by Imam Wahyudi (IW)*)
Lembaga legislatif adalah pemilik sah hak interpelasi untuk digunakan secara optimal. Hak dalam meminta keterangan kepada pemerintah tentang suatu kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara.
Pengertian yang bermuatan greget, ketika hak itu digunakan lembaga dewan perwakilan rakyat. Mengesankan anggota legislatif tak cuma “datang, duduk, diam, dengar, dan (dapat) duit” alias 5-D. Menggunakan hak interpelasi, sejatinya memberikan gaung akan dinamika yang seharusnya berimbang dalam “bingkai’ kemitraaan antara legislatif dan eksekutif. Dalam posisi ini dapat membuka ruang publik. Setidaknya menjauhkan kesan, bahwa para wakil rakyat asyik “bermain sendiri” dengan abai terhadap aspirasi rakyat.
Selintas serupa itu tampaknya, terkait hak interpelasi yang tengah digulirkan DPRD Jabar kepada “mitra”nya Pemerintah Provinsi Jawa Barat — dalam hal ini Gubernur Jawa Barat yang baru seumur jagung dijabat Ridwan Kamil. Benarkah hak interpelasi itu akan berlangsung dalam koridor kritisi yang sebenarnya? Ataukah semata guliran yang cenderung mengarah pada sisi “happy ending”? Sementara bagi lembaga gubernur, agenda politik dewan itu tak jarang dimaknai sebagai momok yang merisaukan.
Bab “happy ending” sangat mungkin terjadi, meski dikemas demikian rupa untuk menepis “kecurigaan” publik. Dalam ranah politik, banyak hal bisa berlangsung — dengan sejumlah skenario pula. Pada posisi ini, sesungguhnya reputasi dewan perwakilan rakyat dipertaruhkan. Lanjut bergulir hingga puncak “mosi tidak percaya”, atau memberikan “catatan” atau semata alur agenda yang berkecenderungan “antiklimaks”. Nuansa itu pernah berlangsung pada periode pemerintahan Jabar yang dipimpin Ahmad Heryawan. Hak interpelasi bergulir kencang di awal, tapi melambat pada proses lanjutan hingga “antiklimaks”. Ditengarai, kesepahaman “win-win solution” yang diakhiri dengan “salam tempel”. Praduga warga menjadi berita nyata.
Balik ke soal penggunaan hak interpelasi yang ditujukan kepada Gubernur Jabar (baca: Ridwan Kamil), benarkah dalam arti sesungguhnya sesuai pengertian hak interpelasi itu sendiri? Utamanya, terkait dengan klausul “kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas…dst’. Apa pun, tidak jadi soal — setidaknya terwakili dalam klausul “meminta keterangan”. Targetnya? Bisa apa saja. Sebaliknya, kita patut mengingatkan — bahwa hal-ikhwal hendaknya berkolerasi dan tanggungjawab moral politik untuk dan atasnama lembaga negara. Hendaknya tak ada kata “sekadar”. Terlebih cuma pengen “try and error” semata. Mengapa?
Bukan semata fraksi PKB, yang justru menginisiasi hak interpelasi. Sependek itu tidak masalah, meski PKB sebagai partai pendukung pemerintahan (gubernur) Ridwan Kamil. Pada sisi “fair play’, malah bagus. Sebutlah, keseimbangan dan tak ingin “tutup mata”. Bagaimana dengan fraksi lain?
Bagi saya yang (kebetulan) pernah jadi anggota DPRD Jabar, senantiasa dalam posisi kritisi terhadap kebijakan gubernur. Antarkeduanya punya tupoksi (tugas pokok & fungsi) yang berbeda, bahkan kontras. Label “kemitraan”, tak seharusnya diartikan sebagai (selalu) “seiring sejalan”. Apalagi dengan dalih, bahwa gubernur adalah penguasa pengguna anggaran (APBD) yang dalam satu kondisi sangat memingkinkan terbuka akses bagi kawan-kawan di legislatif.
*
Konon, hak interpelasi dipicu lahirnya kebijakan yang “ujug-ujug” berupa pengalihan penggunaan alokasi APBD (yang tak sesuai dengan nomenklatur atau keputusan dewan). Di sisi ini, cukup jelas adanya “pelanggaran” politik administratif. Standar tupoksi antarkeduanya, mengamanatkan gubernur untuk taat dan patuh terhadap keputusan lembaga legislatif tentang itu. Andai pun tidak bersetuju, hendaknya dikonsultasikan (kembali) ke DPRD. Gitu aja, koq repot.
Terlepas dari tidak dikonsultasikan lebih dulu, tampaknya ada “sesuatu”. Konon pula akibat dilakukan pergeseran penggunaan alokasi anggaran dan obyek program atau garapan yang merupakan bagian dari “sesuatu” yang dikemas sebagai “dana aspirasi dewan”. Sekali lagi, mungkin tak ada masalah — sejauh nomenklatur itu muncul dalam dokumen resmi APBD Jabar.
Hal-ikhwal itu pada kesempatan pertama menjulurkan semangat transparansi anggaran, tanggungjawab sosial dan pemenuhan aspek konstitusional. Tapi, bila melulu alasan subyektif yang semata karena “hak” atasnama “aspirasi dewan” lewat proyek yang “dititipkan” melalui dinas terkait (baca: SKPD, satuan kerja perangkat daerah) — maka argumen dan atau kinsiderans di belakang tuntutan hak interpelasi itu — bisa berbalik “nyinyir” bagi lembaga dewan. Terlebih, bila pada gilirannya berujung kompromi.
Sungguh, kita berkepentingan akan integritas para inisiator dan penggulir hak interpelasi — demi terjaganya eksistensi lembaga wakil rakyat. Itu pula, kami mendukung berlanjutnya hak interpelasi. Tak sekadar dalam rangka pencerahan politik kekuasaan bagi warga Jawa Barat sebagai pemegang kedaulatan atas posisi kawan-kawan hari ini. Tak seharusnya semata sebuah teka-teki. Tak bunyi.*
*) Ketua Komunitas Wartawan Senior (KWS) Jawa Barat.