JABARSATU.COM — Wakil rakyat Kota Tangsel dari Fraksi Demokrat Julham Firdaus meminta kepada Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk bisa melayani masyarakat, termasuk merespon keluhan dan permintaan bermusyawarah dari pemilik Tanah Kayu Antap yang sedang bersengketa dengan pihak Pemkot Tangsel.
“Gak ada yang tak bisa diselesaikan dengan duduk bareng. Toh sudah sewajarnya pihak Pemkot mendengar secara langsung aspirasi rakyat sebagai bentuk pelayanan terkait status dan hak pengelolaan tanah di Situ Ampat yang kini jadi sengketa,” kata ketua DPC Demokrat Kota Tangsel, kepada awak media kemarin saat diminta komentarnya mengenai sengketa tanah Situ Kayu Ampat yang sedang viral.
“Pemerintah tak boleh berbisnis dengan rakyatnya dan juga tak boleh masuk ke instrumen lain selaim menjadi pelayan serta pendamping masyarakat termasuk masyarakat pengusaha. Mari membangun Kota Tangsel dengan cara dan tujuan yang baik,” tegas Julham.
“Persoalannya kan tinggal tanah itu mau diapain. Mau dijadikan situ lagi atau mau dibuat apa. Nah disinilah perlunya kedua belah pihak bisa duduk bareng,” tambah Julham anggota DPRD Kota Tangsel yang dikenal cukup kritis.
Seperti diberitakan sebelumnya, lokasi Kayu Antap yang selama ini diklaim oleh Pemkot Tangerang Selatan sebagai situ ternyata bukan situ. Pemantauan media ke lokasi di wilayah Rempoa, Tangerang Selatan, menemukan fakta lokasi tersebut seluruhnya hanya berupa daratan yang dikelilingi oleh pagar beton dan dilengkapi dengan fasilitas jalan aspal, jaringan gorong-gorong, serta terdapat dua rumah contoh yang belum selesai.
Selebihnya adalah berupa kebun pohon singkong, pisang, dan sayur mayur yang ditanam dan dipelihara oleh warga setempat.
“Area ini sudah lebih dari 12 tahun milik PT Hana Kreasi Persada (HKP), ” kata Acin, salah seorang dari beberapa penggarap lahan di area tersebut. PT HKP adalah perusahaan yang dulunya pengembang di Kota Tangsel. Perusahaan ini memiliki lahan tersebut berdasarkan SHGB no 0340/Rampoa. Rencana semula PT HKP akan membangun kawasan permukiman di area lokasi tersebut.
“Namun, rencana itu dihambat secara sepihak oleh kebijakan Pemerintah Kota Tangsel yang mengubah status tanah kami di RTRW Kota Tangsel 2011-2031, dari semula warna kuning (pemukiman) menjadi warna biru (situ) tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dan berkoordinasi dengan pihak kami,” ujar Susana, perwakilan PT HKP.
“Akibatnya, kami tak bisa menggunakan tanah tersebut sebagaimana mestinya. Padahal, pada kenyataanya area tanah tersebut bukan situ, dan tak ada tanda-tanda akan dibuat situ,” ujar Susana Hingga saat ini pihak Pemkot Tangsel belum juga memberikan penjelasan apapun soal perubahan status tanah tersebut.
“Walaupun kami sudah mengirimkan surat berkali- kali untuk menanyakan dan membicarakan soal ini dengan pihak Walikota Tangsel. Sampai saat ini surat kami belum direspon. Jadi maunya apa?!” ujar Susana bernada kecewa. “Pemkot Tangsel bersikap paradoks, di satu sisi mengakui bahwa tanah SHGP No 0340.Rampoa, adalah milik PT HKP, tapi di sisi lain lokasi tersebut dikasih warna biru di peta RTRW. Artinya tanah itu dinyatakan sebagai situ tanpa ada langkah- langkah kongkrit untuk membuat situ dan membayar ganti rugi terhadap tanah kami, ” ujar Susana lagi.
Menurut Susana, yang ditemui di lokasi, pihak Pemkot telah bertindak sewenang-wenang, karena melalaikan dan tak mengindahkan fakta-fakta hukum yang sudah dimiliki oleh pihaknya.
“Harusnya Pemkot Tangsel bersikap tegas. Segera keluarkan surat Pengajuan Bangunan Gedung -PBG/IMB, atau silahkan ambil alih lokasi tersebut dengan membayar harga lahan sesuai dengan harga pasar dan mengganti segala fasilitas yang telah kami bangun. Atau maunya bagaimana? Kan bisa dibicarakan dengan duduk bareng. Jangan gak jelas seperti saat ini. Yakni mem-plot tanah PT. HKP sebagai situ dalam RTRW Kota Tangsel secara sepihak, tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa kajian kelayakan, tanpa ganti rugi selama lebih 12 tahun,” ujar Susana.
Susana menceritakan bahwa sertifikat tanah yang dimiliki oleh pihaknya berasal dari Sertifikat Hak Milik no 479/Rampoa a.n. Ny. Darnelis (Pemilik-2) yang diterbitkan oleh Kantor Agraria Indonesia (sekarang ATR/BPN ) pada tahun 1974.
“Jadi kami pemilik ketiga dari tanah itu,” ujarnya lagi kemarin kepada sejumlah awak media. Pada tahun 2008-2009 PT HKP mengajukan dokumen ijin -ijin yang diperlukan kepada pihak Pemda Kabupaten Tangerang (sebelum Kota Tangsel terbentuk) untuk membangun kawasan tersebut menjadi wilayah perumahan. Diantaranya ijin lingkungan, ijin lokasi, ijin pemanfaatan ruang, pengesahan siteplan, peil banjir, ijin UPK-UKL, ijin mendirikan bangunan pagar pembatas, rekomendasi andalalin dan rekomendasi kebakaran.
Semua dokumen perijinan sudah diperoleh, karena dalam RTRW Kabupaten Tangerang tahun 2008-2010 wilayah tersebut peruntukkannya adalah pemukiman.
“Kecuali IMB yang waktu itu belum diajukan karena menunggu proses penjualan gambar rumah, “jelas Susana. Saat kami mengajukan permohonan PBG/IMB kepada Pemkot Tangsel yang baru terbentuk, pengajuan kami ditolak oleh Pemkot Tangsel. Alasanya karena ada issue bahwa tanah milik PT HKP tersebut tercatat sebagai Situ Kayu Antap dan masuk dalam Daftar Aset Milik Daerah Provinsi Banten.
PT.HKP pun mengajukan proses hukum kepada Peradilan Umum, dan hasil Putusan Pengadilan Negeri No. 13/Pdt.G/2010/PN.SRG yang diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi No.13/PDT/2012/PT.BTN, ialah sebagai berikut: Pertama, menyatakan bahwa Sertifikat HGB No. 340 adalah sah secara hukum Kedua, menyatakan bahwa peralihan hak jual beli atas SHGB No. 340/Rempoa adalah sah secara hukum.
Ketiga, menyatakan bahwa SHGB No. 340 bukanlah merupakan lokasi Situ Antap. Dengan dasar putusan tersebut Gubernur Provinsi Banten menghapus status Situ Antap dari Daftar Barang Milik Daerah Provinsi melalui SK Gubernur Banten no.953/Kep.438-HUK/2016. Artinya, persoalan situ atas tanah tersebut sudah tidak ada lagi.
PT. HKP juga membayar PBB yang sudah dibebankan kepada tanah tersebut selama 49 tahun yang dikeluarkan pihak Pemda Kabpaten Tangerang dan Pemkot Tangsel NOP 36.75-062.005-007.0456.0 Karena menganggap sudah tidak ada permasalahan hukum lagi, maka ketika Kota Tangsel baru terbentuk, PT HKP bergerak mempersiapkan rencana pembangunan perumahan di wilayah tersebut, termasuk mengajukan IMB kepada Pemerintah Kota Tangsel. “Namun kami kaget, ternyata Pemkot Tangsel sudah merubah RTRW Kabupaten Tangerang yang semula status tanah kami untuk pemukiman diubah menjadi situ pada RTRW Kota Tangsel 2011-2031.
PT HKP pun menggugat Pemkot Tangsel lewat PTUN. Hasilnya, PT HKP menang, dan putusannya ialah Pemkot Tangsel harus segera mengeluarkan PBG/IMB. Namun lagi-lagi Pemkot Tangsel tetap tidak mau menerbitkan Surat Rekomendasi untuk mengeluarkan PBG/IMB. Selanjutnya PT HKP mengajukan permohonan eksekusi ke PTUN Banten dan dikeluarkanlah penetapan PTUN yang isinya antara lain memerintahkan Pemkot Tangsel untuk melaksanakan Putusan No. 1/FP/2019/PTUN.SRG yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Perintah eksekusi itu ditujukan langsung kepada Walikota Tangsel cq.TKPRD. “Tapi apa yang terjadi,” lanjut Susana,
“Pemkot Tangsel tetap tidak mau mengeluarkan IMB. Dengan alasan, tanah tersebut adalah situ berdasarkan selembar data dari “Peta Batavia Residentie Preanger Regentschappen District Kebajoran Desa Rampoa tahun 1928” yang sangat diragukan keabsahan dan keberadaanya. Peta tersebut dibuat berdasarkan hukum zaman Hindia Belanda dan sekarang tak berlaku lagi, karena sejak tanggal 18 Agustus 1945 yang berlaku adalah UUD 1945. “Peta itu mestinya jangan hanya diberlakukan kepada tanah kami. Berlakukan juga dong ke seluruh tanah di seluruh wilayah Tangerang Selatan, ” tegas Nana.
WAN