JABARSATU.COM – INILAH kisah perjuangan petani kopi di tanah priangan dalam upaya membantu kesejahteraan para petani kopi di Bandung Selatan, khususnya wilayah Gunung Puntang-Haruman. Adalah Alif Rosiman (42) sosok yang patut diacungi jempol. Alif berangkat dari titik nol, berjuang keras membangun usaha bernama Bumi Priangan (Bupri) Kopi dan sudah sejak satu dekade lalu ia jalani dengan penuh dedikasi.
Pada awalnya Alif mengaku tak memiliki pengetahuan sedikit pun mengenai kopi, apalagi terpikir hingga menekuni bidang pengolahan pasca panen atau prosesor. Semua bermula ketika lahan carik desa yang ditanami palawija oleh orang tuanya diharuskan beralih kepada tanaman keras, salah satunya kopi.
“Jadi kalau tidak ditanami kopi nantinya bakal dicabut garapannya. Pemerintah membujuk masyarakat supaya mau menanam kopi. Sewa lahan desa juga digratiskan asal mau menanam kopi,” kisah Alif pada siang itu di rumahnya.
Alhasil, pada tahun 2003 para petani palawija di sekitar tempat tinggal Alif di Desa Cigoong Kecamatan Cimaung berbondong-bondong membudidayakan kopi yang bibitnya didistribusikan langsung oleh Pemerintah Kabupaten Bandung. Tiga tahun pertama para petani masih bisa membuat tumpang sari dengan palawija, namun seiring waktu sistem tumpang sari tak lagi dapat diterapkan.
Di sinilah mulai timbul permasalahan lantaran para petani praktis hanya menggantungkan pendapatan dari panen buah kopi. Di sisi lain harga jual buah kopi saat itu sangat merugikan petani.
“Harganya cuma dua ribu rupiah per kilogram, itu juga belum dipotong dua ratus rupiah oleh koperasi. Otomatis petani mengeluh,” bebernya.
Alif yang kala itu masih berprofesi sebagai tukang ojek pun dimintai bantuan untuk membantu menjual hasil panen buah kopi. Ia sempat sungkan karena merasa tak punya ketertarikan di bidang pertanian. Didorong rasa prihatin melihat kondisi orang tuanya sebagai petani kopi ia lantas mencoba mendatangkan penampung kopi dari Pangalengan.
Kisaran harga yang ditawarkan penampung dari Pangalengan masih lebih baik dengan membayar 2500-3000 rupiah per kilogram. Panen tahun-tahun berikutnya harga buah kopi (red cherry) kian meningkat hingga tiga kali lipat.
DIBAYAR CEK KOSONG
Setelah empat tahun hanya membantu menjualkan hasil panen milik orang tuanya, pada tahun 2010 Alif mulai mempelajari pengolahan buah kopi secara otodidak. Anjloknya harga gelondongan memaksa dirinya berpikir bagaimana cara meningkatkan harga jual kopi dari petani.
Kondisi yang dihadapi Alif tidaklah mudah. Selain belum memiliki bekal keahlian mengolah buah kopi yang memadai, ia juga tak memiliki modal finansial. Niat Alif ketika itu hanya satu, menyelamatkan hasil panen para petani.
“Waktu itu saya baru belajar mengolah menjadi gabah saja. Rumah sampai penuh dengan gabah kopi. Sulit sekali mencari gudang yang mau membeli, kalau pun ada yang mau menampung tidak dibayar kontan,” imbuh pria yang sangat ramah ini.
Merasa kasihan dengan para petani yang terus-menerus menanyakan uang penjualan panen, ia kemudian mendatangi salah satu gudang di Pangalengan untuk menagih pembayaran. Selama dua hari dua malam dalam kondisi lapar dan tak punya uang ia bersabar menunggu di gudang tersebut. Penantiannya tak berbuah hasil karena uang yang dijanjikan tak kunjung diberikan.
Beberapa hari kemudian ia mendapat pembayaran yang ditunggu-tunggu. Tetapi bukan uang yang didapat Alif, pihak gudang justru membayarnya dengan cherry kopi dari perkebunan Pangalengan. Biarlah daripada tak dibayar sama sekali batinnya.
Cherry kopi tersebut kemudian ia bawa pulang untuk diolah kembali menjadi gabah. Gabah itu lalu ditawar lagi oleh seorang pembeli dengan harga lebih tinggi empat ribu rupiah dari harga pasar. Alif pun diberikan cek atas transaksi tersebut. Naas, begitu akan dicairkan cek itu ternyata kosong.
“Ada 1 ton, nilainya sekian puluh juta. Selama satu bulan saya jalan serasa melayang. Apalagi itu uang petani,” kenangnya.
Di tengah kegalauan yang menyelimuti, Alif didatangi rekan petani asal Pangalengan untuk menangkap orang yang menipunya. Keduanya kemudian menyusun siasat. Singkat cerita si penipu akhirnya tertangkap dan mau membayar uang meski nominal yang diterima Alif tak sesuai perjanjian awal.
“Hilang beberapa juta tidak apa-apa yang penting uang petani terselamatkan,” cetusnya.
Menawarkan Kopi Herbal dari Kampung ke Kampung
Tahun 2015 Alif memberanikan diri memproduksi kopi bubuk. Tujuannya tak jauh dari kepedulian Alif terhadap petani. Pasalnya, sering ia jumpai petani yang hanya menjual biji kopi mentah dalam jumlah kecil.
“Ketika petani bawa 2 kilo atau 10 kilo, dijual ke gudang tidak akan diterima, kasihan. Sementara saya kan uang dari mana. Ya, akhirnya saya coba untuk buat kopi bubuk,” paparnya.
Beberapa gudang besar tempat langganannya menjual gabah dan green bean sempat mencegah keinginan Alif lantaran takut tersaingi.
“Ada bantuan pemerintah. Saya minta diajarkan bagaimana memproduksi kopi bubuk. Tidak ada yang mau memberitahu,” ungkapnya.
Tak patah arang, ia terus mencoba dan mengamati proses pembuatan kopi bubuk dari berbagai sumber. Bukan sekali dua kali pula Alif harus mengeluarkan biaya lebih dalam proses pembelajarannya.
“Saya pernah maklun roasting 50 ribu rupiah per 1 kilogram. Tidak apa-apa. Lalu beli kemasan juga, maklum dari kampung, bertanya kesana kemari tidak dikasih tahu tempatnya. Akhirnya terpaksa beli kemasan yang seperempat kilogram 8 ribu rupiah,” ujarnya.
Saat tidak ada uang untuk membayar jasa roasting, Alif mengakalinya dengan menyangrai sendiri biji kopi di atas wajan. Begitu juga dengan alat penggiling kopi yang masih manual.
“Ada cerita yang tidak bisa saya lupakan. Waktu itu ada yang pesan kopi bubuk satu seperempat kilo, masih memakai mesin giling manual. Berat dan harus dua kali untuk menggilingnya. Pas menghaluskan repot. Keringat sampai ke pantat,” katanya seraya terkekeh.
Setahun berselang Alif berkenalan dengan Asep Tarhono pemilik Siki Kopi. Dari Asep-lah ia mendapat beragam wawasan baru soal produksi kopi bubuk, termasuk biaya maklun roasting dan kemasan murah. Ia pun mulai berani memproduksi kopi bubuk dalam jumlah lebih banyak.
Meski begitu Alif dihadapkan pula pada tantangan baru, yakni mencari konsumen yang mau membeli kopi bubuk hasil produksinya.
“Ingin laku 10 kilo saja harus menunggu tiga bulan. Tiga bulan balik modal juga sudah untung-untungan. Ada yang tidak bayar. Tapi tidak apa-apalah, hitung-hitung pengorbanan,” sebut Alif.
Alif lantas mengubah strategi pemasaran. Ia mencoba menjajakan langsung produknya dengan bergerilya dari satu kampung ke kampung lain demi mengenalkan kopi bubuk buatannya kepada konsumen. Nilai yang diusungnya kepada masyarakat bukan tentang cita rasa kopi, melainkan khasiat kopi asli untuk kesehatan.
Sejatinya kopi bubuk produksi Alif memang seratus persen biji kopi asli tanpa tambahan gula atau bahan-bahan lain. Hal inilah yang diyakini dapat menjadi solusi alternatif pengobatan herbal.
“Saya jadi seperti dokter. Ada tiga orang yang punya penyakit diabetes alhamdulillah sembuh setelah rutin minum kopi asli. Yang punya penyakit maag dan darah tinggi juga alhamdulillah sembuh. Malah yang punya penyakit stroke ringan juga alhamdulillah sembuh. Wasilahnya dari kopi herbal,” paparnya.
“Saya terinspirasi memproduksi kopi herbal melihat produk kopi kesehatan salah satu multi level marketing. 250 gram harganya lima ratus sampai tujuh ratus ribu rupiah. Saya cek komposisinya, ternyata kopi arabika. Nah, kopi arabika Jawa Barat kan kualitasnya diakui dunia. Terus saya pikir kenapa tidak membuat kopi herbal dengan kopi arabika Jawa Barat,” ungkap Alif.
Bahkan salah satu konsumen Alif sempat membandingkan kopi arabika herbal produksinya dengan menu Vietnam Drip berbahan baku kopi arabika di salah satu cafe ternama di Jakarta. Ternyata kualitas kopi produksi Alif jauh lebih unggul.
MERAMBAH EKSPOR
Pada tahun 2018 Bupri Coffee untuk pertama kalinya berhasil mengirim 500 ratus kuintal green bean dengan proses natural ke Koreal Selatan. Menariknya, green bean tersebut seluruhnya merupakan varietas tunggal dari arabika Typica Sunda Buhun.
Typica Sunda Buhun sendiri adalah varietas kopi arabika yang pertama kali dibudidayakan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, pada abad ke-17 silam. Kopi arabika dari Tatar Priangan tersebut pernah menjadi komoditas ekspor primadona kolonial Belanda ke Eropa.
Bahkan istilah a cup of java atau java preanger yang populer hingga saat ini di Belanda mengacu pada varietas Typica Sunda Buhun yang ditanam di Jawa Barat.
MINIM PERHATIAN PEMERINTAH
Pahit getirnya pengalaman Alif memperjuangkan kesejahteraan petani kopi justru kian mengobarkan motivasinya untuk memperdalam keahlian proses pasca panen dan olahan kopi bubuk. Ia terus mempelajari berbagai teknik pengolahan cherry kopi. Proses seperti full washed, natural, honey hingga wine semakin dikuasainya.
Perlahan tapi pasti pemasaran olahan biji kopi Alif semakin meluas. Sejumlah cafe dan roastery di wilayah Jawa Barat dan Jabodetabek rutin memesan, baik dalam bentuk green bean atau pun yang sudah menjadi roast bean. Kuantitasnya beragam dari mulai belasan kilogram hingga ratusan kuintal.
Imbasnya, Alif melalui Bupri Coffee memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan para petani di Gunung Puntang-Haruman. Saat musim panen tiba ia menjadi harapan para petani untuk membeli harga buah kopi dengan sangat layak. Begitu juga sebaliknya Alif membutuhkan pasokan buah kopi berkualitas dari para petani.
Sayang, peran penting sosok seperti Alif Rosiman yang berupaya membantu kesejahteraan para petani kopi tak diimbangi oleh perhatian pemerintah. Padahal ia merupakan satu-satunya prosesor di wilayah Cigoong, Cipinang, Mekarsari dan sekitarnya.
“Saya betul-betul nol persen, tidak ada bantuan dari pemerintah. Mesin pulper juga hasil susah-payah kredit. Mesin huller juga cari yang murah, sedikit-sedikit dibetulkan,” ujar Alif.
Semoga saja perjalanan Alit ini akan menjadi berjuangan yang kokoh dan bisa berjalan dengan caranya. Untuk itu kita dukung sepenuhnya. Bravo…!!!
PENULIS : SANGGA
EDITOR : ATA
JABARSATU.COM