by M Rizal Fadillah
Menhan seharusnya segera berkoordinasi dan menginstruksikan untuk dilakukan penyelidikan menyeluruh atas insiden KRI Nanggala 402 yang menewaskan 53 personal di dalamnya. Tidak bisa kasus ini diabaikan dan sekedar ditetapkan sebagai “kecelakaan”. Analisis beragam dan menjadi liar jika tidak segera dibentuk tim penyelidikan. Kini saja telah muncul dugaan dari sabotase hingga kapal selam sengaja ditorpedo.
Menhan segera ambil alih komando aksi, karena hal ini merupakan kompetensinya. Prabowo yang gagah teriak teriak hingga memukul mimbar demi NKRI jangan hanya menjadi kenangan atau tertawaan. Buktikan Menteri Pertahanan itu ada, abaikan dahulu reshuffle, Pilpres atau rebutan jabatan politik lainnya. Malu oleh 53 ksatria yang telah mengorbankan nyawa demi NKRI di Perairan Utara Bali.
Kita setuju dengan usulan anggota Komisi 1 DPR agar segera dilakukan penyelidikan. Soal peningkatan anggaran Kemenhan itu persoalan tindak lanjut. Faktor penyebab terbelahnya menjadi tiga bagian Nanggala 402 masih menjadi misteri. Baru izin untuk menyelam lalu hilang konrak dan keberadaan “sinyal tempur” diungkap KSAL melalui media.
Semestinya Menhan memulai membuat arahan-arahan konstruktif bukan berprinsip “diam itu emas”, ini persoalan serius bangsa.
Pertama, kerugian hilang nyawa para prajurit handal Angkatan Laut, membarengi kerugian materil berapa trilyun harga sebuah Kapal Selam buatan Jerman tersebut. Meski berusia 40 tahun. Biaya maintenance tentu mahal.
Kedua, di samping Nanggala 402 ada Cakra 401 yang jika tak terbongkar penyebabnya bisa menjadi sasaran berikutnya. Negara maritim luas Indonesia dengan jumlah alutista terbatas, berkurangnya sebuah kapal Selam akan berpengaruh terhadap sistem pertahanan laut kita. Bila ada pihak ketiga yang terlibat dapat dilakukan tuntutan ganti rugi.
Ketiga, selama menjabat Menhan Prabowo belum terlihat langkah dan kebijakan heroik bagi bangsa. Membentuk tim pengawal khusus Menhan malah jadi olok-olok publik. Kasus terorisme Papua yang mesti ditumpas seharusnya menjadi momentum penegakkan kedaulatan negara, begitu juga kini dengan penyelidikan tuntas “insiden” KRI Nanggala 402.
Semua ujungnya terpulang pada karakter dari pejuang bangsa dan negara, watak kepahlawanan, serta apa yang menjadi pertimbangan primer apakah jabatan politik atau memang berkhidmat pada kepentingan bangsa dan negara. Rakyat sudah muak dengan profil penjilat dan pengabdi kursi yang hanya memikirkan diri, keluarga, dan partainya sendiri.
Malu lah pada ksatria “eternal patrol” KRI Nanggala 402.
Jika memang masih ada rasa malu itu.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 27 April 2021