Home Bisnis & Ekonomi Industri Sawit Indonesia Harus Berbenah Agar Semua Senang

Industri Sawit Indonesia Harus Berbenah Agar Semua Senang

673
0

Oleh : Riza Mutiara/Praktisi Sawit

Pemungutan dana sawit berasal dari PPN TBS ( Tanda Buah Segar) dan bea keluar CPO terbukti sampai kini tidak mampu mensejahterakan petani sawit. Hal itu berdasarkan banyaknya keluhan dari berbagai organisasi petani sawit seluruh tanah air, karena dana pungut sawit yang dikelola oleh BPDPKS ( Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ) setiap tahun tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan produksi petani, yakni digunakan untuk dana riset dan peremajaan sawit rakyat, namun malah digunakan untuk subsidi FAME ( Fatic Acid Methyl Ester) / Biosolar.

Akibatnya petani sawit tidak punya uang cukup untuk merawat tanaman dan melakukan peremajaan tanaman ( replanting) serta untuk membeli bibit sawit yang baik, tentu petani akan kesulitan melakukan pemupukan sesuai standar yang benar agar produktifitas sawitnya bisa optimal, karena harga TBS sangat fluktuatif, meskipun hari ini harga sawit bisa mencapai Rp 2000 perkilo gram, akan tetapi ditingkat petani harganya hanya sekitar Rp Rp 1500 per kilogram, namun ketika harga TBS turun mencapai Rp 800 perkilo gram itupun masih dikenakan PPN. Sehingga persoalan ini sudah menjadi lingkaran setan dan semakin bingung gimana cara membenahinya.

Seharusnya dalam menjalankan program biodiesel untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang semakin menipis cadangan dan sebagai energi kotor dari sisi lingkungan.Pilihan tehnologi yang tepat dalam memproduksi biodiesel menjadi kata kuncinya.

Agar program biodiesel yang digagas Presiden Jokowi bisa mencapai B100 teralisasi cepat tanpa harus disubsidi setiap saat dalam jumlah puluhan triliun, sebab untuk program B30 saja dengan perkiraan penggunaan FAME hanya 4,8 juta kilo liter menurut Direktur Utama BPDKS Eddy Abdurachman sampai Agustus 2020 saja, telah mengeluarkan subsidi Rp 13,2 triliun, padahal proyeksi sampai akhir tahun FAME yang akan digunakan mencapai 8,25 juta kilo liter.

Adapun total subsidi untuk produsen FAME sejak tahun 2015 sampai tahun 2020 ini, mungkin sudah sekitar Rp 62 Triliun, mulai tahun ini dan seterusnya rata rata setiap tahun bisa sekitar Rp 14 Triliun.

Sehingga wajar kalau semua asosiasi petani memprotes, ketika ada tambahan subsidi dana PEN ( Penanggulan Ekonomi Nasional) oleh Pemerintah sebesar Rp 2,78 Triliun baru baru ini.Bahkan mereka menuduh Pemerintah lebih ingin menyelamatkan konglomerat produsen FAME daripada menolong petani sawit.

Harusnya, untuk menghindari subsidi yang tak perlu, pilihan tehnology memproduksi green diesel bisa dengan memproduksi HV0 ( Hydrotreated Vetagable Oil) B100 dari bahan baku langsung dari CPO, minyak goreng bekas dsn rape seed dan lainya, serta Syntehtic Diesel Oil B100 Euro 5 menggunakan bahan baku TBS, limbah PKS, janjang sawit, pohon sawit tua, plastik bekas, kayu, dan batubara kalori rendah dan lainya. Tehmologi itu sekarang sudah banyak digunakan di negara negara Eropah, kualitasnya green dieselnya sangat istimewa, harganya perliternya juga relatif sangat murah. Hitungan kami harga jual green diesel standar Euro 5 standar EN590 bisa sekitar Rp 7000 perliter modal Pertamina.

BPPT pada November 2017 telah berkunjung ke Jerman dan bertemu DR Koch untuk melihat tehnologi KDV menghasilkan biodiesel, seharusnya demi kepentingan nasional, Kementerian ESDM, Litbang Kementerian Pertanian, BPPT dan Pertamina bisa duduk satu meja membahas program jangka panjang biodisel yang bisa membuat petani sawit, produsen biodiesel dan Pertamina serta negara bisa untung.

Meskipun saat ini masyarakat Eropah telah memboikot produk sawit dan turunannya dengan alasan soal lingkungan, seharusnya Indonesia sebagai produsen sawit terbesar didunia bisa mengembangkan industri hilirnya sampai tingkat lanjut atau oleokimia derivates, selain hanya untuk memproduksi minyak goreng, mentega, bahan baku sabun dan kosmetik, green diesel, green gasoline dan green avtur dengan tehnologi yang tepat.

Akibat kelebihan pasokan CPO saat ini akibat boikot masyarakat Eropah, malah kita mampu membuat terobosan meningkatkan nilai tambah, sehingga tidak mengganggu harga TBS ditingkat petani, maupun harga CPO dipasar internasional.

Oleh karena itu, dengan luas lahan sawit nasional saat ini sekitar 16 juta hektar, seharusnya tidak perlu harus diperluas hingga 20 juta hektar dengan merusak kawasan hutan yang menurut UU dilarang digunakan.Cukup dengan optimalisasi produksi dengan cara pembibitan yang baik, pemupukan yang benar, merawat tanaman yang benar, serta memanen yang benar dan mengolah di PKS yang sehat.

Adapun potensi produksi TBS sekitar 282 juta ton pertahun, berdasarkan rata rata produksi 22 ton perhektar pertahun, dengan asumsi 80% dari luas sawit 16 juta hektar yang produksi dan 20 % lahan sawit belum berproduksi ( TBM). Akan diperoleh potensi hasil CPO 64 juta ton dan PKO ( Palm Kernel Oil ) 12 juta ton pertahun, sehingga totalnya menjadi 76 juta ton pertahun.

Jika untuk memproduksi B100 dibutuhkan 20 juta ton TBS untuk menghasilkan B100 setara 300.000 barel perhari, untuk kebutuhan industri oleokimia, minyak goreng dan fraksinasi dibutuhkan 19 juta ton, maka sisa CPO sekitar 40 juta ton setiap tahun bisa dieksport.

Sehingga PKO tidak perlu diekspor, karena sudah terserap habis oleh industri hilir sawit dan lainnya di lokal, maka dengan berkurangnya CPO masuk ke pasar ekspor, sehingga harga CPO akan relatif stabil dan akan menguntungkan petani dan pendapatan devisa bagi negara.

Indonesia 23 November 2020.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.