Oleh : Imam Wahyudi *)
TRIO tersangka KBB, bakal menyeret pelaku lain. Mungkin. Kuat dugaan melibatkan para anggota dewan. Bisa sebatas lingkaran koalisi. Bisa pula melebar ke lembaga legislatif. Mirip ular tangga.
Program dan alokasi anggaran pada Dinas Sosial KBB itu, harus persetujuan dewan. Spesifik badan anggaran (bangar). Tinggal dilihat daftar anggotanya. Lantas menukik ke personal anggota koalisi. Jadual tamasya ke Jakarta jadi agenda. Diperiksa KPK..!
Siapa tak tergoda barang tanpa nama? Bertumpuk di depan mata. Bayangan berbagi ke tetangga dan warga. Total anggarannya saja Rp 52,1milyar. Cuma itu tuh, guna pencegahan dampak pandemi Corona — tega diembat.
Dinas Sosial KBB bagai tak mau kalah dengan “induk”nya di Jakarta. Kasus di Kementerian Sosial sudah lebih dulu digarap KPK. Alih-alih jadi “peringatan”. Malah ikut-ikutan. Meniti (prestasi) korupsi. Kasusnya sama pula. Ngembat dana bansos pandemi. Payah..!
*
BAGAI bencana tsunami. Kabupaten Bandung Barat (KBB) porak-poranda. Sistem kelola pemerintahan terguncang kencang. Salah siapa? Dosa siapa?
Saya termasuk merasa “berdosa”. Menjadi bagian dari Pansus di DPRD Jabar dalam 2007. Panitia khusus tentang Pembentukan Kab. Bandung Barat (KBB). Meliputi 16 kecamatan. Batujajar, Cihampelas, Cikalongwetan, Cililin, Cipatat, Cipeundeuy, Cipongkor, Cisarua, Gununghalu, Lembang, Ngamprah, Padalarang, Parongpong, Rongga, Saguling dan Sindangkerta. Luas kawasan 1.305,77 km2. Populasi 1.712.348 jiwa. Pusat pemerintahan di Ngamprah.
KBB merupakan pemekaran wilayah dari induknya, Kabupaten Bandung. Sebelumnya Kota Cimahi sudah lebih dulu mandiri pada 29 Januari 1976. Saya dkk pernah mengingatkan hal-ikhwal kelahiran KBB. Hendaknya orientasi pada peningkatan layanan warga. Pada gilirannya pemerataan kesejahteraan.
Saat Komite Pembentukan KBB beraudiensi, banyak hal dibahas. Dipimpin ketua komite, Endang Anwar — kami mengingatkan soal batu sandungan. Pemekaran semata distribusi kekuasaan. Di ujungnya penyalahgunaan wewenang dan koruptif. Hal “early warning” yang kerap dilandaikan. Bak jebakan euforia.
Proses lancarjaya dan gol. Selepas persetujuan DPRD Kab. Bandung, DPRD Jabar hingga DPR RI dan Mendagri. Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan mengutus Tjatja Kuswara menjadi Pjs KBB hingga 17 Juli 2008. Bersamaan pelantikan Abubakar dan Ernawan Natasaputra sebagai Bupati dan Wakil Bupati perdana. Itu hasil pilkada 2008 untuk masa bakti lima tahun mendatang. Bantuan dana pendampingan wilayah baru diberikan. Senilai Rp 10 milyar dari Pemprov Jabar. Malah ada tawaran “cash back”. Beruntung ditolak.
Andai Endang Anwar masih hidup. Melihat KBB terpuruk, pasti bakal tumpah amarah. Tak cukup bercucur air mata. Dua periode jabatan Abubakar (2008-2013 dan 2013-2018) terkesan mulus. Lancar, aman, terhindar berita korupsi. Abubakar tak tahan godaan dan tuntutan. Dia mengutip dana dari sejumlah dinas. Hendak membantu logistik sang istri, Elin Suharliah yang nyalon Pilkada 2018.
Abubakar tak bisa menghindar. KPK sigap. Operasi tangkap tangan (OTT) menemukan barang bukti senilai Rp 435 juta. Abubakar terkapar. Sang istri kalah pilkada. Membuka jalan bagi Aa Umbara. Abubakar mengakhiri jabatan bupati dengan dakwaan korupsi. Dalam status bui, beliau mati.
*
KABAR Aa Umbara jadi tersangka, memicu trauma warga. Lantaran bupati sebelumnya berakhir di penjara. Di akhir jabatan bupati. Kali ini, bahkan trio tersangka. Bapak dan anaknya, serta seorang swasta.
Saat pandemi bergulir dan berkelanjutan, banyak pihak bicara. Khawatir memicu geliat korupsi di masa bencana pandemi. Seputar distribusi bansos. Kala surut ekonomi. Saat daya beli menukik. Utamanya warga miskin. Karuan, muncul wacana hukuman mati.
Trio KBB kadung tersangka korupsi. Praduga tak bersalah, tentu. Kelak, apa pun vonis hakim — bukan hukuman mati.*
*) penulis, wartawan senior di Bandung.