Akar Kemerdekaan Sejati
—- Sutoyo Abadi : 07.06.2025
Diliput rasa sedih ditengarai keadaan makin memburuk kebiadaban makin merajalela lela. Peradaban beralaskan etika, moral, karifan, kebijakan terasa menguap ke udara bebas.
Pagi ini dari teras _”Hotel Swiss Leninn Surabaya persiapan lepas menuju Yogyakarta, buka hp corat caret asal melepas pikiran penat sebagai rakyat kecil sekedar menghilangkan stres takut juga terserang penyakit kulit seperti kudis yang mengerikan
Melintas dalam pikiran para pejuang ( aktifis ) yang makin menipis saat ini. Ingat referensi renungan mendalam Tuan Guru Syeh Khalil bin Ahmad, memberi tahu kita bahwa bahwa dalam kelompok manusia ” ada manusia buta, tidak mengerti bahwa dirinya tidak mengerti itu orang bodoh dan tolol- kelompok ini benar – benar buta akan kebenaran, keadilan dan kejujuran”
Ketika di ajak dan diingatkan Indonesia dalam kondisi gawat darurat keadaan harus dilawan, respon si pondan justru balik melawan dengan berbagai alasan tidak peduli benar atau salah.
Kaum Idealisme pejuang sejati harus mempertaruhkan nasibnya kadang seperti menangnya harus kalah atau dikalahkan oleh rekayasa Iblis. Seorang idealis dan pejuang sejati akan memilih kalah sekalipun harus hancur demi kebenaran, keadilan dan kemuliaan hidup.
Makna bagi perjuangan sejati adalah kekuatan ketika posisi dirinya selalu berada pada nilai kebenaran. Upaya mempertahankan idealisme baginya begitu menawan karena itu dirinya menggelandang terus menerus berziarah pada makna kemanusiaan, terus berselancar pada nilai keadilan dan kebenaran sejati.
Seorang idealis butuh kesabaran dalam menyusuri tepian akhir untuk memanusiakan manusia, justru sering berakhir harus di penjara atau mati karena di bunuh oleh orang bodoh yang sedang di perjuangkan agar bisa keluar dari penderita karena kebodohannya.
Mereka yang memperjuangkan rakyat tertindas tanpa meminta imbalan sering mati di tangan mereka sendiri. Bukan karena jahat, tapi karena rakyat terlalu lama memelihara kebodohan, ketololan dan ketakutannya.
Sejarah terus berulang bukan hanya tentang siapa yang berjuang, tapi juga tentang untuk siapa perjuangan itu ditujukan. Inilah keadaan yang menghantui banyaknya pejuang dari zaman ke zaman: Layakkah rakyat yang belum sadar untuk diperjuangkan?
Muhammad Rasyid Ridha pernah berkata getir: “Berjuang demi masyarakat yang bodoh, seperti menyalakan api di tubuhmu sendiri agar bisa menerangi jalan bagi orang buta.”
Tapi api itu pun tak dilirik, karena orang buta lebih memilih kegelapan yang nyaman daripada cahaya yang memaksa mereka membuka mata.
Rakyat yang belum tercerahkan tidak mengenali dirinya sedang menjadi budak penjajah yang kejam dan sadis.
Hanya karena membawa angpao dan beras. Mereka mencibir ajakan melawan kekejaman, ketidakadilan, tanpa rasa malu dan bersalah.
Dalam sejarah perjuangan selalu terjadi yang paling duluan di penjara atau mati bukanlah si tiran, tapi orang yang mencoba membangunkan rakyat dari tidur panjangnya.
Pada akhirnya, kita harus merenung ulang: Perjuangan bukan hanya tentang keberanian mengangkat senjata, tapi tentang keberanian bersabar menanam kesadaran dan menghilangkan kebodohan
Sebab tanpa penyadaran, revolusi hanya akan jadi pertunjukan sepi jadi komoditas orang hanya menonton bahkan teriak galak dari kamar mandi seperti pahlawan ternyata pecundang.
Sejarah akan kembali menorehkan bercak bukan dengan tinta emas, tapi dengan darah pahlawan yang di kriminalisasi oleh penguasa berwatak iblis.
Sekuat apa pun jihad konstitusi hasilnya akan hambar, ketika berhadapan dengan oligarki kekuasaan, dan politik yang kering kesadaran cita-cita luhur bangsa.”
(Haedar Nashir)
Demikian orang bijak dan a rif selalu muncul tidak membawa pedang untuk melawan tetapi dengan sabar masuk dan keluar kampung menyebarkannya dan mengajarkan ke seluruh penjuru Nusantara, menanamkan kesadaran sebelum mengajarkan perlawanan.
Rakyat yang jiwanya telah tercerahkan itulah yang akan bangkit melawan ketidak adilan bertaruh nyawa. Kesadaran itulah yang membentuk rakyat menjadi bangsa. Bangsa yang sadar, meski lambat bangkit, akan berdiri lebih tegak. Itulah akar dari kemerdekaan yang sejati.(*)