salah satu maestro khazanah tari Sunda. Pada awalnya ia belajar menari karena sering melihat kakaknya menari. Tari Arab adalah tarian yang pertama Ira pelajari dari kakak iparnya bernama Kusumah, tarian ini ditarikan di Gedung Concordia Bandung sekitar 1949 dalam pesta samen SMA kakaknya. Namun, ia juga belajar menari karena menonton lm balet Red Shoes di bioskop Majestic Bandung. Akhirnya ia belajar balet secara sungguh-sungguh kepada Gina Mellonceli, tetapi hanya selama empat bulan.
Pada 1956 Irawati belajar tari Sunda di Badan Kesenian Indonesia (BKI) yang didirikan oleh Tubagus Oemay Martakusuma dengan guru Raden Rusdi Somantri alias Tjetje Somantri. Bakat Irawati rupanya memikat guru-gurunya. Dari penari di barisan belakang menjadi penari di barisan depan. Setahun kemudian Presiden Sukarno mengirimkan misi kesenian ke Cekoslovakia, Hongaria, Polandia, Rusia, dan Mesir. Rombongan dari Jawa Barat diwakili oleh Irawati, Indrawati Lukman, Karmilah, Raden Dida Hasanudin, dan Kandi (pengendang) bersama dengan Ibu Poerwo sebagai ibu asuh para remaja dalam rombongan ini.
Sekembalinya dari misi kesenian tersebut, Irawati, Indrawati, dan Karmilah sering berpentas dan menjadi penari di Istana Negara, Istana Bogor, Gedung Pakuan, atau di hotel-hotel besar di Bandung seperti Bumi Sangkuriang, Hotel Orient, atau di Savoy Homann. Karena seringnya menari bersama, Irawati, Indra, dan Karmilah sering dijuluki sebagai “Tritunggal” terutama saat menarikan Tari Sulintang. Pada 1960-an Irawati mulai bergabung dengan Viatikara sebagai penari bersama Indrawati dan Karmilah. Berbeda dari tarian yang dipelajari di BKI tarian ini lebih kontemporer karena dibuat berdasarkan keinginan Presiden Sukarno untuk menciptakan tari nasional.
Setelah itu, Irawati masih ikut dalam misi kesenian ke luar negeri, semisal Thailand dan Amerika Serikat, terutama New York World’s Fair 1964. Sepulang dari Amerika Serikat, Irawati diminta menyiapkan penari yang akan diberangkatkan ke New York World’s Fair 1965. Irawati kemudian menggubah ulang kembali Tari Merak karya Raden Tjetje Somantri. Namun, misi ini batal karena peristiwa Gerakan 30 September yang membuat Presiden Sukarno jatuh. Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, Irawati masih mendapat tugas sebagai penari istana. Bahkan, Irawati sempat mempertunjukkan Tari Kandagan di hadapan Ratu Juliana dan Pangeran Bernard dari Belanda.
Selain sebagai seorang penari dan penggubah tari, Irawati tentu saja adalah seorang guru. Pengalaman mengajarnya, antara lain, di Konservatori Tari Indonesia (KORI) Bandung pada 1967. Lembaga ini kemudian berubah menjadi Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) sebelum akhirnya menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan kini Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Irawati pensiun dari STSI pada 2008. Pengalaman mengajar tari juga ia dapatkan ketika diminta menjadi dosen tamu di Center for World Music, Berkeley, dan Universitas California Santa Cruz, Amerika Serikat.
Pada 1980, Irawati mempelajari Tari Badaya Rancaekek dari Raden Nugraha Soediredja. Irawati kemudian membentuk wadah Pusat Bina Tari (Pusbitari) di Bandung pada 1986, yang di dalamnya ia melakukan pembinaan dan pertunjukan. Sebagai dosen ia telah menulis sejumlah buku tari, diantaranya Kawit: Teknik Gerak dan Tari Dasar Sunda, Tari Sunda 1880-1990, Tari Sunda 1940-1965, 200 Tahun Seni di Bandung, Teknik Tari Sunda Klasik Putri, dan Tari Merak Sunda. Irawati juga menulis artikel “New Sundanese Dances for New Stages” dalam Heirs to the World Culture: Being Indonesia 1950-1965 yang disunting oleh Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem.
Atas dedikasinya dalam melestarikan tari Sunda, Irawati Durban Ardjo mendapatkan beberapa penghargaan, diantaranya, Tanda Penghargaan dari Panitia Konferensi Internasional Budaya Sunda, Yayasan Kebudayaan Rancage Bandung (2001), Lalayang Salaka Domas dari STSI Bandung (2003), Anugrah Budaya Wali Kota Bandung (2011), Ori Award, Original Rekor Indonesia (2015), Maestro Tari dari Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (2015), Icon Pancasila (2018), dan Tari Merak Sunda sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020).
Tari Putri Relati/Kandagan
Lain lagi dengan Tari Kandagan. Pada 1957, Raden Tjetje Somantri menciptakan tari Topeng Wadon yang pertama kali dipertontonkan dalam Kongres Jawatan Pendidikan Masyarakat Pusat di Argamulya, Tugu, Bogor. Rupanya, tari putri baru dengan gerakan yang gagah dan lincah ini disukai oleh penonton. Namun, ada soal dengan namanya. Berdasarkan perundingan sejumlah tokoh di BKI, akhirnya nama tarian itu berubah menjadi Renggarini. Rengga berarti “berlaga atau bertingkah”, sedangkan rini artinya “wanita”. Akan tetapi, Tari Renggarini hanya pernah ditarikan dua kali saja, karena pada sekitar 1958/1959 tarian ini dikembangkan menjadi Tari Kandagan.
Tari Kandagan adalah salah satu tarian yang disukai oleh murid-murid di perkumpulan tari Rinenggasari pimpinan Raden Tjetje Somantri. Geraknya yang gagah dan lincah, serta gerakan menyepak soder hingga melambung ke atas menjadi ciri khas dari tarian ini. Tari Kandagan seolah-olah menjadi representasi wanita modern pada masa itu, karena sebelumnya, tari perempuan lebih banyak menggunakan kain yang dibalut dengan ketat, seolah memberikan batasan ruang untuk bergerak. Kata Kandagan berasal dari kata kandaga yang berarti “wadah atau tempat menyimpan perhiasan”, yang dapat diartikan bahwa tarian ini adalah wadah dari gerak-gerak tari yang indah. Tarian ini menggambarkan tentang tokoh Dewi Anjasmara yang menyamar sebagai pria untuk mencari kekasihnya
Damarwulan ke Blambangan. Selain itu, Tari Kandagan juga sering digambarkan sebagai laku seorang putri bernama Relati dari Keraton Kanoman Cirebon yang menari ketika menyambut para tamu
Selamat jalan Irawati Durban. Karyamu abadi. (ame)
JABARSATU.COM -- Bandung tidak hanya diam. Di balik riuh rendah media sosial dan gelombang informasi yang membanjiri layar kaca, ada sebuah ruang diskusi yang...