Home Bandung Tunda Penetapan Tarif Baru Impor 90 Hari: Trump Berdagang Layaknya Tukang Bakso?

Tunda Penetapan Tarif Baru Impor 90 Hari: Trump Berdagang Layaknya Tukang Bakso?

40
0

Tunda Penetapan Tarif Baru Impor 90 Hari: Trump Berdagang Layaknya Tukang Bakso?

Oleh Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller

“Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies,” ~ Groucho Marx, filsuf stand-up dan komedian politik berkumis tipis.

Hari ini, dunia tersentak. Bukan karena perubahan iklim atau invasi alien, tapi oleh satu kata sakti dari Washington: Tarif.
Donald Trump Tunda Penetapan Tarif Baru Impor Selama 90 Hari
Donald Trump Tunda Penetapan Tarif Baru Impor Selama 90 Hari | https://x.com – Pannika_FWP
Presiden Donald Trump, pemimpin dunia adikuasa yang tampaknya membaca The Art of War dengan gaya The Art of the Deal, kembali membuat dunia dagang seperti pasar malam: gaduh, ramai, penuh diskon dan ancaman.
Setelah China, dengan cool face seperti Bruce Lee memakai jas Armani, membalas tarif AS dengan gaya ala kungfu ekonomi—menampar balik dengan tarif 84%—Trump tidak merenung. Tidak juga bersyair. Ia justru memukul gong lebih keras. Kini tarif untuk China jadi 125%. Seratus dua puluh lima persen, saudara-saudara. Itu bukan tarif, itu dendam yang dibungkus invoice.
Sementara kita, Indonesia, negara yang selama ini kena tarif 32% karena entah dosa apa yang kita lakukan (mungkin karena ekspor cengkeh terlalu harum), tiba-tiba mendapat pengampunan. Tarif diturunkan jadi 10%. Katanya penangguhan selama tiga bulan. Katanya sih.
Ini bukan diplomasi. Ini drama Korea. Season baru. Judulnya: “The Apprentice: Geopolitik Edition.”
Trump: Tukang Bakso yang Marah
Trump tampaknya seperti tukang bakso yang ngambek karena ada pedagang siomay sebelah (baca: China) yang jualan lebih laris. Maka, semua pelanggan yang lewat, termasuk Indonesia, ditarik paksa ke gerobaknya. Tapi saat siomay menyerang balik, ia malah kasih kupon diskon ke pelanggan lain agar tak kabur ke sebelah.
Pertanyaannya: Mengapa Indonesia ikut diskon? Apakah ada peran negosiator andal, ataukah ini hasil dari algoritma random ala AI Trump versi firmware 2025.04?
Profesor Linda Chelsey, ahli komunikasi politik dari Yale, menyebut ini sebagai “transactional multilateralism”—semacam diplomasi yang lebih mirip lelang TikTok live: siapa cepat, dia dapat. Sementara itu, filsuf Slavoj Žižek mungkin akan bilang, “Ini bukan kapitalisme, ini Kafka meets capitalism with a side of nachos.”
Dunia yang Jadi Sekolah Dasar
Perang dagang ini makin terlihat seperti perkelahian bocah kelas 3 SD yang dipromosikan jadi acara TV prime time. Trump dan Xi Jinping seperti dua anak yang berebut mainan, dan kita semua duduk di bangku penonton dengan popcorn berisi ekspor-impor dan nilai tukar yang goyah.
Sementara itu, Indonesia hanya bisa tersenyum kecut seperti mantan yang diajak balikan cuma karena pacar barunya pergi. Dapat tarif murah bukan karena kita hebat, tapi karena kita bukan China.
Paradoks, bukan? Saat dunia mempromosikan free trade, justru perdagangan makin mirip free fight.
Yang jelas sampai saat ini belum ada konfirmasi resmi apakah ini merupakan salah satu hasil diplomasi tim negosiasi yang dikirimkan Presiden Prabowo atau hanya keberuntungan yang mengandalkan algoritma niat baik saja. Tapi jika benar ada andil dari tim negosiasi Indonesia tersebut, maka mereka layak mendapatkan medali emas Olimpiade bidang silat diplomasi.
Namun, beberapa sumber diplomatik menyebutkan konon Indonesia lebih memilih jalur strategic silence, yaitu diam-diam manis sambil menunggu kemelut selesai. Teori “kungfu pasif” ini pernah dipakai oleh Laozi dalam Tao Te Ching—“Be like water. Unless someone boils you, just chill.”
Menyimak Perang dagang ini, sejujurnya, seperti menonton orang kaya yang tengah berantem soal parkiran jet pribadi mereka. Kita yang naik ojek online hanya bisa berharap agar tak ketabrak sayapnya saja. Sesederhana itu.
Dan ironisnya, justru ketika tarif jadi senjata, negosiasi dan multilateral diplomacy yang harusnya jadi tameng, malah berubah jadi kata-kata hiasan dalam pidato pejabat yang belum update teori komunikasi sejak zaman pager.
Kalau pun ada hikmah dari semua ini, mungkin kata-kata Franklin D. Roosevelt bisa jadi pengingat, “The only thing we have to fear is… fear itself. And also Trump’s tariff tweets.”
Dunia ini tak butuh perang dagang, tapi dagang damai. Tapi itu tentu terlalu sederhana bagi politik global yang lebih suka drama ketimbang dagang.
Sementara itu, selamat menikmati diskon 10%. Jangan lupa dibayar tunai, sebelum berubah jadi 50% minggu depan. Tabik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.