Gubernur Jabar: Solusi Banjir dan Sampah
SAMPAH mewabah, ancaman banjir jadi masalah. Sungai Citarum pun tak kunjung “harum”. Bermula dari kondisi anak sungai (kali). Kian beraroma tak sedap. Mirip kubangan sampah yang tersesat.
Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi unjuk peduli. Baru sepekan menjabat, musim penghujan — momen yang tepat. Di kawasan tepian Kota Bandung, Dedi memimpin inspeksi. Di antara gumpalan sampah kasat mata, Dedi menuruni kali.
Kali yang terurai dari anak sungai merupakan bagian terdepan dari bentang besar Citarum. Berada di kawasan permukiman padat perkotaan. Diapit deretan rumah yang saling berhimpit. Kali kadung menjadi tempat ideal untuk pembuangan sampah rumah tangga.
Di sisi ini, timbul masalah berkelanjutan. Bencana banjir melanda, hanya soal waktu. Kian butuh waktu lama untuk surut. Masalah runtutan, wabah penyakit memapar warga. Kondisi yang berulang dan berulang saban musim penghujan. Butuh solusi.
Kang DM, sapaan Gubernur Jabar — menyorot tajam Ikhwal penanganan sampah. Perlu pembentukan satuan tugas (satgas) yang difasilitasi pemda kabupaten/kota. Meliputi peran RT dan RW di setiap kelurahan hingga kecamatan. Bersinambung di sepanjang anak sungai (kali). Satgas berfungsi monitoring dan penanganan dini sampah. Dimungkinkan pemberlakuan sanksi warga.
Gambaran kondisi yang mengarah darurat sampah. Seiring daya tampung TPA Sarimukti yang diprakirakan bakal overloaded pada paruh 2025 ini. TPA seluas 43 hektar persegi di Kabupaten Bandung Barat menampung sekira 1.800 ton sampah per hari. Di antaranya 70% berasal dari Kota Bandung.
Sementara TPPAS Legok Nangka, Nagreg, Kabupaten Bandung — belum juga berfungsi. Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah seluas 82,5 hektar diproyeksikan dapat menampung 2.000 ton sampah per hari.
***
KEKINIAN, kondisi aliran anak sungai yang sudah jauh dari harapan. Tak lagi bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan MCK (mandi cuci kakus). Bahkan lebih dominan sebagai wadah pembuangan kakus dan kubangan sampah.
Tak terhindarkan, perlu langkah konkrit. Perlu pemberlakuan aturan yang memadai. Seingat penulis, ada Perda Jabar tentang Sempadan Sungai. Adalah garis yang membatasi sungai dan daratan sebagai manifestasi perlindungan sungai.
Langkah dan atau kebijakan Gubernur Jabar sangat dinantikan dan berkelanjutan. Bila itu dilakukan, bahkan tak cukup dalam satu periode jabatan. Ya, pemberlakuan sempadan sungai. Kondisi kadung akut dan semrawut, butuh langkah (awal) komprehensif berupa master plan menyeluruh.
Seperti diketahui, deretan rumah di bantaran sungai — hampir semua membelakangi sungai. Dari setiap punggung rumah tampak pipa pralon untuk pembuangan air jamban dan kakus. Mirip tampilan “meriam” yang siap menembakkan kotoran manusia.
Salah satu opsi dengan membangun septictank comunal. Meski cukup populer, cara ini tak mudah bagi rumah yang kadung berderet di bantaran sungai.
Dalam hal garis sempadan tadi, bagian rumah harus mundur beberapa meter dari sungai. Sebaiknya, latar depan rumah menghadap bibir sungai. Plus pelataran atau jalan untuk lalu-lalang dan kegiatan warga. Satu langkah yang membuat tak mudah membuang sampah sakarep dewek. Warga butuh kebersihan di sekitar rumah dan lingkungannya.
Tak terbayangkan, ribuan rumah harus dirombak dan kebutuhan biaya besar (APBD -pen). Antara lain pembangunan rumah susun (rusun) sebagai pengganti deretan rumah di bantaran sungai tadi. Pada posisi ini, septictank comunal berfungsi.
Masalah sampah, potensi banjir (akibat sendimentasi), fungsi aliran sungai (kali) dan seputar rumah di bantaran sungai — tengah menanti solusi.***
– imam wahyudi (iW)
– jurnalis senior di bandung