JABARSATU.COM – Effendi Saman, Advokat senior mengatakan bahwa tanah untuk Rakyat itu harus jelas, bukan sekadar memperjuangkan hak petani atau peladang agar mendapatkan sertifikat lahan dan hak garap.
“Yang terpenting lahan pertanian itu dikuasai terlebih dahulu oleh petani dan secara kolektif dikelola peruntukan dengan berbagai cara budi dayanya agar produktif dan bukan diperjualbelikan atau dialihkan kepemilikan baru atau konglomerasi,” ujar Saman yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN)ini saat berbincang dengan Redaksi JABARSATU.COM Ahad, 19 Juli 2020, malam.
Menurut Saman strategi intervensi advokasi petani, tidak cukup sekadar membelanya secara hukum, tetapi harus dibangun dan dibentuk serikat-serikat petani yang juga berorientasi membangun gerakan ekonomi pertanian.
“Saat ini tidak sedikit tanah HAK GUNA USAHA (HGU) yang dikuasai Negara yang dikuasai pengusaha, yang sudah habis izinnya dan atau yang diterlantarkan oleh perusahaan pertanian dan perkebunan.
Mestinya petani mendapatkan hak prioritas dalam pemilikan lahan. Yang terjadi saat ini petani menjadi buruh tani diatas tanahnya sendiri, dengan penghasilan 20-25 Rb/hari bahkan dilahan petani kebun teh masih ada yang berpenghasilan 300Rb/bulan.
“Sebangun dengan pikiran itu, UU POKOK AGRARIA NO 5/1960 sejatinya harus tetap dipertahankan agar menjadi alas hukum bagi petani/peladang untuk merebut haknya atas tanah.”tegas Effendi Saman yang saat ini sedang mengadvokasi petani Garut dan Cianjur Jawa Barat.
Effendi Saman juga menambahkan bahwa disisi lain UU ini membatasi pemilikan lahan oleh korporasi /konglomerasi secara berlebihan dan bahkan bisa dijadikan dasar hukum untuk menggugat sebagai perbuatan melawan hukum.
“Ini akan berpotensi merampas hak pertanian secara melawan hukum bagi korporasi nakal dan busuk,” jelasnya. (ATA/JBS)