OLEH RITA ROSSIE*)
Saya bukanlah ahli sejarah atau budayawan Sunda, hanya perempuan Muslim Sunda biasa, just ordinary people saur barudak mah, kaum cacah yang bahagia.
Terkait geliat pra Kongres Sunda dimana saya juga involve didalamnya. Ada sebuah rasa anu nyaliara dina dada..sejauh mana rasa kasundaan saya, sepertinya halnya saya memahami betul rasa nasionalisme saya terhadap negeri ini, NKRI.
Sedih rasanya melihat sarakan semakin rusak, khawatir rasanya melihat adeg-adeg jeung tangtungan Ki Sunda anu makin memudar, lalu jadi manusia seperti apa anak cucu saya nanti, kalau kearifan lokal dan budi pekerti tidak lagi mereka dapatkan?
Pada beberapa sawalamaya pra Kongres yang saya ikuti, ada beberapa kutipan yang saya catat baik-baik salah satunya adalah paparan dari Prof. Reiza yaitu, kurang lebihnya “SUNDA yang TERMARJINALKAN”.
Lalu timbul pertanyaan, siapa yang memarjinalkan dan langkah apa agar tidak terus menerus menjadi suku marjinal?
Jelas bukan kapasitas saya untuk memaparkan hal tersebut, tapi saya berusaha untuk aub dan ilubiung di kepanitian dimana salah satu agendanya adalah konsolidasi dan rekonsiliasi, serta prime mover berupa pergantian atau ngabalikeun deui nama provinsi ti Jabar ka Provinsi Sunda.
Dalam perjalanannya tentu bukan hal mudah, semudah kita membalik telapak tangan, karena beberapa yang kontra telah berstatement dengan sangat keras.
Lalu apakah langkah kita menjadi terhenti? Sepertinya tidak karena sesuatu yang berlawanan(kontra) akan memberi diskursus tersendiri berupa pengayaan wawasan dari perspektif yang berbeda.
Irian begitu mudah berganti nama menjadi Papua, sehingga saya merindukan sebuah sosok yang bisa bilang, gitu aja koq repot!
Apalagi sampai berstatement bahwa Sunda bukanlah suku, bahwa pergantian nama bukanlah prioritas sehingga secara eksplisit menyatakan tidak setuju.
Padahal seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mampu memenuhi rasa keadilan setiap warganya.
Lalu pada saat beberapa “butir” rakyat merasa diperlakukan tidak adil, dimarjinalkan dan teu di waro, jangan salahkan kalau akhirnya pemimpin tersebut akan kehilangan respect, ajen inajen dari warganya.
Lalu ada juga yang bilang “apalah arti sebuah nama”, Mohon maaf kepada Bani Shakespeare’s, saya termasuk yang meyakini bahwa nama itu adalah bentuk rasa cinta, harapan dan do’a. Bali dan beberapa Provinsi lain juga boleh, kenapa Sunda tidak boleh?
Terus ada juga yang rungsing, mending perbaiki dulu ekonomi dan bla..bla..bla,
Hellow darling, matakna ngiring sawalamaya teras amengan ka sekre Kongres Sunda geura, biar semua rasa apriori, underestimate plus su’udzon bisa berkurang.
Yuk urang gotong royong, sabilulungan paheuyeuk-heuyeuk leungeun nga-ajeg-keun deui jati diri urang.
Cag ah!
#CatatanDisebuahPojokKamar,131120)
*)Seorang Muslim Sunda