Oleh: Abu Muas T. (Pemerhati Masalah Sosial)
Alkisah, disinyalir ada kisah pernah terjadi dalam sebuah kehidupan bermasyarakat di negeri Antahberantah terserang wabah ganas yang penularannya tidak pandang bulu menyerang siapa saja.
Menghadapi masifnya penularan wabah ganas yang satu ini, dengan berbagai upayanya pemangku kebijakan negeri Antahberantah ini mengeluarkan keseimbangan kebijakan. Yakni kebijakan menanggulangi meluasnya penularan wabah harus seimbang dengan kebijakan ekonomi negeri agar tidak terdampak wabah.
Entah disadari atau tidak oleh pengambil kebijakan negeri Antahberantah ini, beriringannya dua kebijakan ini apakah tidak sama artinya dengan si pembuat kebijakan membiarkan bertambahnya korban kematian akibat wabah yang penting kondisi ekonomi tidak terdampak atau terpuruk?
Soal penanganan wabah yang satu ini pun, tak pelak pemangku kebijakan negeri Antahberantah ini pun di antaranya telah mengeluarkan kebijakan termasuk keluarlah larangan berkerumun untuk mencegah penularan wabah.
Dalam perjalanannya, ternyata larangan berkerumun ini bisa berakibat terkena sanksi hukum bagi yang melanggarnya, baik terkena sanksi hukum denda maupun bisa membawa pelanggarnya digiring ke balik jeruji besi alias ditahan di dalam penjara.
Layaklah timbul beberapa pertanyaan pasca diterapkannya hukum pemidanaan bagi pelanggar kerumunan ini, apakah hanya si pengajak yang “diartikan” menghasut berkerumun yang terkena delik hukumnya? Bagaimana dengan massa yang hadir atas adanya ajakan berkerumun, apakah tidak terkena delik hukum? Bagaimana jika massa yang ikut berkerumun ini pula menyadari diri bahwa dirinya juga telah melanggar protokol kesehatan, maka massa pun dengan suka rela siap menyerahkan diri untuk ditahan demi keadilan yang berperadaban?
Sungguh ada keunikan tersendiri pemberlakuan hukum di negeri Antahberantah ini, tatkala ajakan “diartikan” sebagai hasutan berkerumun. Si pengajak berkerumun terkena delik hukum penghasutan untuk berkerumun.
Terlepas soal pengenaan hukum bagi pengajak yang diartikan penghasut untuk berkerumun ini, semoga saja sanksi hukumnya tidak melebar menyasar para muadzin yang lima kali dalam sehari tugasnya mengajak orang berkerumun untuk tegakkan shalat berjamaah. Pertanyaannya, adakah yang dapat menjamin pada masa yang akan datang di negeri Antahberantah ini para muadzin yang mengumandangkan suara adzan untuk mengajak menegakkan shalat, tidak terkena sanksi hukum ajakan yang diartikan hasutan berkerumun? Negeri Antahberantah memang penuh keunikan, aneh tapi nyata.