JABARSATU.COM – Dian Lentera Budaya menyelenggarakan Pameran Tunggal Tisna Sanjaya 20 Desember 2020 – 21 Januari 2021 di Gedung Eks Bioskop Dian, Jalan Dalem Kaum no. 58, Alun-alun, Bandung.
Seniman Tisna Sanjaya melakukan performance art dan pameran karyanya sejak, Sabtu (19/12/2020). Pandemi memberikan waktu dan ruang jeda untuk melakukan refleksi. Kita menunda berbagai rutinitas yang selama ini menyergap kehidupan sehari-hari. Ancaman kematian telah mengalihkan perhatian kita pada hal-hal yang mendasar dalam kehidupan, seperti kebersihan dan kesehatan. Masa pandemi mendorong kita memperhatikan kembali hal-hal terdekat di sekitar kita yang selama ini hancur dan rusak, namun tersembunyi atau terabaikan begitu saja.
Tisna Sanjaya memulai proyek Dian Lentera Budaya dari refleksinya tentang pandemi. Akan tetapi, baginya, pandemi bukan sekadar soal virus COVID-19 yang mengancam keselamatan jiwa. Ada banyak “pageblug” lain yang selama ini juga telah lama menghuni pikiran manusia, namun kita tidak menyadarinya. Kehidupan modern telah menjadikan manusia bagai mesin yang terus-menerus bekerja mendorong roda ekonomi, namun tanpa mengindahkan dampak- dampak buruknya pada lingkungan sekitar. Kita juga lupa pada sejarah karena dibutakan oleh imajinasi tentang masa depan. Sikap-sikap abai itu, bagi Tisna, adalah pageblug yang sesungguhnya.
Bagi Tisna, sudah terlalu lama kita hidup dengan pandemi budaya yang menggerogoti tata-nilai dan rasa kemanusiaan kita. Ia menemukan bukti nyata pandemi itu pada persoalan degradasi lingkungan di Indonesia, pada sungai dan lahan yang tercemar oleh limbah industri, pada pohon-pohon dan hutan yang selalu terancam oleh pembangunan kota, pada punahnya situs-situs yang menjadi simbol kearifan alam, dsb. Sudah berpuluh tahun lamanya Tisna mendedikasikan keseniannya untuk membangkitkan pemahaman dan kesadaran khalayak tentang pentingnya menjaga lingkungan demi kelangsungan bumi di masa depan.
Hampir setahun lamanya, Tisna mencurahkan perhatiannya pada keberadaan bekas gedung Bioskop Dian di kawasan Alun-alun Bandung yang bertahun-tahun terbengkalai dan rusak.
Gedung yang berusia hampir 100 tahun ini belokasi di pusat kota dan menjadi bagian dari
infrastruktur budaya modern yang penting pada masa kolonial. Awalnya, gedung ini difungsikan sebagai sebuah bioskop bernama Radio City, yang kemudian berganti nama menjadi Dian pada masa kemerdekaan. Tumbuhnya infrastruktur bioskop yang lebih modern pada 1990-an menyebabkan Dian perlahan-lahan bangkrut. Setelah mengalami sejumlah peralihan fungsi komersial, bangunan ini dibiarkan kosong dan tidak terawat. Padahal gedung ini adalah bagian dari bangunan cagar budaya golongan A di kota Bandung yang harus dilindungi dan dirawat.
Untuk mewujudkan Dian Lentera Budaya, Tisna menjadikan setiap fase persiapan teknis sebagai proses yang tidak terpisahkan dengan keseniannya. Memorinya sebagai salah seorang warga Bandung yang menyaksikan berbagai perubahan di kawasan alun-alun Bandung adalah pijakan konseptual yang penting. Ia merancang suatu ‘intervensi’, kalau bukan okupasi, atas bekas gedung bioskop ini melalui sebuah proyek artistik. Melalui proyek ini, ia tidak sedang meromantisasi ingatan-ingatan personalnya belaka, tapi menjadikan gedung Dian sebagai jalan masuk bagi khalayak luas agar dapat memproyeksikan imajinasi bersama tentang kota Bandung yang lebih baik di masa depan.
Intervensi Tisna tidak terbatas pada sekadar memajang karya-karya layaknya sebuah pameran. Lukisan-lukisan yang tampil dalam pameran tunggalnya kali ini memang merefleksikan perhatiannya terhadap persoalan-persoalan kerusakan lingkungan. Akan tetapi, sesungguhnya lebih penting untuk melihat Dian Lentera Budaya ini secara menyeluruh sebagai sebuah ‘karya’ atau proyek tersendiri yang mengusung isu lingkungan. Negosiasi Tisna dengan pihak-pihak pengelola gedung, dialognya dengan warga sekitar, konsultasinya dengan para sejarawan dan pemerhati cagar budaya dan prosesnya bekerja bersama dengan warga untuk membersihkan sampah dan kotoran di dalam gedung adalah bagian penting dari eksplorasi artistiknya.
Bagian terpenting dalam Dian Lentera Budaya adalah sebuah instalasi dan karya performans di mana Tisna mencuci bagian-bagian dinding yang kotor di lokasi itu. Bukan kebetulan, dalam banyak karya Tisna sebelumnya, ritual membersihkan, mencuci atau ‘meruwat’ orang-orang maupun benda-benda memang sering muncul sebagai gestur artistik, sekaligus ekstensi dari doa dan harapan.
Proyek ini, sekali lagi, memperlihatkan konsistensi Tisna dalam mendorong kesenian sebagai praktik yang berdaya bagi perubahan. (LAPORAN DAN FOTO: BUDI YANTO/JBS)