OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
1 dari 20 kematian di dunia diakibatkan oleh alkohol, begitu hasil riset WHO. Eropa menempati urutan pertama, lalu disusul Amerika.
Alkohol punya dampak negatif yang cukup besar. Mulai dari dampak kesehatan, kecelakaan sampai terciptanya tindak kekerasan dan konflik akibat mabuk alkohol.
Sangat beralasan jika semua agama kemudian melarangnya. Dan faktanya, Indonesia adalah negara yang semua penduduknya merupakan penganut agama.
Kira-kira proposisi dasarnya begini: Semua agama melarang konsumsi Miras. Semua penduduk Indonesia adalah pemeluk agama. Maka miras “idealnya” tidak beredar dan dikonsumsi di Indonesia.
Wajar jika Perpres No 10 Tahun 2021 tentang investasi terbuka miras diprotes rakyat. Diantaranya MUI, NU, Muhammadiyah, masyarakat Papua dan masyarakat Sulawesi Utara. Mereka menolak dengan tegas Perpres No 10 Tahun 2021 tersebut.
Bisa dipahami bahwa negara sudah satu tahun menghadapi pandemi. Pandemi berakibat resesi ekonomi. Hidup rakyat terasa semakin lama semakin sulit. Pertumbuhan ekonomi terus minus, dan peredaran uang di masyarakat makin sedikit dan tersendat. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah sedang berpikir keras bagaimana melakukan terobosan-terobosan strategis untuk menormalkan kembali ekonomi.
Miras dianggap salah satu bisnis yang seksi. Pertama, pasarnya luas. Ini akan cepat dan pesat berkembang. Sekali tenggak, kecanduan. Lalu, menularkan kepada yang lain. Kedua, karena potensi pasarnya bagus, ini sangat menarik bagi investor. Baik investor lokal maupun asing.
Dari sisi bisnis dan investasi, miras punya daya tarik dan sangat menggoda. Dalam bisnis dan investasi, keuntungan semata-mata menjadi pertimbangan prioritas. Melalui Perpres No 10 Tahun 2021 ini, pemerintah nampak tergoda untuk menarik para investor dari bisnis miras ini.
Disini, ada logika dan orientasi yang berbeda, bahkan berseberangan antara pemerintah dengan rakyat. Pemerintah berorientasi menarik investor. Dengan masuknya para investor, roda ekonomi bisa bergerak.
Disisi lain, rakyat lebih berpikir pada dampak yang diakibatkan oleh Miras. Mulai dari kesehatan, kematian, hingga hangusnya iman.
Meski hanya terbuka investasinya di empat wilayah (Bali, NTT, Sulut dan Papua), namun dampaknya akan dirasakan secara nasional. Pertama, karena Miras adalah bisnis yang memabokkan logika keuntungan, maka akan secara cepat beredar ke seluruh wilayah Indonesia. Kedua, jika sudah beredar secara terbuka, maka kedepan Miras sangat mungkin akan menjadi bagian dari hidup sehari-hari rakyat Indonesia. Dan pada saat itu, miras tak lagi menyentuh sensitivitas masyarakat Indonesia yang notabene adalah para pemeluk agama.
Pemerintah, dalam hal ini presiden, diharapkan bisa mempertimbangkan kembali Perpres tersebut. Masih banyak cara lain untuk menarik investasi dan mendorong roda ekonomi bergerak. Tanpa harus mengambil risiko kesehatan, bahkan nyawa rakyat.
Jakarta, 2 Maret 2021