Kerinduan itu pupus sudah. Dahaga panjang pentas yang sarat enerji. Menginspirasi dan memotivasi bagi peminat seni bunyi. Itu pula yang hadir di Hotel Horison, Bandung, Minggu malam kemarin.
Benny Soebarja yang melegenda. Fariz Rustam Munaf yang bagai napak tilas. Tanpa sekat, keduanya berkolaborasi di pentas yang digagas Sonny Manglayang. Pun kehadiran Crossroad Band yang sukses menembus kelangkaan performa kekinian. Kelompok “the big band” mumpuni. Menjanjikan kelangsungan kreasi di pusaran seni Kota Bandung.
Benny Soebarja masih tampak enerjik di usia senja, 73 tahun. Bersama yuniornya, Fariz RM yang tak sungkan menyebut dirinya “aki-aki”. Padahal baru 63 tahun. Hehe. Benny, rocker lawas berlabel Giant Step Band — bergandeng Fariz — mengumbar pesona pentas “MusicMate”. Pentas keakraban (Art intimate concert) nan hangat.
Dua bintang pentas berpadu dengan pilar Crossroad Band. Berformasi trio gitar Rifky, Dizar dan Fikri — merangkap vokal bareng Taufik (keyboard), Alex (bass), Diandra (drums) dan Praga (biola) — Crossroad Band tak lagi di “simpang jalan”. Tampil penunjuk jalan sukses tampilan Benny Soebarja dan Fariz RM. Sang bintang yang melesat dari Bandung. Menembus pentas nasional dan mancanegara.
Fariz RM berkostum hitam modis membuka gelaran. Menghentak. Jemarinya di atas toots keyboard dalam tempo tinggi. Lagu “Nada Kasih” mengalir dengan vokalnya yang menostalgia. Menyusul, pesonal “Hasrat Cinta”. Fariz bagai menyusur pesona penyanyinya, Andi Meriam Matalatta.
Fariz kembali mengumbar pesona. Menjelajah lewat improvisasi. Gesekan biolanya Praga berbaur hentak bass Alex dan sentuhan duo keyboard Fariz dan Taufik.
Benny Soebarja melanjutnya pesona pentas yang kian hangat. Sebuah lagu “Decisions” membuka tampilan. Nge-rock banget. Meliuk suara gitar di antara vokal yang masih kental. Nomor dari album “Giant on The Move” dirilis Giant Step pada 1976. Sentuhan magis mengingatkan kejayaan grup band, pionir rock progresif dari Bandung.
Berikutnya, suara keyboard meluncur senada flute. Mengantarkan pesona Benny lewat hit “My Life” yang sohor di tahun 1975. Memasuki babak intro, yang meningkat bagai berlari. Spasi melodi Benny yang bagai menyusur masa lalu. Lagi-lagi, gesekan biola mengusik. Tepuk tangan bergemuruh.
Berikutnya, sebuah tampilan orkestrasi. Sebuah lagu bersyair Indonesia menutup sesi pertama. Lirik pembuka, “Roda-roda terus berputar…” — disambut gemuruh tepukan. Lagu bertajuk “Apatis” karya Inggrid Wijanarko. Produk pentas Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors 1978. Popularitas “Apatis” menyeruak, setelah dirilis Benny Soebarja masa itu.
“Ka mana wae?” tanya Jo Project-P sebagai MC, menyela. “Teu payu (ga laku – pen),” jawab Benny yang lebih pada “sindiran” dunia pentas Indonesia. Benny berekspresi “Pulang Kampung Bandung”, bersama Fariz RM.
Giliran tampilan sela Crossroad Band. The Big Band yang mengingatkan inspirasi The Rollies 1970-an, dengan formasi tujuh orang — termasuk vokalis. Lagu “Angin Malam” milik Chrisye — menyambut malam Bandung. Ekspresif di antara “dua insan bercumbu”. Improvisasi nan menjelajah.
Fariz RM naik pentas lagi. Vokalnya bertutur lewat lagu sohor miliknya, “Barcelona”. Sentuhan nada disko, mengingatkan pesona lebih 30 tahun silam. Menyusul “Sakura” yang membahana.
Pentas musik “Pulang Kampung Bandung” berakhir. Duet Benny Soebarja – Fariz RM menutup lewat nomor “Manusia Modern”. Sebuah tampilan “nostalgia” yang mengusung pesan konsistensi dalam kreasi. Benny Soebarja dan Fariz RM konsisten di jalurnya. Itu pula yang membedakan mereka dari kebanyakan keriuhan kreasi musik. Tabik buat Kang Benny Soebarja dan Om Fariz RM. Salut!.***
iW, Bandung.