Home Bandung SOBAT SAYA, JUS…

SOBAT SAYA, JUS…

449
0
Jus saat acara Peluncuran Buku/ist

SOBAT SAYA, JUS…

Oleh Renville Almatsier*)

KETIKA ia mengundang saya lewat japri untuk hadir dalam peluncuran bukunya,   saya senang banget. “Hebat lu, bro…”, kata saya yang sudah lama menganjurkannya membuat biografi. Tapi balasannya malah mengagetkan. “Hebat apanya?”,  tanyanya balik, “..bukan prakarsa gua.. .” Ia mengungkapkan bahwa sejak 1978 ia tak pernah menulis lagi. “Gua protes, dan harus konsisten sampai hari ini”, tulisnya di WA. Waktu itu saya bayangkan mimiknya yang selalu bersemangat kalau bercerita, apa lagi bila membahas tentang “ketidak-beresan”di negeri ini.

Begitulah, saya hadir pada peluncuran bukunya “Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis  Pembakar Semangat”  di Citos, tepat pada hari ulang tahunnya ke-78, 14 Februari 2025. Buku itu ditulis dan atas inisiatif seorang wartawan muda, Aendra Medita sebagai “penghormatan terhadap wartawan senior tiga zaman ini”. Ada banyak teman dan tokoh yang hadir. Antara lain, mantan pimpinan mahasiswa “era Malari” Gurmilang Kartasasmita dan Yudil Herry Justam; mantan wartawan Albert Kuhon dan mantan Direktur BAIS Jend (Purn) Zacky Makarim.

Keterangan tidak tersedia.Sobat saya yang satu ini memang unik. Ia berhenti dari profesi wartawan pada usia 31 tahun. Sejak itu ia tak pernah menulis, namun “hanya mau bicara saja”. Itulah Jus (dibaca Yus) yang sudah lama saya kenal. Bermula ketika rumahnya di kawasan Menteng, menjadi “sarang” berkumpulnya penggiat Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada). Ia sendiri tak begitu aktif dalam organisasi mahasiswa independen itu. Kami sama-sama bergerak menentang Orde Lama.

Kami berjumpa kembali ketika sama-sama menjadi wartawan di awal tahun 1970an. Saya di TEMPO, Jus di Indonesia Raya. Bekerja di koran pimpinan Mochtar Lubis itulah agaknya yang membuat ia sangat peka pada ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan. Mochtar Lubis selalu jadi role-modelnya. Jus sangat menentang adanya  “budaya amplop” yang bagi sebagian teman-teman wartawan dianggap rejeki.

Tapi selepas dari Indonesia Raya yang mati karena dibredel, Jus kemudian bekerja di Kompas. Kami sudah berjauhan, tapi tetap menjaga komunikasi. Ia bahkan membantu sebagai fotografer pada hari pernikahan saya.

Keterangan tidak tersedia.Lanjut kisah, ia mengabarkan keluar dari Kompas. Alasannya, ia memprotes kebijakan tujuh pemimpin redaksi media, termasuk Kompas, yang mengambil sikap kompromistis dengan Pemerintah cq Kopkamtib yang sebelumnya melarang koran-koran itu terbit. Ia menempatkan idealisme di atas segalanya. Itulah yang menjadi inti isi bukunya.

Selanjutnya sejak sama-sama tidak berprofesi  sebagai jurnalis lagi, saya tak pernah tau apa kerja Jus.  Ia bergabung dengan berbagai aktivitas mahasiswa dan bergaul dengan berbagai kalangan. Ia selalu berada di tempat-tempat kumpul mereka antara lain di Jalan Guntur atau Jalan Lautze. Karena itu sumber infonya tak pernah habis. Kami “satu front” lagi ketika sama-sama mendemo Orde Baru. Saking sama-sama gembira, kami saling bertelepon pagi 21 Mei 1998. “Vil, si Babe udah jatoh”, katanya berteriak gembira ketika Soeharto akhirnya lengser.

Waktu berjalan. Ketika kami, kawan-kawan lamanya, sudah mulai kendor, semangat Jus tetap 100 Watt.  Ia tetap garang dan lantang. Tak pernah ada pemerintahan yang benar di matanya, semua salah. Setiapkali ada ketidakberesan, Jus selalu muncul dengan info-info classified, yang entah ia dapat dari mana. Sumbernya  tak terbatas dan tak pernah kering.  Daya ingatnya pun luar biasa. Begitu pula, ketika saya masih terpukau pada kehebatan Jokowi, Jus sudah muncul dengan info-info yang waktu itu tak masuk akal. Kami sering juga berbeda pendapat dan adu argumentasi lewat japri. Tapi ketika apa yang ia ungkapkan itu ternyata benar, saya harus kembali salut pada kawan saya ini.

Di masa lansianya, Jus banyak membina wartawan-wartawan muda, Ia memilih tidak lewat organisasi resmi seperti PWI, tapi melalui pendekatan-pendekatan caranya sendiri. Baginya tak ada kompromi dalam menegakkan kebenaran. Ini pula mungkin yang dimaksud dalam judul “Sang Jurnalis Pembakar Semangat”. Sebetulnya masih banyak kisah untold story yang bisa digali dari Jus. Sayang tak terurai jelas dalam buku itu.

Saya mendoakan semoga kawan saya Jus selalu sehat dan terus bersemangat memperjuangkan ketidak-adilan. Saya tidak tahu sampai kapan semangat terus membakarnya…

Tangerang Selatan,15 Februari 2025

*) Mantan wartawan Tempo, sahabat Jus Soema di Pradja 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.