Oleh: Radhar Tribaskoro
Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
Teori Realisme Ofensif diciptakan oleh John Mearsheimer. Saya telah membuat dua tulisan tentang John Mearsheimer (baca di sini: Prabowo, Demokrasi dan Oligarki dan Menuju Dunia Multipolar, Apa Pilihan Prabowo?). Ilmuwan yang terkenal dengan Teori Realisme Ofensif ini melintas dalam pikiran saya selepas saya mendengar Prabowo berpidato tentang pentingnya survival strategy untuk Indonesia. Saya menduga Prabowo terinspirasi oleh John Mearsheimer karena inti dari ajaran Mearsheimer adalah survival strategy itu. Dugaan itu terbukti ketika ahli ilmu politik dari Universitas Chicago itu menjadi salah satu narasumber pada pembekalan Hambalang Retreat untuk calon anggota kabinet Prabowo beberapa waktu lalu.
Nah, apa dasar-dasar teori Mearsheimer dan apa relevansinya untuk Indonesia? Pertanyaan ini menjadi subjek dari tulisan ini.
Teori Realisme Ofensif
John Mearsheimer, salah satu teoritikus hubungan internasional paling berpengaruh, dikenal dengan konsep “realisme ofensif” (offensive realism). Teori ini mendasarkan dirinya pada pandangan pesimis tentang politik internasional, yang menyatakan bahwa negara-negara selalu berusaha memaksimalkan kekuatan mereka demi keamanan, bahkan jika itu berarti melakukan tindakan ofensif. Menurut Mearsheimer, dunia adalah arena anarki tanpa otoritas global yang dapat mengekang perilaku negara, sehingga negara harus bertindak demi kepentingan dan keamanan mereka sendiri.
Dalam teori realisme ofensif, Mearsheimer berargumen bahwa tidak ada negara yang benar-benar aman di tengah anarki global. Oleh karena itu, negara-negara harus mengejar hegemoni regional untuk memastikan keberlangsungan keamanan mereka. Dengan kata lain, negara-negara besar cenderung bertindak ofensif, mengintervensi, atau menekan negara lain demi memperkuat posisi dan pengaruh mereka. Hal ini dianggap penting karena semakin kuat dan berpengaruh sebuah negara, semakin kecil pula kemungkinan negara tersebut menjadi sasaran ancaman dari pihak lain.
Teori ini telah diikuti oleh banyak negara dalam kebijakan luar negeri mereka, terutama negara-negara besar yang berusaha mempertahankan atau memperluas pengaruh mereka. Contohnya adalah Amerika Serikat dan Tiongkok yang bersaing demi pengaruh di kawasan Indo-Pasifik, serta Rusia yang berusaha mempertahankan pengaruhnya di Eropa Timur. Mearsheimer menekankan bahwa negara yang ingin bertahan dalam sistem internasional harus siap menggunakan kekuatan untuk mencapai keamanan dan dominasi regional.
Realisme Ofensif dan Pertumbuhan Ekonomi
Mearsheimer juga melihat bahwa teori realisme ofensif dapat berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Menurut Mearsheimer, upaya negara untuk mengejar hegemoni dan kekuatan militer sering kali mengorbankan alokasi sumber daya yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan masyarakat. Peningkatan anggaran militer dan penguatan posisi geopolitik dapat menyebabkan berkurangnya investasi pada sektor-sektor yang penting bagi kesejahteraan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur sosial.
Dalam pandangan Mearsheimer, negara yang terlalu fokus pada upaya memperkuat keamanan dan dominasi di wilayahnya sering kali berkontribusi terhadap meningkatnya ketimpangan sosial dan kemiskinan, karena kebijakan yang diambil lebih berpihak pada kepentingan elite politik dan ekonomi dibandingkan masyarakat umum. Hal ini menciptakan situasi di mana pertumbuhan ekonomi mungkin terjadi, tetapi manfaatnya tidak merata, sehingga ketimpangan sosial semakin melebar. Sebagaimana dikatakan oleh Mearsheimer, “Ketika negara mengutamakan kekuatan di atas segalanya, mereka sering kali mengabaikan kebutuhan dasar warga negaranya” (Mearsheimer, 2001).
Hegemoni dapat menciptakan kestabilan politik jangka panjang, yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Contohnya adalah dominasi Amerika Serikat di Eropa Barat pasca Perang Dunia II melalui Marshall Plan, yang memungkinkan terjadinya stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Demikian pula di Asia Timur, hegemoni Amerika Serikat setelah Perang Korea berkontribusi terhadap kestabilan politik dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Namun, hegemoni tidak selalu menghasilkan kemakmuran. Misalnya, dominasi Rusia di Eropa Timur tidak menciptakan kemakmuran yang sama. Sebaliknya, negara-negara di bawah pengaruh Rusia sering kali mengalami stagnasi ekonomi dan ketimpangan yang tinggi, karena sumber daya ekonomi diarahkan untuk kepentingan geopolitik dan militer, bukan untuk pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Kondisi ini juga relevan dalam konteks negara-negara berkembang yang berusaha mengejar pengaruh dan kekuatan di kancah internasional. Fokus pada hegemoni regional dan penguatan militer dapat menghambat pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, teori realisme ofensif dari Mearsheimer tidak hanya memberikan gambaran tentang persaingan kekuatan besar, tetapi juga menunjukkan dampak sosial-ekonomi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan yang terlalu berorientasi pada kekuatan.
Relevansi Teori Realisme Ofensif bagi Indonesia
Lalu, bagaimana relevansi teori ini bagi Indonesia? Sebagai negara yang terletak di kawasan strategis Indo-Pasifik, Indonesia tidak bisa mengabaikan realitas geopolitik yang digambarkan oleh realisme ofensif. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia berada di persimpangan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, yang masing-masing terus berusaha memperluas pengaruh mereka di kawasan. Dalam konteks ini, realisme ofensif mengingatkan Indonesia bahwa pengaruh kekuatan besar seringkali disertai agenda tersembunyi yang tidak selalu sesuai dengan kepentingan nasional.
Namun, penerapan teori ini membawa dilema bagi Indonesia, khususnya terkait kebijakan luar negeri bebas dan aktif yang selama ini menjadi landasan diplomasi Indonesia. Realisme ofensif cenderung mengarah pada penguatan militer dan aliansi strategis untuk menghadapi kekuatan besar lainnya, yang bertentangan dengan prinsip bebas dan aktif yang berupaya menghindari keterikatan dengan salah satu blok kekuatan. Dalam hal konsolidasi demokrasi, fokus pada kekuatan militer dan keamanan nasional dapat melemahkan upaya demokratisasi, karena sumber daya dan perhatian pemerintah akan lebih banyak diarahkan pada sektor keamanan daripada pembangunan institusi demokratis.
Selain itu, penerapan teori ini juga memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Jika Indonesia terlalu fokus pada upaya memperkuat pertahanan dan mengejar hegemoni regional, maka alokasi anggaran untuk program-program sosial dan ekonomi yang dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial akan berkurang. Akibatnya, meskipun stabilitas politik mungkin tercapai, kualitas hidup masyarakat tidak akan meningkat secara merata.
Kestabilan politik dalam jangka panjang biasanya akan menarik investasi asing yang sangat penting untuk Indonesia. Namun pengejaran hegemoni dan kekuatan militer sebagaimana diajarkan oleh Mearsheimer memang memastikan keamanan, tetapi stabilitas yang berkelanjutan memerlukan lebih dari sekadar kekuatan militer. Stabilitas sejati juga memerlukan pembangunan ekonomi yang inklusif dan penguatan institusi-institusi demokratis agar seluruh elemen masyarakat merasakan manfaat dari kemakmuran dan keamanan yang tercipta.
Di sisi lain, Indonesia harus mampu membaca dinamika ini dengan cermat dan mengambil kebijakan luar negeri yang memastikan posisinya tetap independen dan aman. Mearsheimer akan menyarankan agar Indonesia memperkuat kekuatan militernya untuk mempertahankan kedaulatan dan memastikan tidak mudah diintervensi oleh kekuatan asing. Dalam hal ini, strategi untuk mengembangkan kekuatan pertahanan, terutama di wilayah perbatasan dan laut, menjadi sangat relevan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak menjadi titik lemah di tengah persaingan kekuatan besar.
Selain itu, realisme ofensif relevan dalam memahami dinamika di Laut China Selatan, di mana Tiongkok dan beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terlibat dalam sengketa teritorial. Klaim sepihak Tiongkok di wilayah tersebut dapat dilihat sebagai contoh konkret dari perilaku hegemonis yang dijelaskan oleh Mearsheimer. Untuk menghadapi situasi ini, Indonesia perlu membangun aliansi strategis dengan negara-negara lain yang juga terancam, serta memperkuat kehadiran militernya di Natuna sebagai bentuk penegasan kedaulatan.
Meski demikian, kebijakan luar negeri Indonesia hendaknya tidak meninggalkan pendekatan “politik bebas aktif” yang menekankan kerjasama ketimbang konfrontasi. Teori realisme ofensif mungkin kurang mampu menjelaskan aspek diplomasi yang sering digunakan Indonesia untuk menyeimbangkan kekuatan di kawasan, seperti peran Indonesia dalam ASEAN dan upayanya menjadi mediator dalam berbagai konflik regional. Namun, pemahaman tentang bagaimana kekuatan besar beroperasi dalam kerangka anarki internasional tetap penting agar Indonesia dapat menghindari jebakan ketergantungan dan tekanan eksternal yang tidak menguntungkan.
Kesimpulan
Teori realisme ofensif dari Mearsheimer memberikan perspektif penting dalam memahami dunia yang penuh dengan kompetisi dan potensi konflik, terutama di tengah meningkatnya persaingan antara kekuatan besar. Bagi Indonesia, memahami teori ini dapat membantu dalam mengantisipasi gerakan negara-negara besar yang berpotensi mengancam kedaulatan dan kepentingan nasional. Meski begitu, relevansi teori ini harus dikombinasikan dengan pendekatan yang lebih kooperatif dan fleksibel, seperti yang telah menjadi ciri khas kebijakan luar negeri Indonesia, guna menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik.