by M Rizal Fadillah
Ketika tuntutan pembentukan Tim Pencari Fakta Independen “penembakan 6 anggota Laskar FPI” dari berbagai elemen masyarakat tidak mendapat sambutan dari Pemerintah, bahkan tegas Presiden menolak, maka awal harapan ada pada Komisi III untuk membentuk tim. Akan tetapi sebagai lembaga politik dengan ragam muatan politik di dalamnya tentu skeptis untuk mampu melakukan tugas penyelidikan secara komprehensif, cepat dan akurat.
Komnas HAM sementara ini menjadi tumpuan masyarakat. Presiden pun menolak pembentukan TPF independen dengan alasan adanya Komnas HAM. Komnas HAM pun telah bergerak melalui Tim Pemantauan dan Penyelidikan. Berbagai pihak telah diminta keterangan mulai dari keluarga, FPI, hingga Jasa Marga dan Kapolda Metro Jaya. Menolak undangan rekonstruksi Polisi karena lebih dulu telah melakukan investigasi lapangan.
Antara rilis awal Kapolda Metro yang didampingi Pangdam Jaya dengan keterangan lanjutan dan rekonstruksi terdapat perbedaan. Menambah kuat dugaan masyarakat bahwa ada “rekayasa” kasus. Keterangan awal bahwa keenam anggota Laskar FPI itu tewas dalam tembak menembak di Km 50 berubah menjadi 2 tewas di Km 50 dan 4 lainnya ditembak di mobil. Dengan sejumlah kejanggalan tentunya.
Sementara beredar juga kondisi keenam Jenazah yang dilansir ke publik pasca dimandikan keluarga antara lain semuanya ditembak lebih dari dua tembakan, mengarah ke jantung, ada bekas luka lebam, gosong, hingga kulit mengelupas, punggung pantat melepuh dan kemaluan yang bengkak. Artinya di samping penembakan juga ada penyiksaan. Aparat yang melakukan terindikasi melanggar HAM berat.
Masyarakat berharap Komnas HAM dapat menunaikan tugas dengan baik, obyektif dan tidak terpengaruh oleh faktor tekanan. Selalu berpijak pada rekomendasi hati nurani dalam menyelidiki dan mengungkap fakta.
Pelaku penembakan segera umumkan kepada publik, karena ini adalah fakta awal. Tidak mungkin terjadi pembunuhan tanpa ada pembunuh. Penembak tidak boleh disembunyikan. Bahwa bersalah atau tidak itu urusan lain.
Jasa Marga sudah dipanggil dan memberi keterangan. Soal CCTV menimbulkan tanda tanya dari keterangan awal rusak, tidak rusak, hingga Kepolisian yang menyatakan memiliki data CCTV. Moga terlihat pelaku penembakan. Demikian Kapolda Metro Jaya yang diminta keterangan oleh Komnas HAM selayaknya telah menyampaikan data pelaku penembakan di Km 50 maupun “di mobil”.
Jika Komnas HAM memerlukan waktu tertentu untuk penuntasan atau rekomendasi, maka masyarakat ingin mengetahui cepat perkembangan fakta yang terungkap. Persoalan tewasnya 6 anggota Laskar FPI telah menjadi kasus serius dan prioritas. Skandal yang harus dibuka. Bangsa dan dunia memelototi.
Fakta yang mudah didapat adalah pelaku penembakan. Mabes Polri yang menugaskan Propam untuk bekerja tentu fokus pada pelaku dan pemberi instruksi. Artinya sampai pada penanggungjawab. Tidak lepas kemungkinan juga Kapolda Metro Jaya.
Fakta mudah yang kini dituntut oleh publik saat ini adalah siapa pelaku penembakan yang menewaskan itu, anggota polisi “profesional” atau “amatir” atau ada keterlibatan fihak lain ? Semua mudah untuk diungkap lebih dini.
Meski peristiwa terjadi di malam gelap namun ada sinar yang dapat melihat. Rakyat percaya kasus ini tidak akan menjadi bagian dari “X-Files”. Akan nyata mana kebenaran dan keadilan manapula kebohongan dan kezaliman.
Mulailah dari mempublikasikan pelaku “penembak gelap” yang tidak mungkin untuk disembunyikan itu.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 16 Desember 2020