Oleh Imam Wahyudi (iW)
Perpres 33 tahun 2020 berulang tahun. Peraturan Presiden yang kian jadi perbincangan di kalangan DPRD. Merata di semua tingkatan, provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Bagai “senasib sepenanggungan”.
Ada apa dengan PP 33/2020 itu? Sebuah aturan yang konon “membelenggu” kaki para wakil rakyat. Sejauh ini, tak muncul ke permukaan. Bisa jadi, dihadapkan dalam posisi dilematis. Cenderung memilih “diam”. Toh, desakan mencabut atau revisi PP 33/2020 itu pernah digulirkan. Lantas “diam” lagi, meski tak surut dibincangkan di banyak lorong.
PP 33/2020 mengatur Standar Harga Satuan Regional. Meliputi honorarium, perjalanan dinas dalam negeri, rapat/pertemuan di dalam/luar kantor, pengadaan kendaraan dinas dan pemeliharaan. Spesifik yang jadi soal adalah bab perjalanan dinas.
Penulis menyimak implikasi aturan tsb seobyektif mungkin. Mencoba bijak, tak melulu mengkritisi dewan. Sebelum pemberlakuan PP 33/2020, biaya perjalanan dinas disesuaikan kemampuan keuangan daerah. Semisal Jawa Barat, termasuk klaster 1 — terkait pendapatan asli daerah (PAD) yang tertuang lewat APBD. Sebagai gambaran, biaya perjalanan mencapai Rp 2 juta per hari. Kali ini menukik tajam, hanya dibolehkan maksimal Rp 400 ribu saja. Sangat jomplang. Tergerus hingga 80%. Gileee..!
Perlu dipertanyakan argumen dan konsideran yang melatari penerbitan PP 33/2020. Pengurangan drastis mencapai 80% tak mencerminkan sebuah kajian yang benar, terukur dan berkeadilan. Bukan lagi “penyesuaian” seperti lazim dinarasikan untuk itu. Lebih mirip “jagal”.
Dalam hal narasi aturan baru itu, kita pantas bersetuju. PP 33/2020 dimaksud memperbaiki sistem kelola keuangan daerah. Khususnya belanja daerah ke arah efisien. Pendeknya, demi efektif dan efisien. Rasanya tak cukup dalam skala pemberlakuan semata. Tak ada kajian memadai dalam konteks implementasi. Itu mestinya menjadi kalkulasi dan atau pertimbangan. Buat apa aturan, berpotensi kandas harapan. Malah berbalik arah tujuan. Keren di judul, tapi memicu oleng di implikasi.
PP 33/2020 yang diundangkan 24 Februari 2020 lewat Lembaran Negara nomor 57, begitu rigid. Mengatur detail Ikhwal biaya perjalanan dinas. Semisal, satuan biaya transportasi (one way) meliputi 363 rute. Tentu, tak kecuali biaya penginapan dan makan minum. Sekali lagi, rigid. Semua berlaku secara “at-cost”. Biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah. Tentu, bagus. Tapi, sekali lagi — implikasi jadi menepi.
Konon, banyak anggota dewan yang terpaksa menarik “rem tangan”. Ogah berpergian atas nama kunjungan kerja (kunker). Alih-alih menjalankan tupoksi, utamanya agregasi. Mengompilasi aspirasi yang berserak. Sudah dua tahun pemberlakuan aturan baru. Tentu, tak diharapkan terjadi pergeseran peran dewan. Sebatas “mitra” berkurang makna. Lantas sekadar “kuda tunggangan” dan “follower”.
PP 33/2020 kadung jadi “tamparan” bagi anggota legislatif. Apa hendak dikata, belum ada sinyal dicabut atau serupa revisi. PP 33/2020 mirip “jalan pintas”, yang nyatanya tidak pas.*
– Penulis, wartawan senior di Bandung.