Oleh Imam Wahyudi *)
TIGA pemain diduga “offside”. Tapi wasit tak meniup peluit. Malah ngobrol bab dinamika sepakbola. Rupanya bertajuk laga “friendly game”. Warna kostum pun beda. Apalagi nomor punggung. Tapi kali ini, mereka satu tim. Berlabel tim koalisi. Cukup populer, cuma baru kali ini menjajal arena tanding. Lapangan becek tersiram hujan.
Karuan, boleh berkostum beda. Kuning, hijau dan biru. Tak seragam. Tentu, nomor punggung pun tak sama. Lantas diduga “offside”. Tak perlu “free kick”. Sejatinya juga belum mengarah “penguasaan bola”. Alih-alih menendang “on target”. Belum. Bukan striker, posisi “middle back”. Mungkin. Cuma itu tadi, ada penonton teriak-teriak. Malah ada yang cuma seorang, memaki wasit. Bahwa itu “offside”. Malah dia bawa kartu kuning sendiri. Diarahkan pemain berkostum biru.
Wasit tak meladeni, karena sejatinya dia bukan wasit. Terlalu jauh, kalau harus ke lembaga arbitrase. Itu kan “friendly game”. Bukan laga resmi. Serupa “refreshing”. Pelipur masa pandemi. Karenanya berlaga, tapi juga berjarak. Patuh prokes. Selebihnya si penonton tadi ngeyel dan ngeyel. Padahal dia juga berkostum biru. Koq, bisa?! Itu dia. Tak butuh waktu lama, penonton lain di tribun pun berteriak: “Sontoloto, kau!!” Rupanya mereka pendukung kostum biru. Marah..! Sebaliknya si penonton tadi, malah mencak-mencak. Keluar arena. Para tukang ojek di luar sana dibuat bengong. Dia tadi seolah tak perduli kostum biru yang juga dipakainya. Mungkin lusuh, belum sempat dicuci. Sebutlah, dalam bahasa di trotoar: Melawan Petugas. Waduh!
***
Perumpamaan di atas sedang berlangsung. Bersamaan wacana penundaan Pemilu Serentak 2024. Pemain berkostum biru itu juga kapten tim. Dikenal bernama ZulHas. Nah, si penonton yang lantang di tribun itu Adib Zain. Dia di tim biru juga, sektor wilayah. ZulHas di Jakarta yang banyak pohon lampu malam hari.
Sektor wilayah, lantas diketahui Jawa Barat — rupanya pengen merangsek ke Betawi. Ada dayatarik monas pula. Berat di ongkos. Cukuplah teriak-teriak di media “news online”. Telanjang pula. Di atas aturan itu, ada etika dan kepatutan. Selintas kayak polisi militer. “Sakarepe” hardik teman sejawat. Celakanya, atasan pula. Perwira tinggi bintang tiga. Mungkin, Adib serasa jenderal “bintang tujuh”. Manjur meredakan pening kepala.
Bukan persoalan berani atau pecundang. Apalagi sekadar pengen sohor, sejatinya tekor. Sang kapten tim cukup bijak. Kabarnya tak sekali pun unjuk marah. Lebih tampak memimpin shalat wajib berjemaah. Sebagai kapten, ZulHas tentu punya kartu kuning dan merah di saku. Apalagi, berikutnya justru Om Adib yang “offside” beneran. Bertindak untuk dan atasnama institusi mirip agen “titipan kilat”. Sekali ngomong, mesti jadi. Celakanya, bebas ongkir.
Kartu “warning” diduga, tak lagi di laga “friendly game” tadi. Sudah bergeser ke luar lapangan. Bisa jadi cukup di bangku cadangan. Cuma, soalnya — apakah Adib akan ditawari kartu yang mana?! Kalau kartu kuning, sangat mungkin ga enak sama pemain yang berkostum kuning. Kalau begitu, stok yang ada — ya kartu merah. Warna kostum tim tetangga. Kali ini, giliran penulis tak kuasa melanjutkan kata-kata. Rokok pun meleleh. Mending diakhiri tulisan ini. ***