Oleh: Radhar Tribaskoro
Polemik RUU HIP telah mendorong pemerintah untuk mengajukan RUU BPIP sebagai pengganti. BPIP adalah akronim dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, melalui perubahan tersebut pemerintah berharap polemik berakhir. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa BPIP sama saja dengan BP7, yaitu suatu lembaga di masa orde baru yang melaksanakan sosialisasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Masalahnya, kedudukan hukum maupun isi-substansi BPIP sangat berbeda dengan BP7. BPIP memiliki potensi menggerus demokrasi dan memperkuat otoriterisme.
Lebih dari itu, menurut pandangan saya, RUU BPIP adalah langkah awal Indonesia menuju “jalan Cina” dimana ada satu partai dominan yang memonopoli pemahaman ideologi negara lalu memaksakannya kepada seluruh rakyat.
KEDUDUKAN HUKUM
BP7 dulu berusaha meningkatkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam bentuk penataran, pengajaran, ceramah dsb. Salah satu kegiatannya adalah penataran P4 yang berlangsung masif di perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil. Dasar pendirian BP7 adalah Tap MPR No.2/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Namun setelah reformasi BP7 dibubarkan bahkan ketetapan MPR yang mendasarinya pun dicabut. Lebih dari itu mata pelajaran Pancasila di sekolah menengah dan perguruan tinggi ikut dihapuskan.
Akibat dari pembubaran, pencabutan dan penghapusan itu Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR dari PDIP, mengeluh telah terjadi kevakuman ideologi. Katanya, kevakuman itu menimbulkan badai ideologi yang menginginkan penggantian Pancasila. Ahmad Basarah keliru, sesungguhnya dispute perihal Pancasila telah muncul sejak Pancasila itu dilahirkan, bukan baru saja setelah penataran P4 ditiadakan.
Tujuan Basarah memang bukan untuk mengetahui asal-usul kontroversi Pancasila. Ia (PDIP) sudah memiliki pandangan sendiri tentang asal-usul itu. Keinginan PDIP adalah mendominasi pemahaman Pancasila. PDIP paham ia tidak bisa meraih keinginan itu melalui debat. PDIP ingin memperolehnya melalui kekuatan parlemen. Itulah yang dilakukannya dengan menghadirkan RUU BPIP.
BPIP dirancang untuk menjadi pintu masuk presiden memiliki kewenangan mereview undang-undang dan peraturan terhadap Pancasila. Kita mengetahui bahwa review suatu undang-undang atau peraturan merupakan kewenangan lembaga yudikatif. Mahkamah Konstitusi misalnya, memiliki kewenangan mereview undang-undang terhadap UUD 1945. Sementara itu Mahkamah Agung berwenang mereview peraturan-peraturan dengan undang-undang di atasnya.
Desain BPIP yang memiliki kedudukan setara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi akan menciptakan kekacauan hukum yang tidak ada presedennya dalam sejarah.
Pancasila, yang diperlakukan sebagai ideologi negara, dianggap lebih tinggi dari UUD 1945. Pancasila sering diibaratkan sebagai jiwa bangsa, sementara UUD 1945 adalah tubuhnya. Tubuh tidak berarti tanpa jiwa.
Tidak terhindarkan nanti akan muncul situasi tumpah-tindih. BPIP sangat mungkin menilai pejabat atau kebijakannya sebagai tidak sesuai dengan Pancasila. Situasi dilematis terjadi ketika MK atau MA menyatakan bahwa pejabat dan kebijakannya itu telah berjalan sesuai hukum dan konstitusi. Apakah BPIP atau MA/MK yang harus ditaati?
Kekacauan akibat kedudukan hukum BPIP belum apa-apa dibanding dampaknya terhadap sistem demokrasi.
RUU BPIP pada dasarnya adalah kudeta eksekutif terhadap yudikatif. Bila RUU ini disahkan maka eksekutif (presiden) dapat mempengaruhi apapun di bawah langit, sebab BPIP memiliki sphere of influences yang luas sekali. Apakah anda seorang pemimpin buruh, ketua koperasi tani, seniman, pejabat eselon empat kementerian, komisioner Bawaslu, menteri, hakim, dll, anda dapat dimonitor dan dievaluasi oleh BPIP. Dan tiba-tiba saja anda dinilai tidak Pancasilais. Bagaimana nasib anda setelah vonis itu?
Sebagai contoh, bisa saja BPIP beranggapan bahwa orang Indonesia harus berpahamkan Islam Nusantara. Bila paham keislaman anda tidak sejalan dengan Islam Nusantara, anda harus ditangkap. Hukuman teringan untuk anda adalah anda akan dimasukkan “pesantren” atau “reeducation camp” sebagaimana dilakukan Cina kepada warga Xinjiang yang paham Islamnya tidak sesuai dengan kehendak pemerintah Cina.
Ini lebih buruk daripada Litsus (penelitian khusus) di era orde baru. Pada litsus anda ditelusur latar belakang keluarga, apakah terkait dengan PKI. Kriteria latar belakang adalah kriteria objektif, tetapi objektifkah kriteria tidak pancasilais? Ideologi dimanapun, bahkan marxisme yang selalu mengklaim objektivisme, selalu subjektif. Deng Xiaping dulu dipenjara sampai hampir mati karena dianggap anti-komunis. Ketika Deng Xiaoping akhirnya keluar penjara dan mengenyahkan lawan-lawannya, ia mengatakan perjuangannya adalah demi kejayaan komunisme. Bukan cuma di Cina, ideologi komunis sepenuhnya subjektif.
Di dalam rancangannya BPIP tidak memiliki kewenangan. Hal itu memang tidak diperlukan sebab kekuasaan untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasinya sudah tersedia, yaitu kekuasaan presiden. Dari sudut pandang politik BPIP adalah alat presiden untuk merambah dan merenggut kekuasaan yudikatif.
Dan kita tidak lupa bahwa melalui UU No.2/2020 DPR telah menyerahkan hak budgetnya kepada eksekutif. Undang-undang yang sama memberi eksekutif kekebalan hukum untuk tindakan dan kebijakan mereka.
Pada akhirnya telah terjadi konsentrasi kekuasaan yang sangat masif di tangan eksekutif. Negara ini sedang menyongsong masa depannya: fasisme.
ISI-SUBSTANSI
Perbedaan yang sangat menonjol antara BPIP dengan BP7 adalah pada materi isinya. Muatan BP7 tidak dibuat BP7 sendiri, melainkan telah disiapkan oleh MPR dan tertuang dalam Tap MPR No.2/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4.
Ketetapan MPR tersebut di atas memuat penafsiran Orde Baru tentang Pancasila. Menurut Orde Baru penghayatan Pancasila dan pengamalannya terwujud dan terukur di dalam nilai-nilai yang dianut setiap orang. Di dalam konteks itu MPR memperkenalkan 36 Butir Nilai Pancasila. Diantara ke-36 nilai tersebut ada kerja keras, tidak boros, tidak hidup mewah, bersikap adil, menghormati hak orang lain, dst.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa bagi Orde Baru penghayatan dan pengamalan Pancasila sepenuhnya terkait dengan pengembangan akhlak atau moral individu. Nampaknya Orde Baru beryakinan bahwa karakter dan kepribadian bangsa Indonesia (kolektivitas) ditentukan oleh watak dan kepribadian rakyatnya (individualitas). Semakin kuat moral rakyat maka akan semakin kuat pula negara dan bangsanya.
Di seberang jalan, PDIP memiliki keyakinan sebaliknya. Pasal 3 dari RUU BPIP menyebutkan 5 tujuan BPIP yang kesemuanya merinci hal-hal yang melekat pada kolektivitas seperti jatidiri dan karakter bangsa, sistem pendidikan nasional, sistem perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, sistem demokrasi dst. Kelihatannya BPIP diarahkan untuk menggunakan ideologi untuk mengendalikan pusat-pusat kekuasaan di dalam maupun di luar pemerintahan.
Skema di atas menjelaskan bahwa dalam paham perancang RUU BPIP ideologi terbenar adalah milik penguasa. Semua orang harus menyesuaikan diri dengan penguasa agar dianggap Pancasilais.
Ideologi Pancasila macam apa yang akan dicekokkan kepada rakyat? Walau PDIP telah menarik RUU HIP namun dari apa yang tertulis di sana kita bisa mendapat gambaran tentang ideologi termaksud. Gambaran ideologi tersebut melekat pada perancang yang mustahil berubah walau RUU HIP itu telah diganti dengan RUU BPIP.
Di dalam RUU HIP itu kita melihat bahwa Pancasila yang dihikmati oleh perumus RUU tersebut (PDIP) adalah versi Pancasila sebagaimana dirumuskan Sukarno pada 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI. Pancasila ini bisa diperas-peras menjadi trisila dan ekasila. Perumus RUU tersebut jelas mengabaikan fakta bahwa Pancasila telah mengalami proses dialogis yang panjang untuk pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati dalam Piagam Jakarta, namun kemudian mengalami perubahan lagi menjadi versi seperti kita kenal saat ini pada tanggal 18 Agustus 1945.
Menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai sumber pedoman ideologi Pancasila adalah sebuah kudeta ideologi.
Memang RUU BPIP sudah tidak memuat lagi diksi terkait Pancasila 1 Juni 1945, namun pengusulnya adalah pihak yang sama. Paham itu bisa menyusup di dalam kebijakan, nilai-nilai Pancasila, materi dan metodologi, mekanisme monitor dan evaluasi pembinaan ideologi Pancasila sebagaimana disebutkan sebagai tugas BPIP dalam pasal 6 ayat 3 RUU BPIP.
Lebih dari itu, siapa yang menyusun arah kebijakan, materi dan metodologi pembinaan ideologi Pancasila? Di masa Orde Baru semua itu dibuat oleh MPR. Artinya isi-substansi pembinaan ideologi Pancasila ditentukan melalui konsensus politik semua pihak yang terwakili di MPR. Sebaliknya dalam RUU BPIP isi-substansi pembinaan ideologi Pancasila dibuat sendiri oleh BPIP (presiden). Bila hal itu terjadi, bisa dipastikan pembinaan ideologi itu akan diwarnai oleh bias politik sangat besar. Lawan-lawan politik presiden dengan mudah terkena delik pidana atau kematian perdata.
Dengan uraian di atas saya kira jelas bahwa RUU BPIP adalah pintu gerbang bangkitnya partai tunggal yang mendominasi kehidupan politik di Indonesia. Dalam diskursus politik jalan menuju ke sana disebut “jalan cina”. *(End)