JABARSATU.COM – Sebuah Diskusi Akhir Tahun dibahas dalam Space Prof Didik J Rachbini dengan “Pendidikan dan Kebudayaan” berlangsung 14 Desember 2021. Menarik isinya dan memberikan harapan dan keuatan makna. Hadir dalam pembicara adalah
Dr. M. Abduhzen, Peneliti Paramadina Institute of Education Reforms, Prof Abdul Hadi WM, Gurubesar Falsafah & Agama Universitas Paramadina, Dr. Fatchiah E Kertamuda, Wakil Rektor Bidang Akademik, Universitas Paramadina.
Prof Abdul Hadi WM memandang bahwa Pendidikan Nasional bisa bergairah kembali jika pendidikan Bahasa kembali diperhatikan. “Bahasa hanya dipakai sebagai sarana komunikasi tetapi tidak digunakan untuk berpikir. Padahal semakin canggih berbahasa maka akan semakin mendukung kecerdasan. Bahasa Jerman telah lama menjadi pedoman Bahasa risalah-risalah ilmiah, sastra dan filosofis bernilai amat tinggi. Jepang setelah Restorasi Meiji memperkuat benteng budaya antara lain dengan memperkuat Bahasa nasional. dengan revolusi Bahasa. Semua wajib mengerti dengan baik berbahasa Jepang. Bahasa seorang guru besar dapat ditangkap dengan baik oleh petani. semua risalah asing diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang. Sementara Bahasa kita saja Nampak kekurangan istilah ilmiah, untuk tidak mengatakan amat kurang,” ungkap Prof Abdul Hadi.
Ia juga menambahkan bahwa kepribadian nasional punya 3 pilar Pertama, Politik nasional menolak campur tangan asing. Kedua, Ekonomi menolak eksploitasi asing terhadap SDA dan SDM nasional, Ketiga, Bidang kebudayaan, harus berkepribadian unggul dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Saat ini terjadi krisis moral parah dan rendahan, dengan terjadinya berbagai peristiwa korupsi, manipulasi yang menghancurkan kehidupan sosial politik nasional. Dibutuhkan kembali kebangkitan akan nilai moral yang berstandar tinggi untuk membenahi iklim kehidupan di berbagai sektor,” jelasnya.
Kita katanya Prof Abdul Hadi lagi karena terlalu lama dijajah kolonialisme, kepribadian manusia Indonesia menjadi hancur. Sebelum abad 20 di Jawa digunakan Bahasa Jawa dan Melayu Arab, namun Belanda menghapus itu semua dan menggunakan Bahasa Latin, sehingga putus dari akar budaya.
“Sebagai perbandingan, kepribadian bangsa yang tetap dipertahankan dipraktikkan oleh bangsa-bangsa penganut Konfusianisme Jepang, korea, china. Konfusianisme diajarkan sejak dari SD. Anak-anak sudah menyatu dengan masyarakat dalam ibadah-ibadah kebaktian, membantu kebersihan rumah ibadah, dan ikut upacara keagamaan, sehingga tidak terasing dari agama yang dianut keluarga. Anak SD di Cina pun sudah diajari bagaimana berkoperasi. Begitupula dengan etos dan seni budaya yang merupakan aspek penting dalam menanggapi aneka corak kehidupan,” bebernya.
Ditambahkannya bahwa kini perlu diperkuat dan dipahami ihwal Kearifan Lokal. Sebenarnya kearifan lokal tertera pada kitab-kitab keagamaan, filsafat, sastra yang sudah jarang dipelajari. Tak heran, generasi muda Jawa tak lagi kenal Ronggowarsito, Mahabarata, begitu juga anak suku lain, kecuali Bali meski hidup dalam lakon tetapi kurang mengenal. Ada juga banyak arsitektur-arsitektur lokal. Karya-karya sastra lama perlu diperkenalkan kembali seperti Tajussalatin, Bustanussalatin, Sastra Jawa, Sunda dan lainnya.
“Kebudayaan dan karya-karya sastra unggul lama tak juga dipelajari, sedangkan pelajaran dari Barat juga tidak tuntas dikuasai. Meski anak-anak kita banyak yang menjuarai lomba internasional matematika dan science, tetapi tidak ada yang kemudian menjadi ilmuwan kelas dunia hingga meraih penghargaan Nobel. Sementara tetangga Asia lain Pakistan punya M. Yunus dan Mahbub Ul Haq sebagai para peraih hadiah Nobel,”ungkap Gurubesar Falsafah & Agama Universitas Paramadina ini.
SEmentara ini Dr. M.Abduhzen mengatakan terdapat kekeliruan cara memandang proses pendidikan karakter di sekolah. Proses pendidikan karakter memang betul untuk membentuk seutuhnya karakter agar menjadi manusia berbudaya. Namun sesungguhnya proses pendidikan yang benar adalah include di dalamnya pembentukan karakter. Tidak dipisah antara pendidikan seni budaya dan pendidikan karakter.
“Selama ini umum menganggap pendidikan karakter hanya berisi pelajaran agama, budi pekerti, PPKN, tapi lupa bahwa karakter sangat dipengaruhi oleh pelajaran matematika, dan ilmu-ilmu scientific seperi biologi, fisika, kimia. Basis pembentukan karakter adalah ketika orang mampu berpikir logis dan rasional karena terbiasa berpikir oleh ilmu-ilmu scientist. Karena itulah dulu ada peribahasa bijak “Pikir itu pelita hati, air beriak tanda tak dalam”,” ujar Dr M Abduhzen, Peneliti Paramadina Institute of Education Reforms.
Dr Abduh juga mengatakan tidak heran, dalam rangking PISA anak-anak didik di Indonesia tidak mampu beranjak dari posisi 6 terbawah dunia, karena memang tidak dibiasakan berpikir (ilmiah), karenanya mereka punya kemampuan science yang lemah. Ketika diberikan soal-soal science maka kemampuan berpikir atau bernalar jeblok karena tidak terlatih berpikir.
“Jika dirunut dari masa lalu, pengaruh sistem pendidikan era kolonial sedikit banyak berpengaruh. Pribumi tidak dipacu menjadi cerdas karena proses berpikir, tetapi hanya untuk lebih patuh dan setia pada nilai-nilai inlandernya. Dan nilai inlander itu yang terus berkembang hingga hari ini. Bangsa kita menjadi bangsa yang tidak punya kepribadian kuat dan malas berpikir,” ungkapnya.
Evaluasi atas problem pendidikan nasional, Pertama, problem pendidikan nasional telah melampaui kapasitas departemental atau diserhkan hanya pada level kementerian, tetapi harus ditangani terpadu sampai pada tingkat negara dan dipimpin langsung oleh kepala negara. Kedua, Siswa didik kita harus dibiasakan mau berpikir dengan proses menggunakan nalar. Kemampuan bernalar sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang berkarakter unggul. Ketiga, Proses belajar mengajar harus menggunakan proses dialogis dengan penggunaan Bahasa yang benar, sebagai media pencerdasan. “Karena itu Membenahi Bahasa berarti sedang Membenahi Cara Berpikir,” jelasnya.
Dalam Forum yang sama Dr. Fatchiah E Kertamuda melihat bahwa Pendidikan merupakan investasi bernilai strategis yang merupakan penanaman modal sumber daya manusia nasional. Perjalanan pendidikan kita masih terus mencari pola dan tak tahu sampai kapan ujungnya.Terlebih dengan munculnya pandemi covid 19 membuat para tenaga pengajar menjadi harus menyesuaikan sistem pengajaran yang tidak mudah.
“Setiap kebudayaan memiliki local wisdom yang bisa dikembangkan menjadi sistem perilaku. Bagaimana setiap orang bisa tumbuh pertama dari lingkungan keluarga yang kondusif. Namun merubah semuanya tentu tidak mudah dan butuh waktu. akhlak mulia tidak mungkin bisa dibentuk dalam satu dua hari. Tetapi butuh proses panjang,”ungkap Dr. Fatchiah E Kertamuda yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik, Universitas Paramadina. (aen/sn-JBS)