Home Bandung Majelis Musyawarah Sunda Tolak UU DKJ TENTANG AGLOMERASI

Majelis Musyawarah Sunda Tolak UU DKJ TENTANG AGLOMERASI

541
0

JABARSATU.COM — Majelis Musyawarah Sunda secara tegas menolak Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta BAB IX : Kawasan Aglomerasi Pasal 51-60, yang mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi.

Hal ini terungkap dalam Musyawarah Munggaran atau pertama Majelis Musyawarah Sunda (MMS) di Bandung

“Masyarakat Sunda memandang bahwa pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila tak bisa berkembang dan dikembangkan dengan cara yang tercerabut dari akar kerakyatan yang tumbuh di bumi kesukuan dan kedaerahan dengan segala asal-usul kesejarahan, kekhasan sosial-budaya, potensi sumber daya, dan karakteristik ruang hidupnya. Cerlang budaya sebagai hasil interaksi antarelemen asal-usul kesukuan dan kedaerahan yang mensejarah itu ibarat anggur tua dalam botol baru negara-bangsa Indonesia yang terlalu berharga untuk ditelantarkan,”ungkap Andri Perkasa Kantaprawira Ketua Panitia Pelaksana Musyawarah MMS, dalam acara Majelis Musyawarah Sunda (MMS) yang digelar di Universitas Padjadjaran (UNPAD), Jalan Dipatiukur Bandung, Ahad 13 Oktober 2024,

Andri juga mengatakan bahwa telah ditetapkannya 13 Pinisepuh MMS dan kepengurusan akan berjalan dan melaksanakan tugasnya. Sebanyak 13 Pamangku Pinisepuh Sunda yang akan menjalankan roda organisasi dua tahun ke depan yang ditetapkan tersebut adalah : Burhanudin Abdullah ( Pinisepuh Pangangku Sunda 1), Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi (Pinisepuh Pamangku Sunda 2), Ganjar Kurnia (Pinisepuh Pamangku Sunda 3), Irjen Pol (Purn) Taufiqurrahman (Pinisepuh Pamangku Sunda 4), Zaenudin (Pinisepuh Pamangku Sunda 5), Halimah (Pinisepuh Pamangku Sunda 6), Dindin S Maulani (Pinisepuh Pamangku Sunda 7), Numan Abdul Hakim (Pinisepuh Pamangku Sunda 8), Ikik Lukman (Pinisepuh Pamangku Sunda 9), Ernawan S (Pinisepuh Pamangku Sunda 10), Didin S Damanhuri (Pinisepuh Pamangku Sunda 11), Agus Pakpahan (Pinisepuh Pamangku Sunda 12) dan Ayi Hambali (Pinisepuh Pamangku Sunda 13).

Majelis Musyawarah Sunda (MMS) adalah kaukus inisiatif Masyarakat Sunda di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan Daerah Khusus Jakarta, Sunda Pangumbaraan dan Diaspora Sunda dipersatukan oleh komitmen bersama untuk membangun rumah kebangsaan Indonesia dengan memperkuat kaki-kakinya (sukunya).

Visi Majelis Masyarakat Sunda yaitu Sunda Mulia Nusantara Jaya merupakan hasil refleksi dari cita-cita dua tokoh nasional sunda yaitu Oto Iskandar di Nata dan Ir. H. Djuanda Kartawijaya, menyatakan bahwa dalam Kebhinekaan Indonesia, Suku Bangsa Sunda meninggikan menjadi Suku Bangsa Mulia (yang menghargai dirinya dan dihargai suku suku bangsa lainnya) dan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sehingga mengalami kejayaan yang panjang.

Dalam Musyawarah Majelis Musyawarah Sunda I (pertama) selain kami menuntaskan masalah internal keorganisasian, kami Pinisepuh, Dewan Pakar, dan Badan Pekerja Majelis Musyawarah Sunda setelah melalui Diskusi Para Pakar, Musyawarah Pinisepuh dan Presidium Pinisepuh menyatakan pernyataan publik untuk menjadi panduan kepada masyarakat Sunda dan masukan serta tuntutan kepada Pemerintahan Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam kaitan “Sunda, Sarakan, jeung Nagara (Sunda kepada Tanah Airnya dan Kepada Negaranya) mengenai beberapa masalah sebagai berikut :

1. Majelis Musyawarah Sunda mendorong agar Pemilu Daerah Serentak Secara Langsung (Pilkadal) terutama di Tatar Sunda (Jawa Barat, Banten dan Daerah Khusus Jakarta) dapat menjadi Pilkada Serentak 2024 yang berkualitas, bermartabat dan berintegritas (demokrasi substantif) yang diharapkan menghasilkan kepemimpinan wilayah dan daerah terbaik yang nantinya dapat membangun wilayah dan daerah Tatar Sunda yang besar potensi dan masalahnya, menjadi wilayah yang “Gemah Ripah, Repeh, Rapih”, Beriman Bertaqwa” dan “Berjaya”.Rancang bangun Perencanaan dan Pelaksanaan pembangunan yang terencana baik secara teknokratik dan partisipatif tercermin mulai dari desain Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJPMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), semuanya harus sudah mencerminkan tolok tolok ukur yang berlaku nasional dan global serta berkearifan local.

2. Dalam rangka menyongsong Kepemimpinan Baru Pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan dilantik 20 Oktober 2024, dimana realitasnya berada dalam situasi nasional dan global yang berat menantang, kami Masyarakat Tatar Sunda menghimbau agar jadilah Pemerintahan Yang Berani dan Berkeadilan, karena Adil dekat dengan Taqwa, hanya dengan Keberanian dan Keadilan maka masalah- masalah bangsa yang ditinggalkan pemerintah-pemerintah sebelumnya, fondasi pemecahan masalahnya dapat dibangun seperti Pemberantasan Korupsi yang berkepastian hukum, proposional dan menegakkan kepentingan nasional; Pengelolaan Keuangan Negara yang tidak bertata Kelola baik, Pembangunan yang hanya menguntungkan kelompok oligarki politik dan ekonomi, Penguasaan Tanah, Air dan Kekayaan Alam yang dikuasai 1 persen orang-orang berkuasa, Gejolak Sosial dan Permasalah Lingkungan Hidup yang semakin terdegradasi.

3. Provinsi Jawa Barat dan Banten sampai saat ini belum mendapatkan keadilan dalam masalah Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang sekarang ini Perundang-undangannya menjadi Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, karena sistem perhitungan Undang-undang Keuangan tersebut tidak menghitung berapa sebenarnya jumlah yang diberikan oleh Provinsi Jawa Barat dan Banten, akibatnya anggaran Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan lain-lain yang diterima Jawa Barat dan Banten lebih kecil dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara apalagi dengan Daerah Khusus Jakarta. Sistem Perpajakan yang mana industri dengan semua permasalahannya berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten tetapi Pajaknya dimiliki oleh Jakarta dan Pusat, telah menimbulkan ketimpangan terhadap beban penduduk, lingkungan dan masalah sosialnya yang berat bagi Jawa Barat dan Banten. Majelis Musyawarah Sunda meminta percepatan persetujuan pemekaran daerah baik secara nasional maupun parsial untuk Kabupaten/Kota untuk Provinsi Jawa Barat (10 Kabupaten/Kota) dan Banten untuk mempercepat keadilan pembagian keuangan dari peraturan perundang-undangan yang ada. Undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah harus dikaji kembali secara komprehensif sehingga memberikan rasa keadilan bagi seluruh daerah-daerah di Indonesia, karena keadilan perimbangan keuangan pusat daerah adalah perekat utama bagi Persatuan dan Kesatuan Nasional secara rasional.
4. Pembangunan Nasional dan Regional di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan Daerah Khusus Jakarta yang selama ini jauh dari prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan yang mengelola lingkungan hidup sebagai kewajiban utama manusia sebagai khalifah fil ards, maka untuk memitigasi kerusakan yang lebih

jauh yang berakibat bencana alam dan bencana kemanusiaan bagi generasi mendatang kami meminta Pemerintah Pusat untuk segera menangani secara serius penataan dataran tinggi Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), Tanam Nasional Pangarango, Gede, Salak, Kawasan Bandung Utara dan Bandung Selatan, Taman-Taman Nasional serta Gunung-Gunung di Jawa Barat dan Banten lainnya yang merupakan daerah tangkapan air (catchmen area) dan mata air kehidupan (sumber air) untuk Provinsi Jakarta, Jawa Barat dan Banten serta mencegah Banjir di Jakarta dan Pantura bukan dengan tetap menjadikannya pusat eksploitasi bagi para kapitalis penguasa tanah dengan konsep Kawasan Aglomerasi. Majelis Musyawarah Sunda menuntut dibuatnya peraturan perundang-undangan yang partisipatif dan komprehensif, karena menurut kearifan local Sunda jelas menyatakan “Gunung teu menang dilebur, Lebak teu menang diruksak; pendek teu menang disambung; lojong teu menang dipotong, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun” (Gunung tidak boleh dihancurkan, lebak tidak boleh dirusak, pendek tidak boleh disambung, panjang tidak boleh dipotong, yang bukan harus dikatakan bukan (lain), yang tidak boleh dikatakan tidak boleh, yang seharusnya harus dikatakan seharusnya).

5. Majelis Musyawarah Sunda secara tegas menolak Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta BAB IX : Kawasan Aglomerasi Pasal 51-60, yang mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi. Undang-undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta disusun secara tergesa- gesa, dimana urang sunda tidak pernah dipertimbangkan untuk mendapatkan penjelasan yang memadai, diajak berpartisipasi secara demokratis, dan dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab. Kebijakan Kawasan Aglomerasi bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 dimana daerah-daerah otonom yang berada di Tatar Sunda (Jawa Barat, Banten, Jakarta) tidak lagi berhak merencanakan pembangunan wilayah/daerahnya sesuai dengan karakter wilayah serta budayanya, melainkan ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Demi Kesatuan dan Persatuan bangsa, kami menuntut agar Pemerintah Pusat pada masa Pemerintahan Prabowo Gibran 2024-2029, mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang untuk membatalkan Undang-undang berkait dengan Kebijakan Kawasan Aglomerasi tersebut. (RED/ANS/AME)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.