Oleh Dr Ir. Memet Hakim Forum Pakar MMS Bidang Pertanian, Dosen, Konsultan & Senior Agronomis Wanhat APIB & APP TNI
Pajak/Retribusi Regresif adalah system Reward & Punishment bagi Badan Usaha tetapi dapat pula dikenakan untuk orang per orang yang menelantarkan lahannya. System ini akan mendatangkan dolar dan menyerap tenaga kerja, mengurangi angka kemiskinan. Pajak Regresif hanya cocok untuk bidang yang dapat dipacu produktivitasnya tanpa merusak lingkungan yakni bidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan yang seluruhnya menggunakan sumberdaya alam berupa tanah dan air. Dengan pajak/Retribusi ini, pemerintah memaksa petani, buruh tani/karyawan dan Badan Usaha supaya menjadi lebih kaya secara finansial, agar Perekonomian Desa akan menguat dan bergairah.
Dari luasan wilayah di Jabar sebanyak 3.537.776 ha, yang dikuasai ternyata ada 3.224.000 ha, artinya ada 307.223 ha yang belum jelas. Luas baku sawah 928.218 ha, Luas Perkebunan 470,938 ha, Hortikultura diperkirakan sekitar 1.500 ha, areal Hutan (termasuk Hutan Lindung & Konservasi) 776.830 ha (dikuasai Perhutani 602.532 ha), areal kosong yang dikuasai pengembang diperkirakan ada 25.000 ha, sehingga totalnya 2.177.486 ha, sisanya 1.360.290 ha berupa tanah perkotaan, jaringan jalan, dll.
Dari seluas itu ada sedikitnya ada 743.410 ha tanah tidak diusahakan, Lahan kosong yang dikuasai Pengembang tapi dibiarkan tidak produktif diperkirakan 25.000 ha, belum lagi lagi lahan kosong pada wilayah HGU & HPH yang sudah tidak produktif lagi yang jumlahnya mungkin mencapai piluhan ribu ha, tentu saja ini sangat merugikan Negara dan rakyat sekaligus. Lahan kosong seperti ini harus dikenakan pajak tinggi sampai ditanami dan menjadi produktif. Jika ditanami dengan produktivitas tinggi justru bisa dibeaskan dari pajak. Jika tidak mampu harus dikembali ke Pemda untuk diatur ulang.
UUD 45 pasal 33 jelas menyatakan 3 hal sebagai berikut.
- Perekonomian disusun sebagai “usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- “Bumi dan air dan kekayaan alam” yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Nah terkait pasal 33 UUD45 dan fakta dilapangan yang ternyata banyak merugikan rakyat dan negara, maka Pajak Regresif ini merupakan jawabannya. Tujuan pajak/Retribusi ini adalah untuk merangsang Pemerintah Daerah dan pemilik lahan untuk membuat agar lahan tersebut menjadi produktif. Apabila lahan tersebut jadi produktif, maka pemilik lahan, rakyat sekitar dan negara diuntungkan semuanya.
Pada dasarnya Pajak/Retribusi Regresif dilakukan agar Sumber Daya Alam khususnya di Bidang Pertanian Pangan, Perkebunan, Perikanan, Kehutanan dikelola supaya lebih produktif. “Jika penguasaan tanah hanya dilakukan untuk simpanan atau spekulatif harus dikenakan pajak tinggi” .
Sebagai Gambaran betapa rendahnya produktivitas Tanaman Pangan dan Perkebunan di Jabar sangat memprihatinkan, selain itu hampir 1 juta ha , sekitar 870 ha (25%) tanah tidak produktif tentu ini semua merugikan pemerintah, rakyat dan pemiliknya.
Lihatlah hasil pencapaian kinerja teknisnya, semuanya jauh dibawah potensi, ini berarti ada masalah di dalam iklim usaha dan kebijakannya. Pandangan bahwa sektor pertanian ini lebih rendah dari sektor industri akan terbantahkan kita para petani menjadi kaya.
Pola Pajak Regresif ini ini memaksa orang per orang atau badan usaha “pemilik” lahan tersebut harus mengusahakan lahan dengan baik supaya menjadi kaya. Dampak Pajak Progresif ini, akan mengurangi pengangguran dan mengurangi urbanisasi dan angka kemiskinan (di Jabar ada sekitar 8% (4 juta orang) dibawah Garis Kemiskinan). Jabar akan terbebas dari kemiskinan jika bidang Pertanian dibenahi.
Lahan kosong Pengembang (Real Estate), harus dikenakan pajak jauh lebih tinggi, karena telah merugikan system pangan Nasional dengan mengambil lahan sawah produktif untuk dijadikan perumahan. Polanya bertingkat menurut luasan, semakin luas semakin tinggi pajaknya. Namun apabila lahan tersebut ditanami padi misalnya tentu saja pajak lahan tersebut disesuailan dengan besaran pajak regresif. Dengan demikian penguasaan lahan secara spekulatif akan semakin berkurang.
HGU merupakan hak tertinggi pada areal Perkebunan dan pertanian secara luas. Lahan kosongnya harus dikenakan pajak lebih tinggi dibandingkan lahan yang ditanami. HGB, SHM pada Real Estate yang arealnya melebihi kewajaran, jika lahannya dibiarkan kosong dan tidak produktif, harus dikenakan pajak yang lebih tinggi lagi. Real Estate merupakan salah satu bidang yang sangat berperan di dalam mengurangi “Produksi Pangan Nasional”, sangatlah wajar jika dikenakan penalty terbesar jika lahannya dibiarkan kosong, akan tetapi harus pula diberikan reward jika lahannya tetap produktif.
Pendapat bahwa “Pola kehidupan agraris tradisional dengan aksesibilitas infrastruktur dan TIK yang rendah merupakan ciri utama penentu kemiskinan dan ketimpangan diperdesaan” harus diubah menjadi “Pola kehidupan agraris tradisional dengan aksesibilitas infrastruktur merupakan ciri utama penentu kemakmuran dan kesejahteraan diperdesaan”
Dengan naiknya produktivitas maka beras, gula, jagung, hortikultura, ikan, kayu di Jabar maka pendapatan petani akan meningkat. Urbanisasi akan berkurang (saat ini hampir 60 % tenaga kerja tidak bekerja di sektor Non Pertanian), dengan Pajak/Retribusi Regresif akan kembali ke sektor pertanian. Image bahwa sektor pertanian itu miskin harus diubah menjadi sebaliknya. Teknologi dan SDM telah tersedia, tinggal Pemda yang membuat rangsangannya.
Hak Pengusahaan Hutan misalnya jika ditanami kembali dan hasilnya produktif, cukup dikenai pajak biasa, akan tetapi jika ternyata tidak ditanami lagi, harus dikenakan Pajak yang tinggi, karena telah merugikan pendapatan Negara dan Rakyat setempat.
Di Perikanan darat maupun laut, sama saja jika ijin tidak dimanfaatkan dengan baik, sedang orang lain tidak dapat memanfaatkan wilayah penangkapan ikan disitu, tentu pendapatan Negara berkurang, pendapat ybs pun berkurang, penyerapan tenaga juga berkurang. Jadi semuanya akan merugi.
Selain itu Perusahaan asing di Bidang Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perikanan tentu harus membayar Royalti sebagai selain pajak sebagai “tanda pengakuan atas penggunaan fasilitas Negara Indonesia”. Begitu pula di Bidang Pertambangan yang lebih merusak lingkungan royaltinya harus lebih besar lagi. Singkatnya jika pemerintah ini membawa rakyatnya lebih makmur, bidang Pertanian harus mendapat perhatian khusus.
Ada pra syarat agar pajak/Retribusi regresif itu berjalan dengan baik yakni perbaiki iklim usahanya antara lain1. harga komoditi diatur supaya lebih menarik, 2. pupuk subsidi disiapkan, 3. Bulog diberdayakan dan 4. ijin impor pangan diperketat, 5. peran importir swasta untuk pertanian khususnya pangan dihilangkan, 6. Memberdayakan kembali Koperasi untuk dimanfaatkan kembali untuk menyerap padi dan menjadi toko2 sembako ada di pedesaan. Dengan demikian ketimpangan kesejahteraan antara non pri dan pri akan semakin kecil, sehingga masalah social juga akan berkurang.
Secara makro kurangi peredaran uang yang lari ke pusat atau ke LN, misalnya dengan memanfaatkan koperasi di perdesaan. Keuntungan koperasi tetap ada di daerah sekitar, tetapi jika jaringan mini market tumbuh subur tentu keuntungannya akan lari ke pusat bahkan ke LN. Karena itu peran Bulog sebagai stabilisator harga dan distributor harus dilakukan dengan baik.
Pajak/Retribusi Regresif ini dapat diterapkan pada setiap komoditi dengan prinsip Produktivitas rendah pajaknya tinggi dan produktivitas tinggi pajaknya rendah. Dengan demikian Uang yantg bersedar di Jabar akan semakin banyak, perputaran Ekonomi akan semakin lancar.
Bandung, 19 Juli 2024