by M Rizal Fadillah
Makin kacau saja rezim. Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan mudik dan shalat tarawih berjamaah di masjid bisa dipidana. Meski ungkapannya kontradiktif tapi mengaitkan mudik apalagi shalat tarawih dengan pidana adalah ngawur, bahkan gila.
Kontradiksinya di satu sisi pernyataan bahwa mudik dan shalat tarawih berjamaah bukan larangan dan bukan perbuatan pidana, akan tetapi di lain sisi sebagai larangan dari pemerintah maka mudik dan shalat tarawih menjadi bisa dipidana. Konon dasarnya adalah Pasal 214 dan 216 KUHP.
Meskipun katanya kita tidak perlu terlalu keras akan tetapi menggembar gemborkan khususnya shalat tarawih berjamaah di masjid bisa dihukum pidana adalah salah kaprah dan bisa menimbulkan masalah keagamaan yang tidak sederhana, bisa saja justru terjadi perlawanan masif. Ini masalah sensitif dimana orang berfikir hanya pengabdian pada Allah tak peduli pemerintah, apalagi Mahfud. Jika memang dinilai salah.
Ada 3 salah kaprah Mahfud MD dan juga pejabat lain yang mengungkap hal yang sama, yaitu :
Pertama, jika mudik dan shalat tarawih di masjid itu bisa dipidana, maka harus ada larangan yang jelas, tertulis dan eksplisit dari Pemerintah. Tidak bisa implisit atau sekedar tafsir. Ini persoalan hukum pidana. Hukum pidana memiliki elemen delik yang terinci dan jelas. Mahfud seharusnya tahu asas dalam hukum pidana “nulla poena sine lege”, “nulla poena sine crimine”, dan “nullum crimen sine poena legali”.
Kedua, kebijakan Pemerintah yang diambil hanya Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) bukan Karantina Wilayah apalagi Karantina Rumah. Karenanya keliru perlakuan berdasarkan, berpola, bergaya, atau bersanksi “lock down” (karantina wilayah atau rumah). Pemerintah jangan licik menerapkan model karantina tetapi tidak mau memfasilitasi pemenuhan hidup standar. Seret untuk rakyat, nyata boros untuk klik dan kroni.
Ketiga, Pasal 214 KUHP dan 216 KUHP itu tidak relevan untuk pidana mudik atau shalat tarawih berjamaah di masjid. Pasal ini dikaitkan dengan Pasal 212 KUHP. Pada prinsipnya pasal pasal ini berkaitan dengan “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” “melawan” pejabat. Tidak berkaitan dengan “aturan” pemerintah. Pasal pasal ini dimaksudkan untuk melindungi pejabat dari “paksaan” atau “perlawanan” dengan “kekerasan” atau “ancaman kekerasan”. Pasal 216 KUHP pun berhubungan dengan mentaati perintah di lapangan seperti perintah polisi. Bukan soal mudik atau tarawih.
Karenanya sangat berlebihan jika melarang mudik atau shalat tarawih dengan penghukuman pidana. Anjuran boleh saja tapi main ancam dengan aturan yang tidak adekuat jelas keliru. Mudik dan shalat tarawih di madjid tidak boleh dihukum penjara. Keterlaluan.
Manipulasi hukum untuk kepentingan kebijakan adalah membodohi rakyat, pak Mahfud.
Wassalam.
*) Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 26 April 2020