Oleh Imam Wahyudi
Mundur, artinya lepas tanggungjawab. Itu kata Ketum PSSI, Moch. Iriawan. Dia merespons petisi mundur, menyusul Tragedi Kanjuruhan. Tuntutan itu dilakukan beberapa komunitas, sudah mencapai 40 ribu orang.
Tak jelas apa yang dimaksud “artinya lepas tanggungjawab”. Dengan kata lain, Moch. Iriawan ogah mundur. Dari jabatan komandan PSSI. Berkaca data terakhir jumlah korban tewas mencapai 132 orang, pernyataan itu terasa defensif. Pertahanan yang sejatinya goyah. Di balik tragedi yang mengguncang rasa duka mendalam. Bahkan urutan ke-dua dunia, setelah tragedi di Lima, Peru, 1964 yang telan korban 328 orang. Tragedi Kanjuruhan, justru terjadi di era sepakbola modern.
Bukan soal salah atau benar. Pernyataan Ketum PSSI, tentu jadi “Berita dalam Berita” Tuntutan mundur itu lebih pada tanggungjawab moral. Adalah kesadaran nurani dari individu selaku pribadi sebagai pihak yang bertanggungjawab. Sikap ksatria sebagai wujud tata etika. Sebuah sikap tanpa dipinta. Tentu, beda dengan tanggungjawab yuridis.
Karenanya, bahkan tak perlu didahului petisi. Langkah mundur, hendaknya dimaknai sebagai bentuk harmonisasi dalam suatu hubungan sosial. Mundur, hakikatnya bagian dari tanggungjawab itu sendiri. Untuk lebih dihargai.
***
Lugas pernyataan Presiden FIFA, Gianni Infantino — tak lama setelah tragedi kemanusiaan 01 Oktober 2022 itu. “Hari kelam bagi sepakbola dunia dan sebuah tragedi di luar pemahaman”. Frasa “di luar pemahaman” menyiratkan arti mendalam. Seolah mempertanyakan “sesuatu” di balik tragedi. Bisa jadi, terkait tata-kelola sepakbola kita.
Bersamaan itu, tamparan dari dua media Inggris. The Guardian dan The Athletic. Menyoroti otoritas sepakbola Indonesia (PSSI -pen) yang gagal mengatasi masalah tahunan di lingkup suporter. “Otoritas kesulitan menyelesaikan itu semua. Tak terbantu dengan inkompetensi, korupsi dan salah urus,” kata kolomnis, Duerden. (02/10/2022). Sementara itu, lanjutnya — belum ada penetapan siapa paling bertanggungjawab. Soal ini, publik mulai ragu.
“Inkompetensi, korupsi dan salah urus,” rasanya bukan cuma sindiran. Bukan pula sekadar kritik di antara cibiran publik. Industri sepakbola dewasa ini kadung menjadi magnet. Berlomba meraih kursi. Kejaran amunisi yang tak pernah sepi. Tak sulit membayangkan putaran dana. Mulai dari olah kontrak pemain, sponsorship, hak siar TV dan sejumlah lainnya.
Aspek inkompetensi, korupsi dan salah urus — potret kekinian PSSI. Terjebak di zona nyaman dan aman, tak terbayangkan Tragedi Kanjuruhan. Lantas, saling lempar tanggungjawab. Senada pernyataan Menko Polkam, Mahfud MD. Dalam kapasitas ketua Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).
“Semua berlindung di aturan formal masing-masing.” Di antara PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), Panpel dan pemilik hak siar. Kali ini, TGIPF harus ungkap kebenaran. Di balik aksi menghindar dan saling lempar tanggungjawab. Di atas para pihak terkait adalah PSSI sebagai pemegang otoritas. Substansinya jelas, Tragedi Kanjuruhan.***

– Wartawan senior di Bandung.