Saat ini, tema umat manusia di seluruh dunia ada satu. Si Corona ini. Bagaimana meminimalisir angka yang terpapar, lalu yang terpapar bagaimana diobati? Dan yang belum terpapar bagaimana dilindungi? Begitulah kurang lebih skenario di negara manapun: preventif dan mitigatif.
Per 28 Maret, Amerika yang sekarang menempati nomor satu jumlah penderita Covid-19 terbanyak. Melampaui China Sang Pionir dan Italia. Ada 104 ribu pasien Corona di USA, dengan angka kematian 1.704, artinya mortality ratenya 1,6 persen. China yang menempati nomor 3 angkanya saat ini 81.394 dan yang meninggal sejumlah 3.295, yang berarti mortality rate sekitar 4 persen.
Ada 36 negara yang angka paparan Corona jauh di atas Indonesia. Tapi mortality rate beberapa negara besar Eropa relatif kecil seperti berikut: Jerman (0.7%), UK (5%), Austria (0.8%). Turki sangat hebat, negara yang justru berada di antara Asia dan Eropa itu hanya (1.6%). Di Asia seperti ini angkanya: Jepang (3.2%), Pakistan (2.9%), Korea Selatan (1.5%). Dan Malaysia tetangga kita angka kematiannya 1.1%.
Indonesia bagaimana nasibnya? Tanggal 27 Januari presiden Jokowi menenangkan hati bangsa ini bahwa Corona tidak terdeteksi di Indonesia. 11 Februari, Menkes Terawan Agus Putranto menantang Harvard University untuk membuktikan ada tidaknya Corona di Indonesia. Dan 24 Februari, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bercanda di depan Hary Tanoe bahwa Corona tidak akan masuk Indonesia karena izinnya susah. Barulah tanggal 2 Maret, Corona resmi masuk Indonesia dan Presiden Jokowi kembali menenangkan bangsa ini bahwa “Kita sudah siap”.
Belum genap empat pekan sejak kasus pertama itu, sekarang angka kita mencapai 1.155 (tanggal 28/3/2020) dengan kematian 102 orang. Sebentar! 102 dalam 3,5 pekan. Angka kita 8,8 persen. Itu angka kematian, bukan perlombaan medali Olimpiade. Coba ingat angka itu. 8,8 persen. Saya harap angka ini membuat bangsa ini resah, bukan panik. Karen keresahan adalah awal dari pergerakan.
Sekarang, bagaimana perkembangan perlawanan kita, bangsa ini, pemerintah, pejabat daerah, dan para pahlawan kesehatan di front terdepan?
Soal kebijakan nasional, Kepala BNPB Doni Monardo mengumumkan bahwa Presiden tidak tidak memilih opsi Lockdown. Tapi mengambil langkah besar yang namanya ‘Herd Immunity’.
Kita mungkin baru pertama kali mendengar istilah ‘Herd Immunity’ atau kekebalan kawanan. Konsep ini diperkenalkan AW Hedrich sejak 1923. Ketika sebuah negara memilih kebijakan Herd Immunity, artinya mereka membiarkan virus/ wabah menyerang populasi sampai 70-80 persen populasi terkena. Lalu pengidap virus itu akan dengan sendirinya mencipta antobodi alami (natural antibody). Jika banyak pengidap yang sudah imun, maka perlahan penyebaran virus itu juga terhenti.
Herd Immunity juga bisa didapatkan dengan vaksin, tapi saat ini vaksin belum ada dalam skala global, maka Herd Immunity yang dimaksud adalah membiarkan populasi terpapar virus hingga akhirnya imun terbangun sendiri.
Pilihan Herd Immunity ini menjadi petaka bagi individu-individu yang memiliki sistem imun lemah, baik karena usia ataupun penyakit sebelumnya. Para lansia, para pengidap kanker dan HIV, pasien kemoterapi, Leukimia, atau orang yang memang lemah secara imun disebabkan pola hidup, mereka semua adalah calon-calon korban dalam proses Herd Immunity.
Di bagian 1 serial gagasan #LawanCorona ini, saya belum akan menganalisis sosial poiltik ekonomi dari setiap strategi dan langkah termasuk kritik terhadap Herd Immunity. Tapi saat ini saya ingin fokus pada sebuah ideologi dibalik sebuah kebijakan.
Dalam setiap kebijakan publik (public policy) ada yang namanya landasan berfikir atau cara pandang, sering disebut ideology. Ideologi itu bisa terinspirasi agama, atau pemikiran murni sang filosof dan ideolog.
Ideologi itu memberi kita cara pandang tentang kehidupan, Tuhan (atau tidak ada Tuhan), hari akhir, cara mengelola manusia, alam, sumber daya, sampai konsep kematian, siapa manusia yang dibiarkan mati, siapa yang layak bertengger di muka bumi. Intinya selalu ada pandangan mendasar (ideology) sampai orang bisa mengambil kebijakan besar, apapun itu.
Banyak negara yang memilih langkah Herd Immunity misalnya Inggeris dan Belanda. Walaupun ratusan ilmuwan Inggeris memprotes Herd Immunity ini, tapi nampaknya tidak ada keraguan bagi negara seperti Inggeris untuk memilih langkah ekstrim yang akan menginfeksi hampir 50 juta warganya.
Ada sebuah keyakinan mendasar bagi peradaban materialis. Sebuah pandangan (ideologi) yang dikenal dengan “Survival for the fittest”. Konsep bertahan hidup bagi yang paling kuat. Bahasa populernya hukum rimba, yang kuat yang bertahan, yang menang, yang menerkam. Konsep ini berasal dari teori seleksi alam (Natual Selection) milik Charles Darwin.
Pandangan ‘Survival for the fittest’ itu telah menginspirasi banyak sekali pemimpin, ekstrimis, termasuk para aktivis peduli lingkungan yang melihat solusi kemanusiaan saat ini adalah pengurangan populasi.
Ada dua buku bagus karya Jared Diamond ‘Collapse’ tentang keruntuhan peradaban-peradaban masa lalu, dan juga ‘Guns, Germs & Steel’. Banyak sekali data tentang langkah ekstrim yang pernah diambil para pemimpin dunia, yang berniat “mulia untuk menyelamatkan dunia” tapi dengan pengurangan populasi. Baik itu dengan perang seperti Hitler, atau apapun. Bukan tempatnya saya memaparkan data-data itu.
Tapi kalau anda ingin faham dengan sederhana, mungkin anda perlu menonton film “Ghost Protocol, Kingsman I atau Angel & Demons”. Tentang pengurangan populasi demi kemanusiaan.
Manusia yang dikurangi adalah mereka yang lemah, tua, tidak produktif, jika unsur agama masuk, maka mereka yang tidak se-akidah perlu dikurangi populasinya. Banyak motif perang berawal dari pandangan ekstrim ini.
Saya sama sekali tidak sedang berbicara tentang konspirasi Corona, dll seperti sensasi netizen di berbagai negara yang mencari bahan obrolan. Dan saya tidak berniat berbicara konspirasi.
Saya ingin berbicara konkret bahwa virus ini faktanya memang melanda dunia, angkanya sudah 600 ribu, dan mortality rate bisa mencapai 10 persen. Dan langkah beberapa negara untuk mengambil strategi Herd Immunity nampaknya menginspirasi banyak negara lain yang memang miskin strategi, termasuk Indonesia.
Tulisan ini ingin memberi anda semua sebuah latar belakang filosofis, bahwa bagi sebagian pemimpin di dunia ini, yang meyakini “Survival for the Fittest”, pengorbanan populasi dengan Herd Immunity tidak akan terlalu masalah.
Di Perancis saat ini korban mencapai 32 ribu, dengan 1.955 kematian. Saat RS mulai kewalahan menampung pasien, mereka mulai memilih-milih pasien mana saja yang akan mereka korbankan (tanpa perawatan), padahal Health Care System Perancis adalah salah satu yang terbaik di Eropa dengan la Sécurité sociale.
Nantikanlah langkah USA selanjutnya, tontonlah, jika angka terus melambung dan RS-RS tidak mampu, maka menurut anda, apa langkah yang akan diambil seorang presiden seperti Trump? Siapa yang akan diobati? Siapa yang akan (terpaksa) dikorbankan?
Lalu di Indonesia, Herd Immunity artinya membiarkan 272 juta jiwa warga terpapar Corona. Jika betul kalkulasi keberhasilan Herd Immunity itu di angka 70%, artinya akan ada 190.400.000 penderita Corona.
Dan jika statemen presiden Jokowi “Kita sudah siap” seperti hari ini, ketika para tenaga kesahatan kekurangan APD dan mortality rate kita 8,8 persen. Anda tahu, berapa kira-kira korban nyawa di Indonesia ini? 16.7 juta warga Indonesia. Hampir dua kali total Warga Jakarta dan tujuh kali total populasi Bandung.
Angka-angka itu bukan angka THR, tapi angka manusia yang mati. 1-2 digit presentase dari jumlah anak bangsa itu artinya manusia yang mati.
Padahal pandangan hidup yang diyakini bangsa bertuhan ini bukanlah ‘Survival for the fittest’. Bagi umat Islam khususnya, Nabi Muhammad memberi filosofi hidup “siapa yang membunuh 1 nyawa, ia seperti membunuh seluruh generasi, siapa yang memberi kehidupan bagi 1 nyawa, ia seperti memberikan kehidupan bagi seluruh umat”. 1 life matters. Ia bukan angka kosong. Sehingga setiap kebijakan itu bisa menyelamatkan atau membunuh bangsa ini. Menghidupkan atau mematikan manusia, bukan angka kosong.
‘Anda sendiri penulis punya solusi konkret tidak?’ Mungkin itu pertanyaan anda. Saya berusaha berbagi gagasan dalam tulisan-tulisan berikutnya dalam kapasitas sebagai rakyat. Tapi ini juga sekaligus undangan bagi para intelektual se-Indonesia untuk memeras otak dan merencananakan strategi-strategi berkelompok, berkomunitas tentang analisis dan rekomendasi untuk pemerintah kita.
Solusi itu tidak harus selalu meniru bangsa lain, barangkali akan ada gebrakan besar, kontribusi unggulan yang dilahirkan pikiran brilian anak bangsa. Dan pada akhirnya negara harus membuka telinganya siap mendengar masukan-masukan konstruktif dari rakyat-rakyat yang bergagasan tapi tidak punya power, terutama di masa kriris ini.
*Muhammad Elvandi, Lc, MA.
Alumni AlAzhar University mesir, Master Graduate in Public Policy The University of Manchester dan Penulis Buku Sang Pemuda