Oleh Imam Wahyudi *)
“Mengapa saya mendukung Nia?” Pertanyaan itu muncul di antara obrolan warung kopi. Berkembang rada serius ikhwal figur calon dalam Pilkada Kab. Bandung 2020. Obrolan antarkader itu terjadi sepekan, setelah undian nomor urut paslon yang digelar KPU setempat. Kurnia (Nia) Agustina berpasangan Usman Sayogi beroleh nomor urut 1 (satu). Paslon lainnya, Yena-Atep nomor 2 (dua) dan nomor 3 (tiga) untuk Dadang Supriatna-Sahrul Gunawan. Puncak pilkada alias pencoblosan, akan berlangsung Rabu, 09 Desember 2020 pekan depan.
Dalam diskusi kecil itu, saya belum sertamerta menjawab ikhwal pilihan dukungan kepada Nia sebagai Calon Bupati Bandung. Saya mulai dari persepsi umum. Siapa pun dan ekspektasi apa pun terhadap suksesi kepemimpinan Kab. Bandung mendatang — haruslah lebih dulu menempuh jalan panjang. Berliku, bahkan terjal dan menanjak. Jalan panjang itu bernama pilkada. Tak kecuali bagi Nia. Tak serta-merta ingin melanjutkan pengabdian sang suami, Dadang Naser yang kini menjabat bupati. Nia tetap harus ikut kontestasi. Setara dengan kandidat lain.
Nia punya bekal “kelebihan”. Inilah soalnya. Saya ingin katakan: Ya..! Maknanya, Nia — tentu tak tinggal diam. Apalagi duduk manis. Ia praktis membantu dan memotivasi kinerja sang suami. Secara “ex officio”, Nia menjabat Ketua Tim Penggerak PKK Kab. Bandung. Sebuah jabatan otomatis bagi istri seorang kepala daerah. Selama kurun jabatan sang suami. Bupati Bandung dua periode. Tak kurang dari sembilan jabatan “ex officio” lainnya. Dengan kata lain, Nia sudah lebih dulu larut dalam kinerja bupati. Tanpa predikat bupati. Nia teristimewa “magang” sebagai “bupati”.
Karuan, Nia sudah cukup fasih hal-ikhwal kinerja bupati. Nyaris tak ada kata “learning by doing”. Langsung melaju. Terlebih menggandeng Usman Sayogi. Birokrat mumpuni di lingkup Pemkab Bandung. Catatan prestasi Usman jadi dayatarik tersendiri. Pengabdiannya tumpah selama 31 tahun.
Jejak Dadang Naser
“Mengapa saya dukung Nia?” Tak cukup bisa tuntas terjawab lewat tulisan ini. Ruang relatif terbatas. Sekurangnya, saya ingin mengajak “napak tilas”. Memutar ulang jejak langkah Dadang Naser. Pun saya meyakini, Nia memastikan maju — tak lepas dari latar prestasi dan kinerja yang sudah ditorehkan sang suami.
Saya tak semata berkomitmen bab “perkawanan dan persahabatan”. Kami pernah bersinerji sebagai anggota DPRD Jabar 2004-2009. Sama di komisi-D (kini IV) yang membidangi infrastruktur dan pembangunan. Dadang Naser sebagai sekretaris komisi. Volume anggaran terbesar dibanding komisi lain dalam APBD Provinsi Jabar.
Tentu, Dadang tak sendiri. Tapi, dalam kapasitasnya sebagai pimpinan komisi — dia berperan mengendalikan kebijakan. Meletakkan dasar dan cikal bakal pembangunan yang ingin diwujudkan. Tak kurang dari sandaran aturan yang harus dibuat lebih dulu. Sebutlah inisiasi legislasi berupa Perda Tahun Jamak. Kelak menjadi payung hukum penggunaan anggaran secara berkelanjutan. Tak dibatasi per tahun anggaran.
Masa itu, Dadang Naser dkk mampu mendorong percepatan pembangunan ruas tol Cipularang pada 2005. Demi kelancaran transportasi darat dalam rangka Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Selanjutnya realisasi pembangunan “fly over” Pasupati. Pun jalur Lingkar Nagreg dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Legok Nangka, Nagreg. Selebihnya meletakkan dasar rencana strategis (renstra) untuk pembangunan infratruktur jalan tol Soroja (Soreang – Pasirkoja) dan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Dawuan, Majalengka. Pun jalan tol Cisundawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan)
Berbekal tapak itu, saya tak berfikir panjang untuk mendukung Dadang Naser. Mencalonkan Bupati Bandung pada Pilkada 2010. Praktis baru setahun, usai hengkang dari kursi DPRD Jabar. Dia melaju. Bukan semata “perkawanan dan persahabatan”. Naluri saya menuntun ke arah tapak yang pernah dibuatnya. Dadang bakal mampu melanjutkan sebagai konduktor pembangunan di tanah kelahirannya.
Dukungan yang saya lakukan menuai suasana kebatinan tak sesuai harapan. Sudah diduga. Dengan posisi wakil sekjen, saya sempat dikucilkan dari pergaulan elit partai. Maklum, PAN mengusung calon berbeda. Praktis hanya saya yang ikut hadir mewakili PAN dalam kampanye akhir paslon Dadang-Deden di lapangan Patal Banjaran, 23 Agustus 2010. Sebaliknya, saya menahan diri dengan tidak “merapat” selama kurun jabatan Dadang Naser sebagai Bupati Bandung. Bolehlah, disebut demi menjaga integritas. Maknanya, dukungan kala itu — bahkan melawan arus — saya lakukan dengan tulus.
Sepuluh tahun sudah, saya meninggalkan panggung Kab. Bandung. Kali ini, saya muncul lagi. Menjelang akhir jabatan sahabat, Dadang Naser. Sang bupati dua periode, 2010-2015 dan 2015-2020. Capaian prestasinya menjadi kebanggaan warga Kab. Bandung. Tak kurang dari rumah sakit modern berhasil dibangun. Antara lain di Majalaya dan Rancaekek. Sederet kawasan wisata alam berkembang dan produktif. Peningkatan ekonomi rakyat lewat pemberdayaan warga berbagai bidang. Tak kecuali dunia kuliner dan sederet perajin khas hingga gerakan sosial yang merata.
Kali ini, saya terobsesi menyapa Nia. Mendukung dan sebisa mungkin unjuk peran. Talenta seorang Nia di laga ini ikut menciptakan atmosfir nan sejuk. Sebagai “striker”, Nia bakal mencetak gol emas.
*
“Mengapa saya dukung Nia?” Pertanyaan serupa, menyeruak di seantero Kab. Bandung. Di semua kalangan warga yang punya hak pilih. Pertanyaan yang pantas diucapkan untuk meyakinkan kawan dan lawan bicara.
Pertanyaan yang tulus dan menginspirasi dalam memilih. Meyakinkan pilihan terbaik. Ya, Nia-Usman. Akhirnya, pertanyaan yang sejatinya adalah jawaban akan pilihan Pasti!*
*) Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jabar.