Pensiun Tapi Masih Sok Pejabat
CERPEN Aendra Rhenoz Medita
Pak Gaus berjalan gagah ke arah podium. Tubuhnya tak lagi muda, rambutnya telah memutih, namun langkahnya tetap penuh percaya diri seperti saat ia menjabat dulu. Di hadapan puluhan peserta forum, ia berdiri dengan senyum khas yang pernah memikat banyak orang ketika ia menjadi pemimpin.
“Hadirin sekalian,” katanya dengan suara lantang, “pengalaman saya selama satu dekade di pemerintahan membuktikan satu hal: saya ini telah bangun strategi yang berhasil membangun kemajuan.”
Namun, beberapa hadirin yang mengenalnya dari dekat hanya saling melirik. Pak Gaus memang sudah pensiun, tapi gayanya tak pernah berubah. Ia masih merasa seperti pejabat yang harus didengar, meski kini banyak orang hanya mendengarkan sekadar menghormati umurnya.
Pak Gaus Primakarta Negara yang memilik nama panjang ini terus berbicara panjang lebar tentang “kesuksesan”-nya. Tentang proyek besar yang, ironisnya, lebih banyak meninggalkan lubang daripada manfaat. Namun, di benaknya, ia adalah sosok visioner.
“Kita harus bangga pada pencapaian kita,” katanya sambil mengangkat tangan, seperti seorang jenderal yang memerintahkan pasukan.
Di belakang ruangan, seorang peserta muda berbisik kepada rekannya.
“Dia ngomong apa sih? Semua orang tahu proyek itu malah bikin macet parah di kota kita,” kata si pemuda dengan tawa kecil.
“Ssstttt, hormati yang tua,” jawab temannya, meski wajahnya menahan senyum geli.
Sementara itu, Pak Gaus melanjutkan ceramahnya dengan gaya penuh “wibawa.” Ia memuji dirinya sendiri tanpa henti, menyelipkan cerita-cerita tentang bagaimana ia “diundang” oleh banyak pihak untuk menjadi penasehat, meski kenyataannya hanya beberapa undangan seminar kecil yang ia datangi.
Setelah acara selesai, seorang peserta menghampirinya.
“Pak Gaus, saya sangat terinspirasi oleh pengalaman Bapak,” katanya sambil tersenyum tipis.
“Oh, tentu saja, nak. Apa yang ingin kamu pelajari dari saya?” balas Pak Gaus, penuh rasa bangga.
“Bagaimana caranya tetap percaya diri meski sudah tidak menjadi pejabat?” tanya si peserta dengan nada samar-samar.
Pak Gaus tertawa lebar, mengira itu pujian.
Ia pun menjawab, “Ah, itu mudah. Selalu ingat, jabatan boleh hilang, tapi jiwa pejabat tidak boleh pudar!”
Hadirin yang mendengar ucapan itu hanya bisa mengangguk-angguk, menahan tawa. Di luar gedung, bisik-bisik mulai terdengar. Bagi mereka, Pak Gaus adalah simbol pejabat yang lupa waktu, yang masih merasa dunia berputar di sekelilingnya.
Di usia senjanya, Pak Gaus terus berjalan dengan langkah besar, tanpa sadar bahwa banyak orang melihatnya sebagai hiburan semata, bukan panutan. Dan begitulah hari-harinya berlalu—dengan cerita-cerita tentang kejayaan yang hanya ada dalam benaknya. Tapi gaya lamanya selalu ia mainkan. ***