Home Dunia Ir Djuanda Seorang Revolusioner-Tekhnokratik

Ir Djuanda Seorang Revolusioner-Tekhnokratik

424
0
Ir. Juanda Kartawidjaja/IST

Siang tadi disela-sela kerjaan yang masih saya rampungkan pada hari ini, saya mendapat kesempatan menjadi pembicara di Pra Konggres Sunda sebagai salah satu perwakilan Arek Suroboyo yang bicara tentang Ir Djuanda tokoh tekhnokratik yang memiliki pandangan untuk merawat Revolusi 1945. Terima kasih Kang Andri P Kantaprawira atas undangannya.

Uraian yang saya kemukakan berdimensi sejarah politik Indonesia dan meskipun tidak sempat berdiskusi sebelumnya, pandangan saya bertemu dengan guru saya Kanda Fachry Ali dan kita saling melengkapi satu sama lain. Dalam menganalisis posisi politik dan peran Ir Djuanda saya menggunakan pendekatan yang diuraikan oleh Herbert Feith soal posisi kepemimpinan solidarity maker dan administrator tekhnokratik dengan beberapa revisi soal ini.

Selama ini ketika bicara tentang para pendiri bangsa, fokus kita kerapkali tertuju pada tokoh-tokoh solidarity maker seperti Sukarno, Tan Malaka dan HOS Tjokroaminoto tapi kurang memperhatikan tokoh-tokoh administrator tekhnokratik (selain Bung Hatta). Dari Ir Djuanda saya menyaksikan bahwa tipologi kepemimpinan solidarity maker dan tekhnokratik adminsitrator itu tidak kontras tapi sebetulnya saling melengkapi dan menunjang dalam mengisi Republik Indonesia yang lahir dari Revolusi 1945.

Proyeksi politik revolusioner bernegara tidak saja membutuhkan tokoh2 solidarity maker revolusioner seperti Sukarno dan Tan Malaka yang mampu menyatukan massa dengan gagasan-gagasan ideologis dan narasi puitik yang tertera dalam pidato 1 Juni Lahirnya Pancasila, konsep tanah air maupun pasal 33 UUD 45 namun juga tokoh-tokoh tekhnokratik yang mampu menerjemahkan dalam program-program tekhnikal pembangunan yang bagi banyak kalangan terasa membosankan.

Sebuah pertanyaan penting pernah diuraikan oleh filsuf kritis asal Slovenia Slavoj Zizek, yang paling penting untuk dipikirkan adalah apa yang harus dikerjakan pagi hari setelah kemenangan revolusi? Pertanyaan itu membutuhkan jawaban seorang tekhnokratik seperti Ir Djuanda.

Djuanda menerjemahkan jargon tanah air, nasionalisme yang berjejak tidak saja dalam perasaan senasib tapi juga kedaulatan atas bumi tanah dan airnya secara tekhnikal. Yakni dengan perumusan Deklarasi Djuanda bahwa sebagai konsekwensi dari Indonesia sebagai archipelago country maka Indonesia memiliki hal menegaskan teritori 12 mil batas laut sebagai otoritas kedulatannya. Sebagai kelanjutannya beliau sebagai Perdana Menteri ikut merumuskan kekuatan Angkatan Laut Indonesia. Sesuatu yang baru pada tahun 1982 Amerika Serikat mengakuinya.

Ir Djuanda pulalah yang menyatakan bahwa negara kesatuan yang menjadi pilihan Indonesia harus ditopang oleh pengakuan atas kehendak2 dari daerah. Sesuatu yang sekarang kita kenal sebagai pentingnya otonomi lokal. Dan ketika tokoh2 daerah ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintah pusat melalui PRRI, Ir Djuanda berusaha menahan dan melakukan dialog untuk itu meski pada akhirnya gagal.

Satu hal lagi meski berada dalam lingkaran elite kekuasaan, Ir Djuanda juga memiliki keberatan atas upaya kembali ke UUD 1945 dan demokrasi terpimpin dengan alasan menolak adanya personalisasi kekuasaan. Ketika Demokrasi Terpimpin dilakukan, Djuanda tetap berusaha untuk menghalanginya dengan jalan bagaimana perumusan institusionalisasi dari demokrasi terpimpin agar tetap tidak terjadi personalisasi kekuasaan dan tetap berlangsung redistribusi kekuasaan. Sayangnya pada tahun 1963 beliau berpulang ke hadapan Allah SWT.

Ir Djuanda adalah salah satu sumbangan penting warga masyarakat Sunda bagi Republik Indonesia!

Sampurasun sadayana.

Airlangga Pribadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.