“Cengkeraman McMoRan dan Jejak Rio Tinto di Bumi Cenderawasih”
Papua, tanah yang dijuluki Bumi Cenderawasih, adalah salah satu wilayah terkaya di dunia dalam hal sumber daya alam. Tapi ironinya, ia juga menjadi saksi sejarah paling kelam tentang bagaimana kekayaan bisa dirampas melalui perjanjian yang tak setara, atas nama investasi dan pembangunan. Nah..kemarin
Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Prof. Amien Rais, melalui akun YouTube pribadinya, melontarkan kritik tajam terkait pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya PT Freeport Indonesia. Amien mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam menjalankan konstitusi “secara murni dan konsekuen”, sebuah frasa yang populer di era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Amien mengenang kunjungannya ke tambang Freeport di Mimika, Papua, pada Desember 1992, saat ia diundang oleh PT Freeport McMoRan. Saat itu, ia sudah merasakan kegaduhan nasional akibat keberadaan tambang tersebut yang dianggap banyak pakar ekonomi sebagai bentuk penjajahan ekonomi oleh Amerika Serikat.

“Tambang emas Freeport adalah nomor tiga terbesar di dunia, sedang tambang tembaganya nomor satu di dunia. Akan tetapi, dari tahun ke tahun pasokan sumbangan uang dari Freeport ke Jakarta hanyalah sekitar 1,5 persen dari besaran APBN Indonesia. Jadi, kecil sekali,” ungkap Amien Rais di akun YouTube-nya.
Sejak awal, kehadiran Freeport-McMoRan di Indonesia adalah kisah kontroversial. Berawal dari ekspedisi pendaki Belanda, Jean Jacques Dozy, pada 1936 yang menemukan endapan bijih tembaga dan emas di Gunung Ertsberg, penemuan ini baru diaktifkan puluhan tahun kemudian, saat Orde Baru mencari legitimasi ekonomi dan dukungan asing.
Maka, pada tahun 1967—bahkan sebelum Undang-Undang Pertambangan disahkan—kontrak karya diteken. Freeport resmi menggali isi bumi Papua.
Namun, sejak itu pula, pengelolaan tambang ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan? Freeport menghasilkan miliaran dolar setiap tahun, kontribusinya ke kas negara kerap disebut tak sepadan. Profesor Amien Rais mengutip angka yang mengagetkan: hanya sekitar 1,5 persen dari total APBN. Di sisi lain, kerusakan lingkungan berlangsung masif—Sungai Ajikwa tercemar, pulau-pulau kecil hilang, dan masyarakat adat yang terpinggirkan hidup dalam bayang-bayang tambang raksasa.
Tak hanya Freeport, aktor global lain ikut menancapkan kukunya: Rio Tinto, raksasa tambang asal Inggris-Australia, masuk lewat skema partisipasi hasil (participating interest) pada 1996. Dalam skema ini, Rio Tinto berhak atas sebagian besar produksi Freeport, terutama dari tambang bawah tanah Grasberg Block Cave. Dengan kata lain, tambang Indonesia menjadi sumber cuan dua korporasi tambang global—Freeport dan Rio Tinto—dengan pemerintah Indonesia menjadi pihak yang justru paling belakangan mendapatkan bagian signifikan.
Ketika masyarakat sipil bersuara soal nasionalisasi atau renegosiasi, pemerintah akhirnya mengambil langkah membeli sebagian saham Freeport. Pada tahun 2018, lewat holding BUMN tambang, PT Inalum (kini MIND ID), Indonesia resmi memiliki 51,2% saham Freeport Indonesia. Namun, saham itu sebagian besar dibeli dari Rio Tinto, dengan harga lebih dari USD 3,85 miliar.
Pertanyaannya: apakah dengan pembelian ini cengkeraman Freeport-McMoRan dan Rio Tinto betul-betul berakhir?
Jawabannya: tidak. Freeport-McMoRan tetap menjadi pengelola operasional utama. Mereka tetap memegang kendali teknologi, manajemen, dan rantai pasok. Bahkan, sebagian besar keuntungan tetap mengalir ke luar negeri.
Ini bukan sekadar soal kepemilikan saham, tapi soal siapa yang memegang kendali atas tambang dan siapa yang bisa menentukan arah kebijakan lingkungan dan sosial. Kini, setelah kontrak Freeport kembali diperpanjang hingga 2061, tanpa transparansi yang cukup, gelombang kritik muncul kembali.
Profesor Amien Rais menyebut ini sebagai bentuk “state capture corruption”—sebuah korupsi struktural di mana kebijakan negara disandera oleh kepentingan korporasi besar, baik asing maupun domestik. Amien bahkan menantang Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk menjawab satu pertanyaan krusial: Apakah ia sanggup dan berani melepaskan Indonesia dari cengkeraman dua oligarki—asing dan lokal—yang telah lama menjadikan tambang Papua sebagai ladang kekuasaan dan keuntungan?
Jika Prabowo diam, maka sejarah akan mencatatnya sebagai kelanjutan dari rezim yang tunduk, bukan bangkit. Tapi jika ia berani menempuh jalur nasionalisasi sejati—bukan sekadar pembelian saham tanpa kontrol—maka babak baru bisa dibuka: babak kedaulatan sejati atas sumber daya alam.
Kita tahu bahwa PT Freeport Indonesia yang beroperasi di Timika Papua kembali menjadi sorotan, Sempat menjadi sorotan pernah ada kunjungan tiga menteri ke PT Freeport yang bahkan dikabarkan tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Pemda setempat yang dulu sempat dikaitkan dekatnya masa akhir kontrak karya PT Freeport, dan perusahaan ini berupaya melobi pemerintah pusat untuk segera memberi kepastian perpanjangan kegiatan pertambangannya. Seperti diketahui, sejak tahun 1967 atau sejak zaman Presiden Soeharto memerintah, PT Freeport adalah salah satu perusahaan asing yang mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah, salah satunya adalah kemudahan perizinan. Waktu itu seorang Bupati Papua, yakni Bupati Mimika Eltinus Omaleng. Menurutnya, selama ini pemerintah pusat memberikan hak-hak sangat istimewa kepada PT Freeport Indonesia. Akibat adanya perlakuan istimewa itu, terkadang para pejabat Jakarta tidak pernah merasa ada pemerintahan di Papua yang juga punya hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengawasi Freeport. Hal ini terjadi pada September 2015.
Tiga orang menteri yang mengajak sejumlah BUMN melakukan kunjungan kerja ke PT Freeport Indonesia itu tiga menteri yang mengadakan kunjungan kerja ke Freeport, yaitu Menteri Perindustrian, Menteri ESDM dan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas tapi itu dulu zaman rejim sebelumnya bukan saat ini. Dan kunjungan kerja tersebut berlangsung di tengah adanya tuntutan warga Suku Amungme, agar perusahaan penambangan emas asal Amerika Serikat karena ada demo pemanfaatan lahan jutaan hektare untuk kelanggengan bisnis pertambangannya. Tuntutan ganti rugi pemanfaatan tanah hak ulayat itu didasarkan atas kenyataan bahwa selama lebih dari 40 tahun PT Freeport Indonesia beroperasi di Papua, perusahaan itu belum pernah membayar ganti rugi hak ulayat warga Suku Amungme.
Nah jika Papua tidak butuh janji. Semoga dalam diam, Indonesia kembali menyerahkan masa depannya. Apakah Presiden Prabowo berani memutus lingkaran setan ini? Atau sejarah akan mencatat kita sebagai bangsa yang menyerahkan surga kepada penjajah berganti wajah? dan ini gelisah bukan hanya Amien Rais tentunya, Ia butuh keadilan. Dan Indonesia tidak butuh simbol kepemilikan, tapi kedaulatan nyata atas tanah dan isi perutnya. Tabik
Redaksi Jakartasatu 27 Mei 2025
(ED/JAKSAT/ATA)