by M Rizal Fadillah
Menko PMK dan Menteri Agama mengarahkan adanya pengaturan sertifikasi bagi pasangan yang mau menikah. Alasannya adalah pembinaan dan bimbingan sebelum nikah. Melibatkan KUA, Kemenkes, dan KPAI.
Sepertinya gagasan dan kebijakan ini bagus, tetapi sebenarnya tidak. Utamanya adalah membuat pernikahan menjadi semakin berbelit. Apalagi ada lulus atau tidak.
Biasanya sertifikasi berorientasi pada kapasitas dan keahlian. Sertifikasi guru, Kepala Sekolah, Pembimbing Haji, atau keahlian teknis lain. Pernikahan adalah ruang privasi yang berbeda. Pengaruh sertifikat itu kecil pada kebaikan rumah tangga. Agama Islam dalam konteks histori masa kenabian hingga kini tidak membuat “jlimet” lembaga pernikahan.
Empiriknya bukan karena tanpa bimbingan atau pembinaan pra nikah banyak terjadinya penyimpangan rumah tangga itu. Kekerasan atau perceraian disebabkan banyak faktor.
Ada asupan info bercanda atau serius katanya ini bagian dari program deradikalisasi. Membangun rumah tangga keagamaan yang tidak radikal. Jika iya tentu berlebihan. Masa negara khawatir si bayi dalam perut sudah terpapar radikalisme. Nanti proses sertifikasi juga melibatkan BNPT dan BIN seperti seleksi Rektor di beberapa Perguruan Tinggi.
Harus ditimbang efek dari sertifikasi yang menjadi bagian dari “mempersulit” pernikahan. Ini era pergaulan bebas (free sex), lgbt, nikah mut’ah (kontrak) atau lainnya. Akhirnya lembaga pernikahan yang halal menjadi semakin dijauhi. Orang menjadi malas berurusan dengan persoalan birokrasi kawin. Enerji terbuang, pengeluaran bertambah, atau pasangan yang frustrasi karena merasa menjadi obyek “tumpukan” nasehat. Buat apa ada khutbah nikah kelak.
Meski administratif tapi mengingat ada lulus dan tidak, maka akan berpengaruh terhadap persyaratan nikah menurut syari’at. Pada pemahaman agama yang puritan bisa saja diklasifikasikan bid’ah. Atau mungkin pernikahan yang tidak melalui proses resmi menjadi bertambah. Bahwa ada konsekuensi hukum bagi pasangan demikian, itu persoalan lain.
Ironi sekali di saat Pemerintah sedang galak galaknya menyederhanakan peraturan sampai sampai Presiden menyebut “kita bukan negara peraturan” dan “omnibus law” pun diperkenalkan, justru di lapangan hukum keluarga ditambah tambah peraturan yang “tidak perlu perlu amat”.
Ah negara munafik kah kita ?
*) Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Bandung, 17 November 2019