Koperasi Desa Merah Putih: Antara Kebutuhan Rakyat dan Narasi Negara
Oleh Irfan Khairullah – Anggota Forum Aktivis Koperasi Indonesia (FAKI)
Belakangan saya mendengar banyak perkambangan tentang program Koperasi Desa Merah Putih. Program besar yang melibatkan puluhan ribu Desa di Indonesia, program diproyeksikan menjadi pusat distribusi sembako, pupuk, bahkan obat-obatan.
Ambisi besar, sangat kentara terlihat dalam merumuskan hingga proses pelaksanaan. Tapi justru karena itu, saya merasa perlu bertanya: apakah ini benar-benar gerakan yang lahir dari kebutuhan masayrakat, atau hanya cara baru negara untuk menutupi kenyataan bahwa ekonomi kita masih rapuh dan tertinggal?
Saya bukan ekonom, bukan pejabat, dan tidak juga mewakili lembaga resmi mana pun. Tapi sebagai anggota Forum Aktivis Koperasi Indonesia (FAKI), saya bertahun-tahun ikut mendengar, berdiskusi, dan belajar dari teman-teman baik Kota maupun Desa.
Banyak dari mereka bilang, “koperasi dulu cuma hidup waktu ada bantuan.” Yang lain bilang, “koperasi itu ya bank keliling.” Jadi ketika saya dengar program ini akan digulirkan secara seragam dan cepat, jujur saya khawatir. Bukan karena saya anti negara/pemerintahan, tapi karena saya tahu: koperasi bukan sesuatu yang bisa dibentuk lewat perintah.
Kita tahu banyak negara pernah melakukan hal yang sama. Tiongkok, Vietnam, Korea Selatan, India— semuanya pernah membentuk koperasi dari atas, dalam situasi sulit. Banyak negara menerapkan kebijakan koperasi secara top-down, terutama saat mengalami empat kondisi genting: krisis ekonomi, lemahnya infrastruktur sosial, ketimpangan ekonomi struktural, dan lemahnya kelembagaan ekonomi rakyat. Dalam beberapa kasus, koperasi memang membantu menstabilkan ekonomi. Tapi dalam banyak kasus juga, koperasi top-down justru gagal karena tidak tumbuh dari kehendak warga. Tiongkok dan Vietnam, misalnya, membentuk koperasi kolektif saat krisis pangan dan transisi politik. Korea Selatan melakukannya dalam rangka pembangunan pascaindustri, sementara India menggunakan koperasi susu untuk membantu petani kecil menghadapi dominasi pasar. Indonesia sendiri punya sejarah koperasi top-down melalui KUD di masa Orde Baru, yang pada akhirnya banyak gagal bertahan karena tidak tumbuh dari kesadaran dan kebutuhan warga.
Kini, kita seakan mengulangi pola serupa. Warga desa hari ini masih menghadapi masalah akut: akses modal yang terbatas, harga kebutuhan pokok yang tinggi, serta ketergantungan pada tengkulak dan pinjaman informal. Dalam situasi seperti ini, koperasi idealnya hadir sebagai solusi berbasis gotong royong. Tapi jika ia dibentuk dari pusat, diseragamkan, dan dikejar dalam waktu singkat seperti proyek pembangunan fisik, maka kita patut khawatir: koperasi justru bisa kehilangan jiwa dan maknanya. Ia tidak lagi menjadi alat kemandirian warga, melainkan sekadar menjadi simbol kehadiran negara.
Lalu, mari kita bertanya dengan jujur: apakah Indonesia sedang dalam kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja? Menurut saya, ya. Dan sebetulnya kita semua tahu itu—tanpa harus menjadi ahli statistik. Kesenjangan makin terasa, utang rumah tangga naik, daya beli turun, harga bahan pokok sering tidak stabil. Banyak keluarga, terutama di daerah, masih bergantung pada utang informal untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi yang membuat miris adalah ketika negara seolah enggan mengakui secara terbuka bahwa kondisi sedang tidak baik. Alih-alih bersikap transparan dan merangkul rakyat untuk mencari solusi bersama, kita justru melihat program-program yang terburu-buru, seolah ingin menunjukkan bahwa semuanya terkendali dan dalam jalur yang benar.
Dalam konteks itu, saya melihat program Koperasi Desa Merah Putih ini bukan hanya sebagai program ekonomi, tapi juga sebagai upaya legitimasi. Semacam cara untuk menunjukkan bahwa “negara hadir,” bahwa “masyarakat diberdayakan,” padahal akar masalahnya belum benar-benar disentuh. Mungkin ini tidak disengaja, mungkin juga hanya cara lama dalam membungkus krisis: mengganti istilah, mempercantik narasi, dan menghindari pengakuan bahwa sistem ekonomi kita sedang goyah.
Saya tidak ingin sinis. Saya tahu banyak orang baik di dalam pemerintahan yang bekerja keras. Tapi mari kita bicara apa adanya. Mengakui bahwa keadaan sedang sulit bukan berarti gagal. Justru dari kejujuran itulah kita bisa membangun sesuatu yang lebih tulus. Koperasi, kalau dijalankan dengan sungguh-sungguh, bisa menjadi alat pemulihan yang kuat. Tapi ia tidak boleh dijadikan perpanjangan tangan dari narasi semu tentang
keberhasilan. Ia harus dibiarkan tumbuh dari kejujuran: bahwa kita masih punya banyak PR, dan bahwa solusi sejati butuh waktu, proses, dan keterlibatan penuh dari masyarakat itu sendiri.
Jadi pertanyaannya kembali ke kita semua: apakah kita mau koperasi menjadi ruang hidup yang memberi harapan, atau hanya sekadar pelengkap narasi bahwa semuanya baik-baik saja?