Home Bandung Pokir Dewan vs Paket Hemat Gubernur Jabar

Pokir Dewan vs Paket Hemat Gubernur Jabar

147
0
Gedung Sate /ata

Pokir Dewan vs Paket Hemat Gubernur Jabar

CATATAN IMAM WAHYUDI (IW)
DIENOLKEUN, dinolkan — suara sumbang terdengar dari sementara awak dewan provinsi. Dinolkan diartikan menjadi “nol”. Dalam perangkaan adalah kosong. Makna lainnya, ditiadakan.
Suara sumbang yang cenderung keluh itu, rupanya bersilang dengan kebijakan Gubernur Jabar — Dedi Mulyadi. Populer disapa Kang Dedi Mulyadi alias KDM. Sudah luas terpublikasi, kebijakan yang terfokus pada penghematan anggaran. Sebut saja Paket Hemat. Antara lain berupa pergeseran alokasi anggaran lewat reposisi program dan kegiatan hingga perubahan nomenklatur.
Lantas apa yang “dinolkan” atau ditiadakan? Spesifik mengait “kepentingan” politik dewan, sebaris suara sumbang tadi. Rupanya soal nomenklatur Pokir (pokok pikiran -pen) yang sudah bergulir saban tahun anggaran. Lazim menjadi tradisi berbagi (alokasi anggaran) yang siap dinanti.
Rupanya publik sudah menangkap pesan “tersembunyi” di balik fenomena kebijakan KDM. Tentang nyanyian rampak bait Pokir. Aspirasi dewan yang tak sertamerta aspirasi rakyat yang seharusnya. Sejauh mata memandang, kebijakan KDM dipandang populis. Populis merujuk pada pendekatan peran atas kepentingan rakyat (bawah).
Populisme bisa dalam arti rakyat sebagai kelompok terpinggirkan. Sementara elit dianggap korup dan tidak peduli kepentingan rakyat.
Meneropong jauh dari gedung dewan Jabar, penulis mencoba berspekulasi delay atas program Pokir. Dilakukan penundaan. Namun, tampaknya KDM tak segera “mengalah” terhadap (mungkin) “tekanan” awak dewan. Dimungkinkan berkelit dengan cara menawarkan nomenklatur baru. Disesuaikan dengan semangat kebijakan populisnya.
Kebijakan KDM yang menukik dan terbilang membumi, tak lepas dari picu dari sistem kelola pemerintahan sebelumnya. Olah program dan anggaran yang berseliweran tak karuan. Picu itu antara lain soal “lembaga” TAP (Tim Akselerasi Pembangunan) yang diduga kolutif. Bahkan terindikasi koruptif, yang menyedot anggaran atasnama kolega dan kroni. Lantas dana bantuan hibah yang juga terbukti mubah. Bernilai ratusan milyar hingga melewati angka triliun. Terkesan serakah, berbuah masalah. Apa hendak dikata, dewan terkena getah.
Sejumlah kalangan mengritisi keberadaan program Pokir. Dalam aturannya, merujuk pada peran aspirasi rakyat. Namun dikemas dalam “keraguan” implementasi. Pokir memungkinkan berseliweran para operator yang berujung peran bohir. Sejumput informasi daripadanya, bahwa bohir adalah pemilik modal atau pelaku proyek. Sampai di sini, Pokir tak bersinggung langsung dengan aspirasi rakyat.
Terendus, Pokir lebih merupakan sejumlah program yang dilabel “aspirasi” dewan. Tentu, meliputi alokasi (nominal) anggaran hingga lokasi kegiatan. Direalisasikan melalui program dan kegiatan di SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Meliputi dinas, biro dan lembaga. Sebutlah paket titipan, selebihnya “saling titip”. Tersirat “TsT” (Tahu sama Tahu -pen).
Di posisi ini pula hadir peran pihak ketiga berlabel bohir. Keberadaan nyaris tak tampak, kecuali melalui peran operator tadi. Malah diduga “kerjasama” dengan aparat penegak hukum (APH), yang memungkinkan tak terendus. Ditengarai berlaku cash back. Konon rerata berkisar tujuh prosen dari baku anggaran. Konon pula setiap anggota (standar) dialokasikan sekitar Rp 14 milyar per tahun anggaran. Dimungkinkan cash back senilai Rp 980 juta. Bila mulus periode (lima tahun) jabatan, tinggal dikalikan saja. Dengan 120 orang anggota, anggaran Pokir mencapai minimal Rp 1,680 Triliun. Wow..! Di luar kacamata publik, keberadaan Pokir dikaitkan dengan modal nyaleg dalam kompetisi elektoral pemilu. Bagi sejumlah petahana, bahkan sudah kadung menempuh cara “ijon” untuk program tahun sebelumnya. Alih-alih lancarjaya, malah bertabrakan “adu banteng” dengan kebijakan new release KDM. Menelan korban cedera.
Barangkali, KDM berpendapat — bahwa take home pay awak dewan — sudah lebih dari cukup. Lantas, mengingatkan untuk menukik pada peran perwakilan rakyat dalam kemasan “turba” alias “turun ke bawah”.
Sependek pengetahuan, Pokir yang berbalut aspirasi rakyat — semula bertajuk Jaringan Aspirasi Rakyat (Jasmara). Cenderung disamarkan menjadi Pokir. Dimungkinkan lewat kesepakatan Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI).
Namun sejumlah pengamat sudah lebih awal mengritisi keberadaan Pokir. Sebutan Jasmara, tentu lebih tegas dan lugas — hingga membuka ruang lebar dan bagi keberlangsungan aspirasi rakyat. Mencakup agenda reses dewan, berupa interaksi langsung dengan konstituen di daerah pemilihan (dapil). Bertujuan mencerap aspirasi hingga menyusun kebijakan yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Nomenklatur Pokir Dewan (baca: DPRD), sejatinya memiliki dasar hukum. Adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Pada pasal 29, menegaskan kembali — bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi (perumusan perda), anggaran dan pengawasan. Diperjelas Permendagri Nomor 86/2017 tentang rincian tata-cara penelaahan Pokir.
Lantas mengapa Pokir terkendala kebijakan KDM? Laiknya pemimpin baru, lazim membuat gebrakan. Sangat mungkin berdampak tak sejalan harapan dewan. Kondisi kekinian yang memicu tak nyaman, kiranya dewan perlu menggelar terobosan. Pokir sebaiknya secara eksplisit (kembali) pada substansi jaringan aspirasi rakyat (Jasmara). Terobosan sebagai inovasi yang terlahir dari wacana dan diskusi menuju solusi.***

 

*)Jurnalis senior di Bandung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.