OLEH HENDRAJIT
Kadang saya suka heran kenapa ring satu istana ngebet banget supaya big bosnya bisa dua periode. Takut miskin? Nggak juga. Mereka toh sebelum merapat ke pusat kekuasaan punya profesi, punya keahlian dan punya kehidupan ekonomii yang lumayan mapan. Meski tidak kaya raya.
Mereka ini takut kalau tiba-tiba merasa bukan siapa-siapa lagi. Sontak sadar nggak punya kuasa dan wewenang apa-apa. Dan lebih ngeri lagi. Kehilangan reputasi dan kredibilitas.
Beberapa dari mereka dulu adalah para aktivis anti rejim Suharto yang saya kenal baik secara pribadi. Beberapa dulu sering kudengar keluh kesahnya seperti “masa sih mereka terus yang berkuasa, satu saat kitalah yang harus berkuasa.”
Sebetulnya sebagai orang politik pergerakan sah-sah aja omongan seperti itu. Sayangnya itu cuma dendam politik tanpa dituntun cita-cita politik. Alhasil terbentuk di alam bawah sadar kekuasaan adalah tujuan dan hsĺ milik. Bukan sarana dan alat.
Mengapa bisa gitu? Sebab mereka memandang aktivis merupakan sebuah kasta dan profesi. Bukan memandang dirinya sebagai warga masyarakat yang bergiat di bidang sosial ekonomi dan sosial budaya serta sosial politik. Sesuai talenta bakat khusus masing-masing.
Begitulah. Sebagai aktivis yang memandang dirinya sebagai kasta tersendiri dan profesi, dengan sendirinya sarat kepentingan dan ambisi kekuasaan.
Begitu berkuasa yang ada di benak adalah menguasai proyek-proyek strategis di segala bidang. Tanpa tuntunan skema dan strategi.
Alhasil, kekuasaan mengubah kepribadian para aktornya. Mengubah karakter para pemainnya. Sehingga politik sebagai game jadi tidak bermutu. Teater hanya berisi para pemain figuran dan sutradara. Tak ada aktor dan tak ada skenario yang menjembatani para aktor dan sutradara.
Indonesia Pasca Jokowi harus menghentikan model teater tanpa aktor macam itu.
Wekasan Walllahualam.
*)Pengamat politik Global Future Institute (GFI)