OLEH Marwan Batubara, IRESS
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak gugatan uji materi (judicial review, JR) Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB atas Pasal 77 Huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 terhadap Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Uji materi dengan nomor perkara 61/PUU-XVIII/2021 diajukan pada 15 Juli 2020 dan diputuskan MK pada 29 September 2021. Esensi putusan MK: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.
IRESS ikut mendukung dan memberi masukan kepada FSPPB atas JR di atas, terutama karena Pasal 77 huruf c dan d UU No.19/2003 tidak cukup jelas mengatur bahwa anak/cucu perusahaan Pertamina termasuk dalam kategori badan usaha dalam lingkup sebuah BUMN yang dilarang diprivatisasi sesuai konstitusi.
Di sisi lain, rencana privatsiasi anak usaha BUMN telah dinyatakan secara terbuka, baik oleh Menteri BUMN Erick Thohir maupun Dirut Pertamina Nicke Widyawati (12/6/2020). Dengan putusan Perkara No.61/2020 pada 29 September 2021, maka rencana privatisasi atau rencana penjualan anak/cucu usaha BUMN akan berlangsung mulus. Pemerintah Jokowi akan leluasa meliberalisasi sektor menyangkut hajat hidup rakyat tanpa peduli konstitusi.
Privatisasi melalui initial public offering (IPO) anak usaha (sub-holding) BUMN jelas akan merugikan negara, BUMN dan rakyat secara ekonomi, keuangan, sosial, politik, ketahanan dan kemandirian energi. Karena itu, Putusan MK atas Perkara No.61/2020 harus ditolak dan rencana privatisasi subholding BUMN, terutama Pertamina dan PLN harus dihentikan.
Motif di Balik IPO Sub-Holding BUMN
Sebelum membahas argumentasi mengapa kita harus menolak IPO sub-holding BUMN, perlu dikemukakan hal-hal yang menjadi motif di balik kebijakan. Motif utama adalah keinginan para investor, baik asing maupun domestik (baca: oligarki, taipan dan para pemburu rente) untuk mengambil manfaat dan mengeruk untung sebesar-besarnya dari pengelolaan SDA dan sektor strategis publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Motif tersebut dapat ditelusuri ke belakang, saat Indonesia mengalami krisis moneter 1997/1998. Saat itu, guna mendapat “bantuan” keuangan dai IMF dan Bank Dunia (BD), Pemerintah RI antara lain dipaksa melakukan berbagai langkah restrukturisasi kebijakan/UU dan privatisasi sejumlah BUMN strategis. Jika syarat-syarat tidak dipernuhi, maka pinjaman tidak turun. Sebagian pejabat pemerintah berkolaborasi mensukseskan agenda asing tersebut.
Modus “penjajahan” oligarkis ini ternyata masih dilanjutkan pemerintahan Jokowi melalui berbagai kebijakan dan program bernuansa liberal berupa rencana IPO sub-holding BUMN. Sebelumnya, kita telah mencatat “prestasi” liberalisasi kebijakan/UU pemerintahan Jokowi berupa penyerahan aset minerba negara bernilai ribuan triliun Rp kepada pengusaha oligarkis melalui UU Mineba No.3/2020, penetapan UU Cipta Kerja, dll. Karena motifnya berburu rente besar, tak heran yang jadi sasaran adalah sektor-sekor bernilai kapital besar, yakni minerba, migas, kelistrikan, telekomunikasi, pangan, dll.
Penguasaan negara atas SDA dan sektor strategis menyangkut hajat hidup rakyat menurut Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan melalui pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengawasan dan pengelolaan oleh negara melalui DPR dan Pemerintah. Khusus pengelolaan, mandat konstitusi tersebut dijalankan BUMN dengan memperoleh berbagai privilege.
Menurut MK dalam Putusan JR UU Migas (No.36/2012) dan UU Sumber Daya Air (No.85/2013), Pasal 33 UUD 1945 menghendaki penguasaan negara harus berdampak pada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Frasa “dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh sebab itu penguasaan negara melalui pengelolaan SDA dan menyangkut hajat hidup rakyat, harus berdampak pada sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan hal ini diperoleh melalui keuntungan maksimal oleh BUMN.
Amanat penguasaan Pasal 33 UUD 1945 telah diejawantahkan dalam Pasal 77 UU No.19/2003. Ketentuan lain, Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 yang berbunyi: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara.
Gabungan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan ketentuan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya mutlak hanya BUMN. Hak istimewa pengelolaan SDA diberikan negara kepada BUMN hanya karena saham pemerintah di BUMN masih utuh 100%. Jika saham pemerintah di BUMN kurang dari 100%, maka privilege otomatis hilang.
Dengan ketentuan UU/peraturan di atas Pertamina dapat memperoleh hak mengelola Blok Rokan atau Blok Mahakam. Jika kurang dari 100%, jangankan anak usaha atau sub-holding, Pertamina sebagai BUMN induk pun tidak eligible. Jelas, tujuan ketentuan di atas adalah agar manfaat finansial terbesar blok migas terjamin dapat dinikmati rakyat. Jika sebagian saham dijual, maka manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat berkurang. Hal ini jelas melanggar prinsip penguasaan negara seseuai Pasal 33 UUD 1945.
Kementrian BUMN (KBUMN) telah memilah dan mengelompokkan berbagai lini bisnis BUMN ke dalam sejumlah sub-holding. Sub-sub holding dibentuk melalui proses cherry picking, memilih mata rantai bisnis yang menguntungkan (cream de la cream) agar siap di-IPO. Pemilahan terutama ditujukan pada lini bisnis yang sesuai keinginan para investor asing kapitalis-liberal dan oligarki agar mereka dapat meraih untung maksimal, seperti dipaksakan saat Indonesia mengalami kriris ekonomi/moneter 1997/1998.
Privatisasi Subholding BUMN Melawan Akal Sehat: Harus Ditolak
Rencana IPO sub-holding BUMN telah “didukung” MK melalui Putusan No.61/2020 dan “di-endorse” pula oleh sejumlah guru besar. Pihak asing tidak perlu lagi memaksa. Pemerintah telah “bekerja otomatis” sesuai keinginan kapitalis-oligarkis. Rencana Pemerintahan Jokowi ini harus dihentikan karena banyak hal seperti diuraikan berikut. Pertama, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, melanggar prinsip “penguasaan negara” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, terutama karena jika sebagian sahamnya dijual, maka keuntungan BUMN tidak maksimal, tetapi sebagian jatuh kepada investor dan oligarki. Menurut logika akal sehat: penguasaan negara menjadi absurd jika tidak diiringi perolehan untung maksimal!
Kedua, karena profit BUMN turun, maka kemampuan tugas perintisan dan pembangunan daerah pun ikut berkurang. Pada prinsipnya, karena sebagian saham anak-anak usaha BUMN yang profitbale telah dijual, induk holding BUMN hanya tinggal mengelola anak usaha dan lini bisnis yang kurang menguntungkan atau malah yang merugi. Kondisi ini jelas mengurangi kemampuan BUMN untuk melakukan cross subsidy dan pembangunan daerah.
Ketiga, pemisahan berbagai lini bisnis BUMN menjadi subholding merupakan bentuk kebijakan pengelolaan public utilities berdasarkan pola unbundling. Pola ini merupakan modus yang dipakai negara-negara maju/kapitalis guna menjajah dan menghisap ekonomi negara-negara berkembang. Bukannya menangkal penjajahan asing/liberal, pemerintah Indonesia malah aktif mendukung agenda asing tersebut, dan sejumlah oknum-oknum pejabat yang tergabung oligarki kekuasaan ikut pula berburu rente dalam proses privatisasi tersebut.
Keempat, proses unbundling pelayanan public utilities di negara-negara maju/liberal telah berdampak pada naiknya tarif energi. Teori ekonomi dan bisnis telah mengkonfirmasi dampak negatif tersebut. Inggris sebagai pionir pola privatisasi/unbundling saat PM Margareth Tatcher berkuasa, saat ini menjadi negara bertarif listrik tertinggi di Eropa. Tercatat konsumen energi di Jerman, Belanda, Belgia dan New Zealand telah memprotes penerapan pola unbundling akibat tarif tinggi. Jika IPO subholding BUMN pola unbundling dilanjutkan, rakyat Indonesia harus siap mengalami hal yang sama! Namun harap dicatat, di tengah penderitaan konsumen energi, pola unbundling justru memberi keuntungan besar bagi para kapitalis-liberal (di Indonesia: keuntungan termasuk dinikmati anggota oligarki).
Kelima, pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir (12/6/2020) bahwa IPO subholding BUMN bertujuan mencari dana murah adalah manipulasi informasi tendensius. Faktanya Pertamina telah memperoleh kredit dengan tingkat bunga rendah tanpa IPO. Sejak 2011 hingga awal 2021 total obligasi Pertamina sekitar US$ 12,99 miliar dengan tingkat bunga (kupon) 1,4% – 6,5% (weighted average: sekitar 4,60%). Nilai kupon tersebut ternyata lebih rendah dibanding kupon PGN yang telah IPO, yakni 5,125% (US$ 1,35 miliar, 5/2014).
Kupon rata-rata obligasi Pertamina (4,60%) yang tidak go public justru lebih rendah atau hampir sama dengan kupon obligasi sejumlah BUMN go public. Misalnya kupon-kupon obligasi Bank Mandiri 4,7% (US$ 2,4 miliar, 4/2020), BNI 8% (Rp 3 triliun, 11/2017), dan Jasa Marga 8% (US$ 300 juta, 12/2017). Ini menujukkan meski tidak go public, Pertamina mampu memperoleh “dana murah” dengan tingkat kupon lebih rendah disbanding kupon BUMN yang sudah IPO.
Keenam, peringkat utang BUMN malah bisa lebih baik (kupon lebih rendah) jika obligasi dijamin pemerintah. Karena saham negara di Pertamina atau PLN masih 100%, jaminan pemerintah terhadap Pertamina dan PLN otomatis melekat. Dengan jaminan pemerintah, tanpa IPO BUMN justru dapat mengkases dana lebih murah. Bahkan BUMN sering memperoleh hibah atau pijaman bunga 0%, hal yang tidak akan diperoleh oleh BUMN yang sudah go public.
Ketujuh, pernyataan Erick tentang manfaat IPO subholding guna meningkatkan GCG (30/7/2020) tidak sepenuhnya benar dan cenderung manipulatif. Sebagian besar masalah kinerja BUMN justru berasal dari pemerintah, seperti menempatkan tim sukses menjadi pengurus BUMN, menunggak beban subsidi, memaksakan public service obligation (PSO) tanpa kompensasi atau menjadikan BUMN sebagai sapi perah. Cara terbaik memperbaiki GCG BUMN, pemegang privilege konstitusi seperti Pertamina dan PLN, adalah merubah statusnya menjadi non-listed public company (NLPC), terdaftar di BEI tanpa harus menjual saham.
Kedelapan, dengan proses unbundling dan cherry picking, maka keuntungan BUMN akan berkurang dan beralih kepada pemegang saham publik. Penurunan untung ini jelas tidak sesuai dengan target yang dijanjikan dalam prospektus saat BUMN menerbitkan obligasi. Hal ini dapat menyebabkan kredibilitas BUMN menurun dan peringkat utangnya akan memburuk (nilai kupon lebih tinggi). Saat ini menurut Moody’s, S&P dan Fitch peringkat investment grade Pertamina masing-masing pada level baa2, BBB, dan BBB.
Sebagai kesimpulan, memilih mata rantai bisnis BUMN menguntungkan, dikelompokkan dalam sejumlah subholding, lalu sebagian sahamnya dijual kepada asing dan oligarki atas nama “mencari dana murah” dan “meningkatkan GCG”, merupakan modus penghisapan dan penjajahan kapitalis liberal/oligarki yang harus dihentikan. Dana murah, atau bahkan hibah, terbukti dapat diperoleh Pertamina dan PLN tanpa IPO. GCG dapat ditingkatkan dengan menghentikan intervensi pemerintah dan menjadikan BUMN sebagai non-listed public company. Karena itu, rencana IPO subholding yang anti Pancasila, inkonstitusional dan merugikan rakyat tersebut harus segera dihentikan. Kata Erick Thohir: “BUMN bukan Badan Usaha Milik Nenek Moyang lu”. Presiden Jokowi dan Erick Thohir perlu konsisten dan tidak hipokrit dengan pernyataan ini![]
Jakarta, 6 Oktober 2021