JABARSATU.COM – Peristiwa pameran di Balai Budaya Jakarta pada akhir tahun 2020 ditutup oleh Tiga Pelukis Bandung dalam Pameran yang bertajuk Eternal. Mereka adalah tiga orang pelukis dari kota Bandung; Andi Sopiandi, Supriatna dan Tondi Hasibuan.
Pameran Lukisan Eternal ini dipercayakan kepada dua orang untuk kurator Aisul Yanto (Jakarta) dan Geronimo Cristobal (New York). Ketiga pelukis punya latar belakang berbeda. Pameran Lukisan ini digelar di “Balai Budaya Jakarta” Jalan Gereja Theresia no.47 Menteng-Jakarta pada 20- 30 Desember 2020. Pembukaan pameran dibuka dari kesultanan yang tergabung dalam keraton Nusantara pada 20 Desember 2020 sore.
Suasana sore itu hangat di pembukaan. Dimasa pandemi memang pameran cukup langka. Dan pameran sore itu mengikuti standar protocol kesehatan sesuai petunjuk gugu tugas covid 19.
Dalam karya-karyanya ketiga seniman ini memiliki perbedaan kreatifitas. Andi yang seorang otodidak yang sempurna dan melukis dengan penuh ketelatenan sehingga karya mampu menjelam dalam naturalis yang dalam. Gaya gaya ungkap visual Andi mengingatkan kita pada pelukis Wahdi Sumanta pelukis naturalius dari kelompok Lima (Affandi, Hendra, Barli, Wahdi dan Sudarso) kedalaman lukisan Andi yang suka akan mendaki gunung terasa menorehkan gambarnya alami.
“Lukisan Andi banyak merekam keindahan alam/ lanskap dengan rasa warna- warna yang segar, sebagai endapan alam bawah sadarnya yang menyimpan kenangan sebagai seorang pecinta alam. Bahasa rupa pada karya-karyanya yang mengambil tema lanskap, dikerjakan dengan teknik yang sangat halus dengan dominasi warna-warna teduh hijau/ biru, sedikit transparan mengingatkan akan kerja pelukis Wahdi dengan lanskap-lanskapnya dengan teknis yang lebih transparan lagi,”kata Aisul Yanto dalam paparan pembukaannya.
Beda dengan Supriatna. Ia mengolah sosok perempuan. Sosok ini dekat dengan dirinya, namun ia garap dalam bingkai kehidupan dari seorang penari. Penari yang diolah dari kisah Nyi Ronggeng. Supri mengolah jiwa karya yang dekat dengan dia. Dia ada di lingkngan ISBI yang ada juga sendtuhan jiwa-jiwa para penari setiap harinya. Selain pengakuannya bahwa dia sering sekali melihat para penari berlatih dan pentas dan dia juga bersyukur orang dekatnya perempuan ibu dan istrinya. “Rasa artistiknya tak lepas dari rasa artistik almamaternya, artinya ada pengaruh dari para maestro dan profesor yang ada institusi dimana ia menimba ilmu seni rupa. Ia telah menemukan jalurnya sendiri dalam berkesenian dan menemukan kepribadianya. Bagi dirinya sosok perempuan adalah sesuatu yang tidak saja indah tetapi juga memiliki nilai yang sakral sebagai bentuk keterhubungan dengan keIlahian,”tulis Aisul Yanto dalam pengantar pameran.
Beda dengan Tondi Hasibuan karya pesan yang dalam dalam lingkaran keraton. Kisah peristiwa stori dan histori baik yang ada di negeri ini maupun yang ada di berbagai negeri lain, ia mendapatkan pendidikan seni di Australia dan Inggris, latar belakang inilah salah satu yang mendorong bahasa rupa yang ia tampilkan dekat dengan pengaruh dari berbagai pencapaian yang ada di khasanah seni rupa modern di belahan dunia barat oleh para tokoh Cubism, tetapi karyanya tetap berasa sangat Asia, alias Nusantara. “Lihat salah satu karyanya yg mengambil tema tentang sejarah Raja Brawijaya beserta penasehatnya, sang Semar yang sebenarnya adalah pelukisan dari situasi dan kondisi yang ada. Warnanya berasa warna tropis dengan warna merah, kuning, jingga, coklat tanah menyimbolkan sebuah kehangatan, bahasa rupa yang ia tampilkan di dalam nafas kubis,” jelas kurator pameran Aisul Yanto dalam pengantar lukisannya.
Penggambaran deformasi wajah, tubuh dan anggota tubuh di setiap lukisannya saling berkelindan mencipta ruang kedalaman. tergambar penyederhanaan/stilisasi dari bentuk daun.
Dari pameran yang tersaji maka jam terbang mereka bertiga berbda namun mencoba menguak sisi lain dari sajian pameran Eternal. Pameran Lukisan Eternal menjadikan pameran akhir tahun 2020 ini juga menutup peristiwa penting budaya di Balai Budaya Jakarta dalam dunia seni rupa Indonesia. Dan sore itu dihadiri sejumlah seniman antara lain Taufan S Chandranegara (perupa dan creative director Panggung) Ray Bachtiar (Fotografer) juga para tokon dari kesultanan Cirebon, Aceh dan Riau, dll yang terlihat mengapresiasi karya-karya ketiganya. Selamat!!! (KAR/JBS)