
Dewan Pengawas TVRI menilai Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya dianggap melakukan beberapa kesalahan ini. Pertama tidak menaati tata tertib administrasi anggaran TVRI, juga terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan re-branding TVRI dengan Rencana Kerja Anggaran Tahunan 2019.
Kedua, melakukan mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen ASN.
Ketiga, melanggar beberapa Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, dan asas keterbukaan.
Merasa telah mengantongi beberapa kesalahan Helmy, maka dengan penuh percaya diri Dewas pun menerbitkan Surat Keputusan (SK) memberhentikan dengan hormat Helmy Yahya sebagai Direktur Utama pada tanggal 16 Januari 2020.
Sebelumnya, Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) diberikan kepada Helmy Yahya pada 4 Desember 2019.
Ternyata Helmy Yahya tidak pasrah begitu saja. Begitu menerima surat pemberitahuan tersebut, ia segera menuliskan surat pembelaan diri ke Dewas. Melalui surat tersebut Helmy mengatakan berdasarkan Pasal 24, pihak yang diberhentikan diberi kesempatan untuk membela diri sebelum secara resmi dipecat.
Ternyata Dewas tak kalah ngotot. Secara tegas mereka menyatakan “tidak menerima jawaban Helmy Yahya.” Menurut mereka, pada saat itu Helmy Yahya tidak menjawab atau memberi penjelasan mengenai pembelian program siaran berbiaya besar, Liga lnggris.
Karena itu Dewas tetap memutuskan untuk mencopot Helmy dari jabatan Direktur Utama dan menunjuk Direktur Teknik LPP TVRI Supriyono menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama LPP TVRI.
Bagaikan boomerang, keputusan resmi Dewas ini justru menjadi senjata mematikan yang menyerang mereka sendiri. Ternyata Helmy disukai oleh sebagian besar karyawan TVRI dan keputusan Dewas ini memantik respon besar dari karyawan.
Usai mendapatkan informasi resmi soal SK pemecatan Helmy, Kamis (16/1/2020) sekitar pukul 18.00 WIB, secara spontak serentak karyawan TVRI yang berada di kantor pusat menyegel ruangan dewas dengan lakban. Hebatnya, mereka fokus untuk menyerang Dewas saja tanpa mau mogok karena merasa saying bila harus merugikan eksistensi TVRI.
Cukup lama ruang Dewas tersegel hingga Jumat siang, Kabul Budiono, salah satu anggota dewas, memohon kepada karyawan untuk membukanya.
Segel pun dituruti untuk dibuka, namun sebagai gantinya para karyawan memberikan mosi tidak percaya kepada Dewas. Meskipun pada saat pembacaan pernyataan sikap mosi tidak percaya tersebut hanya bisa dihadiri puluhan karyawan, namun mereka mewakili suara yang berasal dari Papua, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, NTT, Riau, NTB, dan Sumbar yang total berkisar 4.000 karyawan TVRI se-Indonesia.
Boro-boro mengamini kesalahan Helmy yang dituduhkan Dewas, para karyawan justru menegaskan bahwa Dewas TVRI telah bertindak semena-mena dan subjektif. Dewas juga disebut tidak pernah melihat pencapaian direksi yang mampu mengangkat harkat TVRI yang kini layak ditonton. Bahkan karyawan menuduh Dewas telah berupaya untuk mengerdilkan TVRI kembali.
Menanggapi polemik yang terjadi di TVRI tersebut, parlemen (DPR) menyatakan diri siap untuk menjadi mediator mediasi. Sedangkan Menteri Kominfo Johnny G Plate menyatakan, “tidak ada asap jika tidak ada api”. Apa maksudnya pernyataan tersebut. Sayangnya, sampai saat ini Johnny G Plate belum menjelaskan maksud dari pernyataan tersebut. Untuk sementara silahkan menerka-nerka sendiri. |WAW-JAKSAT.