JABARSATU.COM — Prodi D4 Tata Rias dan Busana FSRD ISBI Bandung melakukan Penelitian ini dilakukan untuk menjawab aspekkeapaan, kemengapaan, kebagaimanaan, dan kemanaan dari bingkai kurasi Sitiwinangun FashionFestival.
Adalah Suharno dan Nadia Rachmaya Ningrum Budiono yang melakukan penelitian tersebut di Sitiwinangun sebuah desa yang kaya potensi untuk dikembangkan menjadi desa wisata berbasis budaya.
Desa ini merupakan sentra kerajinan keramik terbesar di Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Selain keramik, mayarakat desa ini juga sebagai penghasil mainan tradisional serta pengrajin ban bekas yang diolah menjadi perabot rumah tangga seperti kursi, vas bunga dan lain sebagianya.
Kerajinan keramik Sitiwinangun sudah terkenal hingga ke mancanegara, dan potensi pengembanganya sudah menjadi lahan kajian peneliti terdahulu. Riset ini sudah barang tentu untuk meningkatkan kualitas produk kerajinan keramik masyarakat Sitiwinangun sehinggadaya jualnya meningkat. Sementara itu potensi lainnyakurang disentuh oleh peneliti terdahulu.
Terkait dengan hal di atas, penelitian berupaya menawarkan gagasan berupa festival fesyen yang memungkinkan semua potensi yang ada di Sitiwiangundapat tampil dalam satu ruang kreatif yang dapat membangkitkan ekonomi masyarakat Sitiwinangun dan sekitarnya.
Festival fesyen menjadi penting karena setidaknya dua hal. Pertama, dalam event festival memungkinkan berkumpulnya orang untuk menyaksikan beragam acara yang dikemas. Selain itu dalam festival melibatkan segenap unsur masyarakat Sitiwinangun untukmenampilkan hasil kreasinya. Kedua, fesyen sebagaiobjek festival cukup penting karena secara marketing menjadi daya tarik publik mengingat belum pernahdiselenggarakan di Sitiwiangun.
Mengonstruksi bingkai kurasi festival fesyen tersebut menjadi penting karena selain menjadi frame dari Siffest (Sitiwianngun Fashion Festival), juga untuk menghadirkan konsep kurasi festival fesyen yang diharapkan dapat menjadi rujukan mahasiswa maupun praktisi festival fesyen. Hal ini cukup mendasar karena sampai saat ini masih sangat jarang ditemui referensi teori mapun praktik yang bisadijadikan rujukan praktik kurasi festival fesyen.
Siffest adalah perhelatan fesyen yang digagas peniliti dalam rangka membangkitkan ekonomi kreatif masyarakat Sitiwinangun berbasis potensi budaya yang ada di Sitiwinangun. Konsep festival ini dibangun daripilar gagasan isi dan gagasan bentuk penyajian.
Gagasan isi adalah wacana yang ditawarkan dari festival ini, yakni keragaman potensi Desa Sitiwinangun untuk pengembangan bisnis seni budaya dalam payungfesyen. Even ini merupakan perhelatan fesyen yang digagas dalam rangka membangkitkan kembali segenap potensi seni dan budaya di lingkungan Sitiwinagun dan sekitarnya agar dapat hidup dan menghidupi masyarakatnya. Oleh karena itu tema Siffest yang pertama ini adalah Revival (kebangikitan). Melalui temaini diharapkan Siffest menjadi representasi semangatmasyarakat Sitiwiangun dan sekitarnya dalammembangun ekonomi desanya berbasis seni budayayang dimilikinya
Siffest ini selain melibatkan berbagai elemen masyarakat di Sitiwinangun sebagai aktor utamanya, juga penta helix di dunia fesyen, yakni academic (akademisi), business (pebisnis), community (komunias), government (pemerintah), dan media (ABCGM). Akademisi yang dimaksud adalah dosen dan mahasiswa ISBI Bandung. Pembisnisnya adalahusahawan dari Desa Sitiwinagngun dan sekitarnya. Kumunitasnya antara lain adalah Lesbumi Kabupaten Cirebon. Adapun government –nya adalah BupatiKabupaten Cirebon hingga perangkat DesaSitiwinangun.
Gagasan bentuk penyajian adalah gagasan bentuk dari Siffest sendiri, yakni festival yang merayakan potensi Sitiwinangun, yang disajikan dalam beragam bentuk aktivitas kreatif dan “menjual”, seperti fashion show, karnaval feysen, dan pameran seni.
Sebagai sebuah festival fesyen, materi utama festival ini adalah fashion show. Karya utama yang disajikan adalah koleksi dari masyarakat Sitiwinangun sendiriyang materialnya diolah dari lingkungan sekitar. Adapun modelnya juga dari masyarakat Sitiwinangun sendiri.
Pemilihan festival dalam event ini cukup beralasankarena Siffest menghadirkan tiga hal sebagaimanadijelaskan Dewiyanti dkk, yakni sesuatu yang dapat dilihat sebagai atraksi wisata, sesuatu yang dapat dilakukan terkait dengan aktivitas di lokasi wisata; dan ada sesuatu yang dapat dibeli pengunjung.
Ketiga hal di atas kemudian dirumuskan ke dalam rumusan bingkai kurasi, yakni:
Sebagai riset fenomenologi, aplikasi bingkai kurasi di lapangan tentu harus menyesuaikan dengan realitasmasyarakat Sitiwinangun. Bersama perangkat desa, peneliti menawarkan ide gagasan festival denganbungkai kurasi yang telah dibuat. Hasilnya tidak semuagagasan festival fasyen dengan bingkai kurasinyaditerima oleh masyarakat. Hal ini dapat dipahamikarena bagi masyarakat Sitiwinangun festival fesyenadalah sesuatu yaag baru. Referensi mereka tentangkarnaval juga masih bertumpu pada karnaval perayaanhari kemerdekaan Republik Indonesia pada umumnya.
Gambar 1. Salah satu peserta karnaval
Kecuali fashion show, seluruh materi festival belum terkurasi sesuai dengan bingkai kurasi yang dibangun. Hal ini tentu dapat dipahami karena selain baru pertama kali berhubungan dengan proses kurasi, masyarakat Sitiwinangun bukanlah seniman/desainer yang terbiasa dengan proses kurasi ketika akan mengikuti perhelatan seni. Artinya perlu proses bagi mereka untuk memahami urgensi bingkai kurasi dan bagaimana bingkai kurasi tersebut diimpelemtasikan.
Satu-satunya materi festival yang terkurasi dengan baik di Siffest adalah fashion show. Kurasi materi ini dilakukan mulai dari prefactum hingga postfactum. Kurasi prefactum adalah kurasi sebelum karya ada, yakni kurasi di tatararan konseptual hingga karya mewujud. Adapun kurasi postfactum adalah kurasi yang dilakukan setelah karya ada. Kurasi ini dilakukan untukmenentukan kalayakan fashion show serta menentukan struktur dramatik dari keseluruhan look karya.
Kurasi prefactum dilakukan mulai dari penyusunankonsep karya hingga perwujudan karya melalui proses pelatihan dan pendampingan. Desainer yang terlibatadalah lima (5) kawula muda Sitiwinangun. Jumlah inidiperoleh melalui proses seleksi alami, yakni denganmembuka kesempatan secara terbuka dan transparan.
Pelatihan utama kepada talent di ranah desain kostummeliptui cara membaut pula, menggambar desainbusana, aksesoris, dan headpieces. Dalam proses iniyang dilakukan peneliti adalah memberi contoh dan kemudian mereka menirukan namun denganmemasukkan ekspresi mereka sendiri. Hal dinidimaksudkan agar talent mampu membuat desainsendiri pada festival mendatang.
Material yang digunakan untuk membuat kostumadalah memanfaatkan sisa busa hati dari pengrajinmainan anak-anak, ban bekas dari pengrajin ban bekas, dan kerajinan keramik masyarakat Sitiwinangun.
Gambar 2.
Proses pendampingan produksi karya karya
Gambar 3.
Irisan ban bekas sebagai bahan artwear
Seiring dengan proses pelatihan dan pendampingan desain kostum, dilakukan juga pelatihan tata rias fantasi untuk artwear. Tata rias ini penting karena antara artwear dengan tata riasnya harus dalam satu kesatuan yang utuh.
Gambar 4. Proses pelatihan tata rias fantasi
Pelatihan lain yang dilakukan adalah berjalan di atascatwalk. Hal ini penting dilakukan karena model yang mengenakan artwear adalah desainernya sendiri yang tidak lain adalah warga Sitiwinangun. Mereka bukandesainer maupun model professional, sehingga perlupelatihan khusus terkait peragaan busana agar bisatampil maksimal di atas catwalk.
Gambar 5 Pelatihan model
Setelah karya selesai dibuat, proses pelatihan dan pendampingan berikutnya ada di ranah postfactum. Pada tahap ini talent dilatih untuk mengikuti blocking areadan gadi bersih. Kedua hal ini penting dilakukan agar saat pelaksanaan fashion show di hari H tidak terjadikekeliruan yang fatal mengingat fashion show adalahseni pertunjukan yang kompleks. Model harus pahambetul musik dan ruang pentas, sehingga saat pose dan berjalan seirama dengan musik pengiring fashion show.
Gambar 6
Model pose bersama saat fashion show berlangsung
Penyelenggaraan Siffest sudah barang tentu memiliki dampak positif maupun negatif. Apa yang dakatakan Cudny bahwa salah satu dampak negatifnya adalah mempercepat proses komodifikasi budaya, konflik intern komunitas budaya yang ikut serta dalam pergelaran budaya serta konflik antara wisatawan sebagai pengunjung dengan masyarakat lokal, memang terasa dalam Siffest. Konflik kepentingan tidak dapat dihindarkan dalam Siffest walaupun kemudian dalam tataran permukaan bisa dikendalikan, Siffest dirancang dengan perencanaan yang terkonsep sehingga berbagai dampak yang akan terjadi sudah terprediksi sehingga dampak negarif dapat terminimalisir.
Penyelenggaran Siffest memberi manfaat kepasda masyarakat Sitiwinangun Pertama, keuntungan bagi masyarakat Sitiwiangun untuk terlibat dalam usaha wisata guna memperoleh penghasilan, dan bagi wisatawan untuk memperoleh kepuasan. Kedua, Siffest membantu melestarikan aset wisata yang dimiliki Sitiwiangun.
Hal di atas tentu tidak lepas dari pemilihan festival sebagai acuan kegiatan. Hal ini mendasar karenafestival sebagai “public celebration” dan industri pariwisata budaya adalah jenis wisata yang menumbuhkan motivasi orang-orang untuk melakukan perjalanan, terutama karena adanyadaya tarik dari seni budaya suatu tempat atau daerah
Sebagai sebuah festival fesyen pertama di Sitiwinangun yang jauh dari “hiruk-pikuk” dinamikafesyen, penyelenggaraan Siffest yang melibatkanbanyak pihak tentu bukan perkata mudah. Bingkaikurasi yang ditawarkan tidak mudah untuk dipahamibersama karena kepentingan masing-masing. Meskidemikian secara keseluruhan bingkai kurasi yang dibangun sudah mampu mengerakkan masyarakat untukmenawarkan wacana maupun produk berbasis budayaSitiwinangun di ranah industri wisata seni budaya.
Terkait dengan hal di atas, konsep bingkai kurasi di Siffest ini kiranya bisa dijadikan rujukan bagi penggagas festival fesyen berbasis kekayaan budaya lokal. (AND/JBS)