Oleh Imam Wahyudi*)
Siapa menabur angin akan menuai badai. Itu hukum alam yang dipahami sebagai norma dan konsekuensi.
Adakah korelasi dengan “tertunda”nya hasil Pilkada Kab. Bandung 2020? Tentu, adanya. Faktualnya, Mahkamah Konstitusi (MK) masih beracara ikhwal itu. Pengambilan keputusan PHPU itu pun butuh waktu. Melewati jadual sestijab bupati 17 Februari 2021. Dua hal berbeda. MK perlu telaah secara komprehensif.
Dalam konteks hukum acara, maka Pilkada Kab. Bandung 2020 harus diposisikan masih berproses. Belum rampung. Belum ada keputusan apa pun tentang itu. Meski pemungutan suara dan hasil penghitungan suara sudah dilakukan, semua kandidat masih dalam posisi setara — sebagai paslon. Unik dan menarik.
Hukum acara adalah prosedur aturan yang mengikat dan mengatur tata cara dijalankannya sebuah persidangan. Demi menjamin adanya proses yang semestinya dalam menegakkan hukum.
***
Bab PHPU atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, apa gerangan yang terjadi. Hal spesifik nyaris tak muncul ke permukaan. Pilkada Kab. Bandung tempo hari, relatif berlangsung kondusif.
Bagai kilas balik ke sesi “debat publik”. Tradisi dalam kontestasi. Ini ranah dan tanggungjawab KPU sebagai penyelenggara. Tercium aroma tak sedap dalam menu “visi dan misi” paslon. Sepenuhnya, materi harus bersifat kualitatif. Tak boleh kuantitatif.
Tujuan hakiki “visi-misi” bernilai edukasi. Membangun cita dan harapan warga dalam semangat mencerahkan. Sifat kuantitatif dimaksud antara lain menuliskan angka setara nilai uang. Dengan kata lain, dapat dimaknai sebagai money politic. Selanjutnya diklasifikasikan sebagai dugaan pelanggaran terhadap Undang-undang Pilkada 2020. Bila terbukti, bakal berkonsekuensi. Selebihnya sanksi pidana.
Kita simak pasal 184 aturan dimaksud. Bahwa “_Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dan menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon walikota dan calon wakil walikota — dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan denda paling sedikit Rp 36 juta dan paling banyak Rp 72 juta._”
Selanjutnya pasal 187A ayat (1) tentang ketentuan pidana politik. Bahwa: setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Khalayak cukup maklum ikhwal tulisan sederhana di atas. Sekadar “obrolan warkop” yang moga mencerahkan.***
*) Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat.