Kilas Balik Persib: Juara 1986 Melegenda, “Deru Knalpot pun Ikut Bergoyang”
Catatan: Imam Wahyudi (iW)
PESTA kemenangan Persib Juara memuncak sepanjang hari Minggu, membuka kenangan tak terlupakan. Tapak jejak empat dekade silam. Kilas balik, saat penulis meliput laga final Kompetisi Divisi Utama PSSI 1986 di Jakarta.
Kilas balik, pesta kemenangan Persib juara. Keriuhan tak terhindarkan, berlangsung sedari Stadion GBK — yang kala itu dikenal sebutan Stadion Utama Senayan. Klimaks Kompetisi Divisi Utama PSSI lewat laga grand final yang riuh rendah. Semasa kompetisi antarperserikatan atau kejuaraan antarklub amatir.
Kegembiraan meledak, menyusul Persib memenangi laga dan juara pada 11 Maret 1986. Mungkin di jadualkan atau kebetulan bertepatan “peringatan” 20 tahun Supersemar. Mengalahkan Persib mengalahkan Perseman Manokwari 1-0. Gol tunggal dicetak Djadjang Nurdjaman yang kemudian menjadi catatan bersejarah.
Puluhan ribu bobotoh tumpah ruah dalam kegembiraan. Berlangsung di semua ruas jalan keluar Stadion Utama Senayan. Meluber ke seputar Jl. Sudirman hingga kawasan jembatan Semanggi yang melingkar. Bergerak pulang ke arah Bandung.
Kemeriahan berlanjut di sepanjang arah Bandung dan sekitarnya. Utamanya di jalur Puncak – Cianjur. Memuncak di kawasan Cipanas, lazimnya rest area kala itu. Meriah dengan konvoi mobil dan sepeda motor. Deru knalpot kendaraan nyaring terdengar bersahutan. Situasi kerumunan berjubel yang membuat semua rumah makan hingga warung kopi, memilih tutup lebih awal.
Kawasan rest area Cipanas yang merupakan jalur utama Jakarta – Bandung, berubah menjadi lautan manusia — melulu para pendukung Persib. Berlangsung sepanjang malam hingga dinihari. Lagi-lagi, deru knalpot bersahutan yang memekakkan telinga.
Tak pelak, suasana kemeriahan yang mengharu biru Persib — menginspirasi catatan penulis. Kala itu jurnalis Pikiran Rakyat yang ditugasi peliputan putaran final Kompetisi Divisi Utama PSSI 1986. Sebuah catatan ringan di kolom olahraga koran itu, bertajuk Deru Knalpot pun Ikut Menari. Terbilang sukses mendongkrak tiras.
Kemeriahan dukungan sudah berlangsung, sejak Persib lolos putaran final. “Enam besar” bersama Perseman, Persija Jakarta, PSMS Medan, PSIS Semarang dan PSM Makasar. Berlaku sistem round robin untuk penentuan “2 besar”. Memainkan sekali setiap tim. Kala itu, ditandai greget “musuh bebuyutan” atas PSMS yang kerap menjegal Persib di puncak laga. Setidaknya dua kali, Persib harus puas sebagai runner up di bawah PSMS pada dua final 1983 dan 1985.
Pendek cerita, Perseman dengan andalan Adolf Kabo (alm) sudah memastikan satu tiket final. Persib harus menghadapi tim bintang Papua itu untuk satu tiket lainnya. Persija sudah menanti, menunggu hasil Persib lawan Perseman. Mengantongi nilai sama (4), Persija unggul selisih gol.
Praktis, Persib dalam posisi harus mampu kalahkan finalis Perseman. Bahkan dengan syarat unggul minimal tiga gol. Rasanya tak mungkin, mengingat Perseman sedang moncer. Sementara Persija sudah optimis melaju ke final.
Pelatih Perseman, Paul Cumming justru menurunkan pemain lapis kedua. Persib unggul 1-0 dan kemudian terjadi sengkarut antarpemain hingga Perseman memutuskan walk out (WO). Praktis diganjar minus lima gol. Persib dinyatakan menang 6-0 dan masuk final. Keduanya kembali beradu di grand final. Persib akhirnya juara lewat gol tunggal Djadjang Nurdjaman.
Peristiwa yang dikenal sebagai skandal sepakbola nasional. Tak lepas dengan sebutan “sepakbola gajah”. Ditengarai demi jumlah fulus pemasukan dari tiket penonton puncak kompetisi. Sulit dibantah, pendapatan penyelenggara dan klub — dihasilkan dari tiket terjual atau jumlah penonton. Tak kecuali, pengalaman para pemain — yang kerap lebih dulu menoleh ke arah tribun — saat line up laga.
Tentu, pilihan mengarah ke Persib sebagai finalis — bertemu Perseman. Lebih menjanjikan jubelan penonton yang berduyun ke Jakarta, dibanding berharap pendukung Persija yang (kala itu) belum terkoordinasi baik. Betul saja, jumlah penonton yang melulu bobotoh Persib meluber hingga tepi arena pertandingan. Melebihi kapasitas tribun yang “hanya” 82 ribu. Mencapai lebih 100 ribu penonton yang meluap di lingkaran track atlet. Tumpah ruah berlanjut, usai gelar juara diraih Persib.
Terlepas kisah membersamai, itulah moment terkenang. Perseman turut andil dalam kebangkitan Persib. Gelar juara Divisi Utama 1986, penantian seperempat abad — setelah raihan terakhir 1961. Predikat juara kali ketiga bagi Persib. Pertama kali juara diraih 1937.
Kilas balik, gelar juara Persib 1986 itu melahirkan legenda bagi para pemainnya. Kala itu, Persib dihuni pemain hasil binaan Marek Janota. Adalah Sobur, Boyke Adam, Wawan Hermawan (penjaga gawang), Wawan Karnawan, Ade Mulyono, Suryamin, Ujang Mulyana, Sarjono, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Yoce Roni, Kornelis, Ajid Hermawan, Ajat Sudradjat, Yana Rodiana, Sam Triawan, Iwan Sunarya, Dede Rosadi, Djadjang Nurdjaman, Sukowiyono, Suhendar, Kosasih dan Djafar Sidik. Para pemain itu ditangani pelatih Nandar Iskandar.
Pada era perserikatan, Persib pernah juara lima kali. Pada 1937, 1961, 1986, 1989/90, dan 1993/94. Masa Liga Indonesia (termasuk Liga 1), skuad Maung Bandung sudah empat kali juara. Musim 1994/1995, 2014, 2023/2024, dan terbaru 2024-2025. Sejarah Biru. Empat Bintang. Bravo, Persib..!***
TURUNKAN DEDI MULYADI
by M Rizal Fadillah
Penurunan secara konstitusional tentu melalui mekanisme DPRD. Rupanya akting Dedi Mulyadi yang selalu ingin disebut “Kang” itu sudah berlebihan...