Kang DM: Pajak Kendaraan Melulu untuk Bangun Jalan
Catatan: Imam Wahyudi (iW)
PAJAK kendaraan bermotor (PKB) seharusnya untuk membiayai pembangunan jalan raya. Sesederhana itu ilustrasi Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat Terpilih. Tak ribet, tak perlu neko-neko.
Dua komitmen Kang DM terhadap sistem kelola dana hasil PKB. Bahwa hasil PKB harus 100% untuk pembangunan infrastruktur jalan di Provinsi Jawa Barat. Pun rakyat pembayar PKB ingin mendapatkan layanan jalan yang baik. Titik!
Kang DM sudah unjuk gawe, menjelang pelantikan 06 Februari 2025 (tentatif) nanti. Gebrakan dan debutan. Sejumlah kebijakan dan garapan yang akan dilakukan. Utamanya dalam sistem kelola anggaran dari APBD Provinsi Jawa Barat.
Sang gubernur unjuk tekad semangat kerakyatan. Kang DM ingin memastikan, setiap pungutan pajak — haruslah sesuai namanya dalam peruntukkan. PKB, ya melulu untuk keperluan terkait kegiatan berkendara.
Ilustrasi lain, pajak tontonan seharusnya (pula) untuk kebutuhan kegiatan tontonan. Catatan penulis tentang pungutan pajak tontonan yang dipatok 33% atau sepertiga dari harga tiket, tak jelas rimbanya. Tidak berkolerasi dengan kewajiban Pemkot Bandung terhadap penyediaan fasilitas pertunjukan.
Pegiat pentas musik di Kota Bandung, harus berkutat dengan Gelora Saparua. Padahal tidak representatif dalam kapasitas dan akustiknya. Cuma sarana olahraga badminton yang disulap menjadi arena pergelaran musik. Tak ada pilihan. Sistem akustik harus lebih dulu didandani. Puluhan parasit bekas dipasang di plafon untuk meminimalisasi distorsi sistem akustik.
Pengalaman era 1980-1990, saat trend pergelaran musik di Kota Bandung — tak pernah happy ending. Gerakan moral musisi Harry Roesli (alm) lewat pergelaran musik akustik pada 1982, tak juga membuahkan hasil. Sudah empat dekade berlalu, Kota Bandung sebagai ibukota Jawa Barat — nihil gedung pertunjukkan yang representatif dalam kapasitas dan akustik. Tak setakjub stempel sebagai gudang artis dan musisi bertalenta nasional hingga mancanegara.
Begitu pemahaman yang ingin dibangun Kang DM. Sesederhana itu yang seharusnya memaknai pengenaan pajak. Sesuai nama bakunya, mengarah maksud dan tujuan. Lantas menjadi kesepakatan bersifat universal.
Semisal lainnya, pajak penerangan jalan (PPJ) yang seharusnya untuk memupus keberadaan kawasan yang minim lampu penerangan. Bahkan gelap gulita, tak kecuali di perkotaan. Pun pajak pertambahan nilai (Ppn) yang mestinya mampu mendorong sistem layanan terkait kegiatan rumah makan, kafe dan serupa itu. Bukan semata pendapatan pajak daerah. Terlebih potensi bancakan para elit aparat.
Koreksi Dana Hibah
Gebrakan Kang DM, praktis mendapat respon positif publik. Utamanya warga Jawa Barat. Sangat mungkin menjadi inspirasi bagi provinsi lain.
Berulang Kang DM menyampaikan niatnya dalam memimpin Jawa Barat untuk senantiasa bersandar pada amanat pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Khususnya ayat 3, bahwa
“bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kang DM yang prorakyat lewat kebijakan dan program bercita rasa kerakyatan. Pendek kata, suatu langkah pembaruan dalam sistem kelola APBD — yang notabene milik atau uang rakyat. Sekaligus sebagai koreksi pemerintahan masa lalu.
“Hanya dalam setahun,” katanya lewat kanal Kang DM. Itu terkait realisasi program pemeliharaan jalan raya secara menyeluruh di Jawa Barat. Merujuk pada kebutuhan anggaran senilai “hanya” Rp 4 triliun. Tentu, tidak butuh waktu lima tahun. Sementara alokasi tahun anggaran berjalan hanya kurang dari Rp 1 triliun, atau maksimal Rp 1,2 triliun. Sementara pendapatan PKB mencapai Rp 8 triliun, mencakup BBN-KB senilai Rp 3 triliun.
Tentu saja, “ga logis ,” kata Kang DM. Padahal tuntas program hanya membutuhkan dana Rp 4 triliun. Sejumlah pendapatan dari PKB harus 100% untuk pembangunan infrastruktur jalan. Pada gilirannya, meliputi pembangunan fly over, under pass, light rail transit (LRT) hingga dimungkinkan investasi jalan tol.
Langkah kemandirian yang sepatutnya dilakukan seorang kepala daerah. Bila sebaliknya, pungutan PKB tak berkolerasi peruntukkan — bahkan kondisi jalan tetap tak mulus (jelek – pen) — maka sejatinya berpotensi digugat publik. Hal seperti umumnya berlaku di negara maju
Sebagai gambaran, data bentang jalan provinsi di Jawa Barat per 2023 mencapai 2.361 km. Rentang jalan keseluruhan, meliputi kualifikasi nasional dan kabupaten/kota mencapai 28.176,98 km.
Gubernur anyar ini hendak memaklumkan pendekatan profesional. Tidak politis. Pemimpin dituntut membangun keputusan untuk kejaran masa depan daerah dan rakyatnya. Bukan semata orientasi popularitas dan disukai banyak orang yang bersifat sesaat.
Dalam hal pendapat daerah melalui PKB, hendak dibangun tradisi transparansi dan akuntabel. Semua dalam kualifikasi informasi publik, yang publik berhak tahu.
Konon banyak bupati dan wali kota tak mengetahui Ikhwal dana bagi hasil PKB Provinsi Jawa Barat. Perlu diketahui nilai dana dalam tahun anggaran berjalan, sbb:
Kota Bandung Rp 887 milyar, Kota Bekasi (862), Kab. Bekasi (701), Kab. Bogor (679), Depok (477), Kab. Bandung (398), Karawang (305), Kota Bogor (238), Kab. Cirebon (197), Bandung Barat (164), Indramayu (143), Kab. Sukabumi (141), Cianjur (130), Subang (122), Cimahi (112), Garut (111), Purwakarta (98), Majalengka (84), Kota Cirebon (80), Kuningan (76), Kab/kota Tasikmalaya (71), Sumedang (69), Ciamis (57), Kota Sukabumi (42), Pangandaran (20) dan Banjar (14). Semua dalam nilai milyar rupiah.
Sistem kelola APBD Jawa Barat sudah seharusnya dengan pendekatan profesional. Terlebih, bila argumen terjadinya penurunan volume mencapai kisaran Rp 6 triliun.
Postur APBD Provinsi Jawa Barat 2025 senilai pendapatan daerah Rp 30,99 triliun. Bersumber dari PAD, transfer anggaran dari Pusat, serta pendapatan daerah lainnya. Berkurang atau menurun dibanding TA 2024 yang mencapai Rp 37,51 triliun. Ditengarai pula narasi yang memungkinkan angka dalam volume itu berubah-ubah. Pada kondisi tertentu dapat mengecoh aspek tranparansi dan akuntabilitas.
Penurunan volume APBD menuntut langkah efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran. Dimungkinkan perampingan struktur organisasi. Kini, meliputi satu sekda 1 dengan 12 Biro dan Sekretariat DPRD, 20 Dinas, 17 Badan, 17 Lembaga Teknis, 3 Lembaga Lain, 3 Rumah Sakit Daerah, 121 Unit Pelaksanaan Teknis Daerah, dan satu unit Pelaksana Teknis Badan.
Dipastikan pencoretan dana pengadaan mobil dinas gubernur senilai Rp 1,7 milyar. Kang DM dalam kapasitas Gubernur Jawa Barat sudah menolaknya. Selanjutnya tradisi bancakan dengan semata kakemot kabeh (terbagi semua, bhs Sunda -pen) perlu dikoreksi atasnama efisiensi. Tak kecuali koreksi terhadap alokasi Dana Hibah yang marak sebelum ini. Dana hibah yang ditengarai tak jelas sasaran, tak jelas arah tujuan. Mirip perwis kereta. Cuma maju-mundur.***
– jurnalis senior di bandung