AKU pernah percaya bahwa dunia ini bisa dijelaskan dengan kata “pasti.”
Lalu seseorang menjual kepastian dalam bentuk iklan berdurasi lima belas detik di antara dua video lucu kucing yang jatuh dari meja. Aku tonton, aku klik, aku masukkan ke keranjang — tapi saat kukonfirmasi pembayaran, notifikasinya bilang: “Kepastian tidak tersedia di wilayah Anda.” Mungkin mereka mengira aku tinggal di dimensi abu-abu, di mana waktu cuma konsep promosi, dan makna adalah algoritma yang sedang cuti.
Kadang aku berpikir, mungkin kepastian itu cuma rasa manis yang sudah kedaluwarsa.
Seperti dodol yang diaku brownies — lembek, manis, tapi mengaku modern.
Kita semua suka berpura-pura jadi sesuatu yang lebih elegan dari asalnya, karena jujur itu kalah pamor dari kemasan yang glossy.
Aku melihatnya di mana-mana: di linimasa, di obrolan warung kopi, di forum digital yang katanya berbagi wawasan tapi isinya caci maki berformat HD.
Orang-orang bicara tentang “integritas”, tapi dalam waktu bersamaan, mereka menyewa buzzer moralitas dengan diskon dua puluh persen.
Lucu, bukan? Dunia ini seperti lomba cosplay kebenaran, dan setiap orang bersaing untuk menjadi paling autentik dalam kepalsuan.
Aku kadang tertawa sendiri.
Tertawa yang tidak keluar dari mulut, hanya berdengung di dalam tenggorokan, seperti serangga yang lupa jalan pulang.
Karena apa gunanya serius, kalau yang serius sekarang dianggap membosankan?
Lebih baik jadi lucu, absurd, dan bisa dibagikan ulang.
Lucu adalah mata uang baru; ironi adalah dompet digitalnya.
Aku ingat dulu, waktu kecil, orang bilang kalau hidup itu perjuangan mencari kepastian.
Sekarang aku pikir hidup itu kompetisi siapa paling lihai menunda kepastian dengan gaya estetik.
Kita menunda semuanya — komitmen, keberpihakan, bahkan rasa peduli — selama masih bisa menambahkan filter yang membuat semuanya tampak lebih lembut.
Dan di balik semua itu, kita bilang, “Aku hanya realistis.”
Padahal yang kita maksud: “Aku takut kecewa, tapi ingin tetap terlihat keren.”
Lalu datang masa ketika kebenaran dibungkus dalam template PowerPoint, dipresentasikan dengan emoji, dan diakhiri dengan ajakan “jangan lupa like & subscribe untuk kejujuran berikutnya.”
Di situ aku sadar, mungkin yang rusak bukan dunia, tapi rasa malu kita terhadap kepura-puraan.
Karena dulu, berpura-pura itu seni. Sekarang, berpura-pura itu keharusan.
Kalau tidak, kamu akan tertinggal di belakang gelombang trending yang berpindah lebih cepat dari detak hati orang yang sedang pura-pura jatuh cinta.
Aku tidak tahu sejak kapan orang-orang lebih percaya pada caption daripada kenyataan.
Mungkin sejak foto makanan lebih berarti daripada rasa kenyang.
Atau sejak kata-kata “real” dan “vibes” jadi mantra untuk menutupi kehampaan.
Aku pernah melihat seseorang menangis sungguhan, tapi tak sempat diabadikan, lalu tangis itu dianggap tidak penting.
Di dunia yang butuh bukti visual, perasaan jadi kalah cepat dari sinyal Wi-Fi.
Tapi aku tetap bicara, entah pada siapa.
Mungkin pada diriku yang lain — versi yang dulu percaya pada makna.
Atau pada kamu, pembaca yang sedang menatap layar sambil setengah mengantuk, tapi masih penasaran kenapa aku terus ngoceh soal dodol dan brownies.
Percayalah, aku juga tidak sepenuhnya tahu.
Mungkin aku hanya ingin menertawakan sesuatu tanpa tahu mana yang lucu — dunia atau diriku sendiri.
Ada masa ketika absurd jadi bahasa resmi kehidupan.
Lihat saja berita hari ini:
orang yang berbohong disebut “strategis,”
orang yang diam disebut “netral,”
dan orang yang jujur disebut “provokatif.”
Semua istilah moral kini punya padanan versi premium.
Bahkan dusta pun bisa di-upgrade jadi “narasi alternatif.”
Mungkin sebentar lagi, dosa juga bisa di-rebrand jadi “pengalaman spiritual fleksibel.”
Di tengah semua itu, aku mencari kekuatan yang beda — bukan kekuatan untuk berkuasa, tapi kekuatan untuk tetap waras.
Karena di era ini, waras adalah bentuk perlawanan paling radikal.
Kamu bisa dituduh pesimis hanya karena tidak ikut tertawa.
Kamu bisa dibilang bodoh hanya karena tidak ingin viral.
Dan ironisnya, bahkan keheningan pun sekarang butuh pengumuman: “Sedang offline untuk mencari jati diri.”
Kadang aku berpikir, mungkin dunia memang diciptakan untuk menguji seberapa lama manusia bisa menahan diri untuk tidak jadi badut.
Tapi siapa yang bisa menolak tawa penonton, meski tawa itu kosong?
Kita semua, entah sadar atau tidak, sedang tampil di panggung absurd — saling bersaing bukan untuk menjadi benar, tapi untuk menjadi paling bisa dipercaya dalam kebohongan.
Satu-satunya hal yang asli tinggal rasa lelah.
Namun di tengah semua ironi itu, aku masih percaya satu hal:
setiap absurditas menyimpan doa kecil.
Doa dari manusia yang masih ingin percaya, walau tahu keyakinan hari ini bisa ditukar dengan kode promo.
Mungkin itu sebabnya aku masih menulis — untuk mencari secuil kejujuran di antara tumpukan hashtag dan jargon motivasi.
Menulis bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk memastikan bahwa aku masih bisa merasa jijik terhadap kepalsuan.
Dan mungkin, itu tandanya aku belum sepenuhnya rusak.
Kadang aku membayangkan kalau dunia ini sebenarnya cuma dapur raksasa, dan kita semua adalah bahan setengah jadi yang saling menunggu giliran untuk dimasak oleh opini publik.
Ada yang jadi kue kering penuh hiasan, ada yang gosong tapi viral karena bentuknya unik.
Yang tragis adalah: tidak ada yang ingin jadi dodol lagi.
Dodol terlalu jujur, terlalu melekat di tangan, terlalu lengket dengan kenyataan.
Kita semua ingin jadi brownies — manis, modern, bisa difoto dari sudut terbaik tanpa ketahuan retaknya di tengah.
Aku pernah mencoba jujur di hadapan dunia, tapi dunia menatapku dengan bingung.
Seolah-olah kejujuran itu bahasa kuno yang sudah dihapus dari kurikulum kehidupan.
Seseorang bahkan menasihatiku: “Kalau mau didengar, jangan terlalu tulus. Orang takut sama yang terlalu nyata.”
Lalu aku belajar: agar pesanmu viral, jangan jadi benar, jadilah menarik.
Dan menarik seringkali berarti setengah dusta, tapi dibungkus manis.
Seperti dodol berlapis cokelat — rasa lokal disamarkan oleh nama global.
Aku mulai sadar, absurditas bukan anomali; absurditas adalah tata tertib baru.
Kini, bahkan kemarahan pun punya estetika.
Orang memaki dengan huruf kapital penuh semangat, lalu menambahkan emoji api dan hati.
Kemarahan dikurasi agar terlihat artistik.
Kesedihan diberi filter sepia supaya tampak lembut dan layak di-share.
Kita semua jadi sutradara tragedi pribadi, lengkap dengan soundtrack dan caption puitik.
Dan ironisnya, aku juga ikut tertular.
Setiap kali merasa hampa, aku tak lagi berdoa — aku membuka catatan ponsel dan menulis kalimat ambigu:
“Mungkin sunyi juga butuh penonton.”
Aku menulis itu bukan untuk mencari makna, tapi agar terlihat seperti orang yang sedang mencari makna.
Karena di zaman ini, pura-pura mendalam lebih dihargai daripada berdiam dalam kedalaman yang sebenarnya.
Pernah suatu malam aku berbincang dengan diriku sendiri di cermin.
Aku tanya, “Kenapa kamu terus berusaha terlihat kuat?”
Bayanganku menjawab, “Karena lemah tidak dapat engagement.”
Lalu kami tertawa bersama, tawa tanpa gema, seperti lelucon yang gagal tapi dipaksakan untuk jadi konten.
Dan malam itu aku sadar, bahkan refleksi pun kini terlatih untuk memberi jawaban yang bisa dijual.
Aku sering mendengar orang bilang, “Yang penting bahagia.”
Tapi siapa yang tahu arti bahagia hari ini?
Apakah bahagia berarti damai, atau sekadar punya notifikasi baru tiap sepuluh menit?
Aku rasa kita tidak benar-benar mencari bahagia — kita mencari validasi yang bisa diukur dengan angka.
Kita menimbang eksistensi dengan jumlah tanda hati di layar, seolah cinta bisa dikalkulasi dengan algoritma.
Di dunia yang diukur oleh metrik, bahkan perasaan harus punya data analytics.
Aku pernah mencoba hening — mematikan semua, menutup layar, menatap langit malam.
Tapi bintang-bintang pun terasa seperti pixel, tidak lagi abadi, cuma latar resolusi rendah dari semesta yang dulu magis.
Aku rindu langit yang tidak bisa diklik.
Aku rindu percakapan yang tidak disimpan.
Aku rindu menjadi manusia tanpa riwayat digital.
Namun setiap kali aku mencoba kabur, dunia memanggil dengan notifikasi lembut:
“Kami merindukanmu.”
Dan seperti pecandu yang tahu dirinya kalah, aku kembali masuk.
Aku men-scroll kepastian dalam bentuk potongan video motivasi:
“Percayalah pada proses,” katanya.
Padahal prosesnya hanyalah putaran tak berujung dari simulasi absurditas.
Kita berlari di treadmill makna — berkeringat tanpa bergerak maju.
Aku ingin tertawa, tapi yang keluar hanya gumaman.
Lucu sekali: kita hidup di era paling terhubung, tapi semua orang merasa paling sendirian.
Kita punya ribuan teman, tapi tidak tahu ke mana harus pergi ketika hati patah.
Kita saling mengenal dari bio yang disusun rapi, tapi lupa menanyakan nama tengah satu sama lain.
Kita tahu tanggal lahir seseorang, tapi tidak tahu apa yang membuatnya takut.
Kita tahu cara membuat orang terkesan, tapi tidak tahu cara membuat orang tenang.
Mungkin itu sebabnya dunia terasa seperti pesta kostum tanpa akhir.
Setiap orang memakai topeng dengan desain terbaru, disesuaikan tren.
Yang menarik, semakin mahal topengnya, semakin miskin wajah di baliknya.
Kita tidak lagi berbicara untuk saling memahami; kita berbicara untuk saling menandai eksistensi.
Dialog kini hanyalah duel branding.
Dan di tengah parade itu, aku masih memegang satu pertanyaan kecil:
apakah kepastian masih ada, atau sudah sepenuhnya digantikan oleh update?
Kepastian dulu seperti batu — padat, dingin, dapat disentuh.
Sekarang kepastian seperti awan digital: bisa diunduh, tapi menguap begitu disentuh pikiran.
Kita menginginkan kepastian, tapi hanya yang tidak menuntut konsekuensi.
Kita ingin janji, tapi dengan opsi “ubah sewaktu-waktu.”
Lucunya, bahkan cinta kini punya tombol unsubscribe.
Kita bisa berhenti mencintai tanpa penjelasan — cukup klik “keluar dari percakapan.”
Rasa sakit menjadi data loss, dan kenangan jadi cache yang bisa dihapus.
Begitu praktis, begitu steril, begitu… tak manusiawi.
Tapi kita tepuk tangan, karena efisien.
Kita lupa bahwa kemudahan sering kali hanya kedok untuk menghindari luka.
Padahal luka adalah satu-satunya bukti bahwa kita masih nyata.
Aku pernah bermimpi dunia ini benar-benar rusak:
semua jaringan mati, semua server hangus, dan semua orang harus menatap satu sama lain tanpa bantuan layar.
Mula-mula mereka panik, lalu bingung, lalu sunyi.
Tapi setelah itu, sesuatu yang aneh terjadi: mereka mulai berbicara.
Bukan dengan kata-kata sempurna, tapi dengan tatapan yang kikuk dan tangan yang gemetar.
Mereka saling mengenali bukan dari profil, tapi dari napas.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dodol terasa lebih jujur daripada brownies.
Manisnya tidak palsu, lengketnya nyata, tidak bisa difilter.
Aku terbangun dengan mata basah, tapi entah kenapa aku tertawa.
Mungkin karena aku sadar, absurditas hanya bisa dikalahkan dengan kejujuran yang tidak tahu malu.
Bukan kejujuran yang indah, tapi yang canggung.
Yang belepotan.
Yang tidak takut tampak bodoh.
Karena kebenaran sejati, pada akhirnya, memang selalu terlihat konyol di mata dunia yang sibuk tampil elegan.
Dan mungkin di situlah kekuatan yang beda.
Bukan kekuatan untuk mengubah dunia, tapi untuk tidak ikut menjadi lucu ketika dunia berubah jadi panggung lawak.
Kekuatan untuk tetap merasa, meski perasaan kini dianggap kelemahan.
Kekuatan untuk menatap kaca dan berkata, “Aku masih manusia, meski hanya tersisa sedikit bagian darinya.”
Sekarang aku duduk di depan layar, menulis ini.
Mungkin kamu membacanya di ponsel, di sela waktu, sambil menunggu iklan berikutnya selesai.
Dan mungkin kamu akan tersenyum, atau mengernyit, atau melupakannya begitu saja.
Tidak apa.
Karena yang aku cari bukan perhatianmu, tapi gema kecil dari kesadaran yang mungkin juga sedang kamu sembunyikan.
Jika ada satu hal yang ingin kusampaikan sebelum absurd ini menutup dirinya sendiri, mungkin ini:
Dunia tidak akan pernah memberi kepastian.
Tapi kamu masih bisa memilih untuk tidak ikut menjualnya.
Dan kalau suatu hari kamu menemukan seseorang yang suka dodol tapi ngaku brownies,
tolong jangan langsung menertawakannya.
Mungkin dia sedang berusaha jadi manis dengan caranya sendiri —
sebelum dunia memaksanya jadi asin demi tampak keren.
Inilah monolog naratif-satir penuh yang jadi — refleksi absurd, getir, tapi dengan denyut humor halus yang menyorot konteks manusia digital masa kini: kebenaran cair, kepastian palsu, dan absurditas sosial yang menular.
Di Balik Tim Reformasi Polri, Pengamat: Prabowo Siapkan Infrastruktur Loyalitas dan Disiplin Baru
JABARSATU.COM– Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai pembentukan Tim Percepatan Reformasi...