INI sebuah Negeri yang Dijajah Tanpa Perang. Di sebuah negeri kepulauan yang subur dan kaya, kehidupan rakyatnya dulu damai. Laut adalah sumber kehidupan, tanahnya penuh hasil bumi, dan sungai mengalir jernih membawa berkah. Mereka hidup dari hasil laut dan sawah, mewarisi kearifan nenek moyang yang menjaga keseimbangan alam.
Namun, segalanya berubah ketika kapal-kapal asing berlayar masuk tanpa letusan meriam. Mereka bukan tentara, tetapi membawa peta, kontrak, dan senyum ramah yang menipu. Mereka bilang datang untuk bekerja sama, untuk membantu rakyat negeri ini mengelola laut dan tanah mereka dengan lebih “efisien.”
Dulu laut yang dulu bebas menjadi wilayah yang berpagar. Kapal-kapal nelayan mulai dilarang masuk ke perairan yang mereka kenal sejak lahir. “Ini zona ekonomi eksklusif,” kata orang-orang yang jaga peraian itu. “Ada investasi besar di sini. Tak boleh masuk,”
Wah …Setiap sudut laut dipetakan, setiap pulau diberi tanda harga.
Rakyat yang dulu hidup dari alam dipaksa bekerja di pabrik-pabrik yang mereka tak pahami, menggali tambang yang tidak mereka miliki, dan membangun gedung-gedung yang bukan untuk mereka tinggali. Mereka dijanjikan kemajuan, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah upah murah dan tanah yang tak lagi bisa mereka sebut milik sendiri.
Mereka dijajah tanpa perang. Tidak ada pasukan bersenjata yang datang menaklukkan mereka. Tidak ada bom yang meledakkan desa-desa mereka. Hanya ada tanda tangan di atas kertas, izin-izin yang mereka tidak mengerti, dan perlahan-lahan, tanah dan laut yang seharusnya mereka warisi berubah menjadi milik orang lain.
Di sebuah desa pesisir, seorang nelayan tua berdiri di tepi pantai, memandang laut yang kini bukan lagi miliknya. Ia menarik napas panjang dan berbisik, “Kami kalah tanpa bertempur.”
Ceita pendek (Lembayung CH) ***