Konflik antara Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dan Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, menjadi sorotan setelah pembongkaran objek wisata Hibisc Fantasy Puncak di Cisarua, Kabupaten Bogor.

Keputusan ini menimbulkan perdebatan panas: apakah regulasi lingkungan harus lebih diutamakan dibandingkan kepentingan investasi, atau sebaliknya?

Dedi Mulyadi: Regulasi Harus Ditegakkan Dedi Mulyadi dikenal sebagai pemimpin yang tegas dalam menegakkan aturan, terutama terkait lingkungan hidup. Menurutnya, Hibisc Fantasy Puncak melanggar regulasi tata ruang dan menyebabkan bencana seperti banjir serta longsor.

Baginya, investasi yang merusak lingkungan tidak boleh dibiarkan, meskipun telah memiliki izin formal. Langkah ini mendapat dukungan dari masyarakat yang terdampak. Banyak yang merasa bahwa tanpa tindakan tegas, proyek-proyek wisata seperti ini akan terus berkembang tanpa memperhitungkan dampak ekologisnya.

Sementara Widiyanti: Iklim Investasi Harus Dijaga Sebaliknya, Menteri Pariwisata Widiyanti menilai pembongkaran itu merugikan iklim investasi.

Menurutnya, jika sebuah usaha telah mendapatkan izin secara sah, pemerintah daerah tidak bisa bertindak sepihak.

Ia mengingatkan bahwa pariwisata adalah sektor penting yang mendukung ekonomi daerah dan membuka banyak lapangan pekerjaan. Widiyanti khawatir bahwa tindakan seperti ini dapat membuat investor ragu untuk menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di sektor pariwisata.

Jika ini terus terjadi, daya saing pariwisata nasional bisa melemah dibanding negara lain.

Konflik Regulasi dan Investasi:

Solusi atau Jalan Buntu?

Kasus ini menunjukkan dilema besar dalam pembangunan: di satu sisi, regulasi harus ditegakkan untuk melindungi lingkungan dan masyarakat, tetapi di sisi lain, investasi diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Solusi idealnya adalah keseimbangan antara keduanya. Regulasi harus ditegakkan tanpa menghambat investasi, sementara investor juga harus memahami bahwa keberlanjutan lingkungan adalah hal yang tak bisa ditawar.

Transparansi dalam proses perizinan, pengawasan ketat sejak awal, serta koordinasi antara pemerintah daerah dan pusat bisa menjadi kunci agar konflik serupa tidak terulang. Lalu, siapa yang paling tepat dalam perdebatan ini?

Jawabannya bergantung pada perspektif masing-masing.

Apakah kita ingin menegakkan aturan demi lingkungan, atau lebih fleksibel demi investasi?

Atau justru bisa menemukan titik tengah agar kedua kepentingan ini berjalan seiring?***